Di pesantren, seorang santri lebih banyak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri di dunia literasi. Hal itu terjadi karena berbagai instrumen yang mendukung di dalamnya, dan sudah menjadi tradisi sejak lama, baik dari pola kebudayaan, pendidikan, dan kitab-kitab yang menjadi rujukan yang sangat serat akan budaya dan pendidikan literasi (Ali Ibnu Anwar, 2022).
Namun juga perlu disadari, tidak hanya tradisi pembelajaran dan sistem pengajaran yang berintegrasi dengan literasi di pesantren, melainkan juga perlu adanya seorang “figur” (seorang yang dijadikan figur) kebutuhan literasi santri. Tanpa adanya figur yang dekat dengan dunia literasi, baik ia sebagai seorang kiai, guru atau pengurus pesantren, santri atau pesantren tersebut, walaupun sangat terkenal dan bahkan santrinya terhitung banyak tetap akan sangat sulit melahirkan melahirkan agen produksi pengetahuan baru, yang cakap berkomunikasi dan mengelola argument dalam bentuk tulisan.
Salah satu pesantren yang konsisten melahirkan tulisan baik karya ilmiah atau sastra adalah Pondok Pesantren Annuqoyah Guluk-guluk. Seperti yang terdapat dalam buku Sastrawan Santri, Etnografi Sastra Pesantren garapan Badrus Shaleh (2020). Keberlangsugan literasi tersebut tidak bisa lepas dari peran figur kiai mudanya seperti Abd A’la dan Mustofa dibidang penulisan artikel dan M. Faizi dibidang sastra (Ahmad Shiddiq dalam Sastrawan Santri, Etnografi Sastra Pesantren, 2020).
Dari figur tersebut, seorang santri bisa melihat dan bercita-cita menjadi penyair, ilmuan, ulama yang mempunyai semangat menyebarkan pemikiran atau ilmunya lewat media tulisan, tidak melulu melalui lisan. Bahkan mungkin semangat kebudayaan literasi ini tidak berhenti disaat santri lulus dari pesantren, tetapi tetap berlanjut selama hidupnya. ‘Karena Hubungan santri dan kiai atau guru itu terjalin seumur hidup, bahkan ada yang berlanjut di generasi selanjutnya’.
Perlu disadari juga bahwa figur di sini, tidak hanya sosok yang sekedar senang membaca atau menulis, namun juga figur yang mempunyai kecakapan dan kedekatan dengan santri. Sebab budaya literasi membutuhkan keintiman antara sosok pengajar dengan yang diajarinya. Literasi akan bergerak dan menjadi contoh dari kebiasaan figur yang dijadikan panutan, baik pola membaca, menulis, berfikir, atau bahkan gaya bahasa yang digunakan dalam tulisan.
Apabila sosok figur tersebut terlampau berjarak, terlebih lagi secara idiologis, maka menjadi mungkin ia tidak akan lagi dijadikan figur untuk semangat berliterasi dan bahkan bisa dihindari. Hal ini biasanya banyak terjadi kepada pemula yang kurang memiliki kedekatan emosional dengan dunia literasi. Maka santrinya akan sangat cepat murtad dari dunia literasi yang ada.
Kekayaan bacaan, keluasan ide juga menjadi daya tarik dari figur yang ada di pesantren. Sehingga lambat laun dengan adanya figur tersebut, pesantren akan melahirkan intelektual baru dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan umum atau agama. Yang mana nantinya juga pesantren akan terus menjadi pusat lahirnya keilmuan sebagaimana yang terjadi sebelum-sebelumnya atau bahkan melebihinya.
Menurut Koentjaranigrat dalam buku Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (1983) Ada empat faktor untuk mendukung atau merubah mentalitas ke yang lebih baik, terutama yang berjiwa membangun. Pertama, dengan memberi contoh yang baik, kedua, memberi perangsang yang cocok, ketiga, persuasi dan penerangan, dan yang keempat,dengan pembinaan dan pengasuhan suatu generasi yang baru untuk masa yang akan datang.
Keempat faktor ini akan saling mempengaruhi atas keberlasungan literasi di pesantren, dan kemungkinan terwujud hanya melalui figur yang mumpuni, dan tidak hanya sistem kebudayaan yang membentuk secara tiba-tiba. Biasanya jika di suatu pesantren tidak menemukan figur bisa mendatangkan dan mengemasnya dalam bentuk seminar atau workshop. Walaupun hal ini disadari sangat terbatas, baik waktu dan gagasan. Namun setidaknya dapat sedikit merangsang semangat literasi para santri-santrinya.
“Figur yang melampau Pesantren”
Selain yang disebutkan di atas Di Indonesia, Ada banyak figur yang berkecimpung di dunia literasi di pesantren, bahkan karya tulis dan gagasannya melampaui di mana ia belajar atau mengajar, dan tersebar ke berbagai belahan dunia. Di masa silam, menurut Zamakhsyari Dhofier dalam buku Tradisi Pesantren (2015) terdapat Syekh Nawawi Banten. Yang menulis berbagai macam buku, walaupun menurutnya tulisannya pendek-pendek tapi mencakup banyak bidang seperti persoalan ibadah sampai dengan tafsir yang sangat tebal. Setidaknya ada 38 karya Syekh Nawawi yang dianggap penting.
Dari Syekh Nawawi ini, kita bisa melihat bahwa figur ulama pesantren dulunya sangat dekat dengan literasi. Dan sampai saat ini masih dijadikan salah satu figur ulama yang suka membaca atau menulis, buku-bukunya dikaji dan dijadikan rujukan. Bisa dibandingkan dengan ulama pesantren yang tidak menulis atau dituliskan, ulama tersebut jarang diperbincangkan bahkan terkadang hampir dianggap sebagai mitos keberadaannya.
Generasi selanjutnya, yang paling menarik untuk dijadikan contoh figur adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Mereka menjadi figur literasi tidak hanya di pesantren dan membahas tema pesantren atau Islam melainkan bergerak jauh, seperti membahas tentang kebangsaan, kebudayaan, ekonomi, bahasa, termasuk perkembangan ilmu pengetahuan di Barat dan lain sebagainya. Bahkan kefiguranya tidak hanya milik santri tapi milik semua dalam budaya literasi di dunia.
Gus Dur banyak menghabiskan waktu dengan buku-buku sejak nyantri di Yogyakarta, Magelang dan sekembalinya ke Jombang. membaca berbagi buku yang berkenaan dengan pemikiran Eropa, novel-novel besar Inggris, Prancis, dan Rusia. Yang membuat ia mempunyai kesadaran kemanusiaan terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan. (Greg Barton, Biografi Gus Dur, 2016).
Dari sini semakin terlihat pentingnya sosok figur dalam literasi di pesantren. Karena darinya tidak hanya menjadi panutan dalam kegiatan literasi, tetapi juga bentuk-bentuk gagasan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan di dalam dan luar pesantren. Untuk bersama-sama menjalin keterikatan misi literasi, yaitu guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dimulai dari figur-figur pesantren, yang nantinya akan memberikan suatu perspektif ilmu yang khas pesantren, layaknya khazanah keilmuan yang dilahirkan sejak dulu oleh para ulama-ulama pesantren. Sebab sampai saat ini juga, sangat jarang di Indonesia menemukan figur ulama yang lahir di luar pesantren. Dan kebalikannya, sedikit figur yang konsen dalam literasi yang ada di pesantren, mengingat juga sangat banyaknya pesantren yang ada di Indonesia saat ini.