Pilarkebangsaan.com – Salah satu di antara butir-butir agenda terpenting dari kabinet-kabinet Indonesia setelah kemerdekaan adalah pemilihan umum untuk parlemen dan Majelis Konstituante. Kabinet Sjahrir berjanji akan melaksanakan pemilihan umum pertama pada awal Januari 1946.
Sayangnya, situasi revolusioner negara (1945-9) tidak memungkinkan dilaksanakannya pemilihan umum itu. Ketika kedaulatan negara diserahkan Belanda ke Republik Indonesia, sebagaimana dicatat Herbert Feith, “Setiap kabinet menjadikan pemilihan umum untuk menyusun Majelis Konstituante sebagai bagian penting dari program-programnya.” Meskipun demikian, baru pada kabinet Burhanuddin Harahap sajalah pemilihan umum pertama berhasil diselenggarakan (1955).
Beberapa faktor menyebabkan tertundanya penyelenggaraan pemilihan umum itu. Yang paling penting adalah ketakutan para elite negara dan partai, khususnya mereka yang berasal dari kelompok nasionalis, bahwa pesta itu dapat mengancam hubungan politik, antara agama (Islam) dan negara yang sudah didekonfessionalisasi seperti yang berlangsung saat itu.
Mereka percaya bahwa peristiwa-peristiwa politik, seperti pemilihan umum dapat digunakan oleh kalangan Islam untuk menyusun dukungan rakyat guna merealisasikan gagasan negara Islam. Mengingat potensi mereka yang besar untuk memenangkan suara mayoritas, maka sukses yang besar untuk memenagkan pemilihan umum akan meratakan jalan bagi mereka untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara di Majelis Konstituante.
Di sinilah politik ketakutan ikut memainkan peranannya. Keprihatinan terhadap kemungkinan bahwa kelompok Islamis akan memenangkan pemilihan umum menyebabkan para pemimpin politik kelompok nasionalis meninjau kembali strateginya berkenaan dengan penyelenggaraan pemilu. Dalam perihal ini, salah satu pilihan yang paling memadai adalah menunda waktu penyelenggaraannya. Seperti dinyatakan A.R. Djokoprawiro dari Partai Indonesia Raya (PIR), strategi partainya adalah “Menunda pemilihan umum sampai [saat di mana] posisi para pendukung Pancasila lebih kuat.”
Para pemimpin lain seperti Soekarno, yang saat itu menjabat sebagai kepala negara, berusaha keras memengaruhi diskursus politik negara untuk mendukung politik yang sudah di-dekonfessionalisasi.” Titimangsa 27 Januari 1953, tatkala berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan, Soekarno menginginkan para pendengarnya akan pentingnya upaya memertahankan Indonesia sebagai negara kesatuan nasional.
Kelompok Islamis merasa terganggu dengan pidato Soekarno itu. Mereka menilai apa yang dilakukan Bung Karno tidak demokratis dan tidak konstitusional. Dalam pandangannya, Soekarno “telah melampaui batas-batas konstitusionalnya, bahwa pidatonya itu telah menyebarkan bibit-bibit separatisme, dan itu memerlihatkan pemihakan kepala negara kepada kelompok-kelompok yang menentang ideologi Islam. Dengan kata lain:
“… Presiden Soekarno, sebagai pembela sejati Pancasila… tampil sebagai juru bicara satu kelompok yang tengah menghimpun kekuatan dukungan, dan tidak memosisikan diri sebagai kepala negara yang [seharusnya] tidak berpihak.”
Sementara itu, kalangan PNI mendukung pidato Soekarno. Mereka menganggap, langkah Presiden Soekarno itu didasarkan kepada “hak prerogatifnya sebagai seorang pemimpin revolusi, pemberi arah bagi seluruh rakyat, juga sebagai kepala negara yang konstitusional.”
Dalam pandangan mereka, pidato di atas seharusnya dilihat sebagai upaya untuk memelihara persatuan Indonesia, untuk mencegah apa pun yang dapat mengakibatkan berkembangnya politik di mana kelompok mayoritas menindas kelompok-kelompok minoritas, dan untuk mengartikulasikan kekhawatiran kelompok-kelompok yang terakhir ihwal tempat mereka dalam Republik Indonesia, seandainya negara ini didasarkan kepada agama kelompok mayoritas (Islam).
Terlepas dari upaya para pemimpin penting Masyumi seperti Natsir dan Sukiman untuk meredam kontroversi tersebut, perseteruan ideologis-politis itu berlangsung. Dan tanpa disengaja, perseteruan itu benar-benar merusak konsensus yang sudah berlangsung sebelumnya, terutama berkenaan dengan diterimanya Pancasila sebagai landasan bersama ideologis-politis bangsa. Lebih dari peristiwa yang lainnya, perkembangan ini menghidupkan kembali konflik ideologis-politis lama antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis ihwal corak hubungan politik antara Islam dan negara. Karena itu, perjuangan untuk menegakkan Islam sebagai dasar ideologi negara muncul kembali selama masa kampanye pemilihan umum 1955.
Dipelopori oleh Masyumi, kelompok Islamis kembali mengajukan gagasan mereka ihwal Islam sebagai dasar ideologi negara. Seperti dicatat oleh beberapa pengamat, agenda ini kemudian diperdebatkan secara sengit dan panas dalam Majelis Konstituante (1956-9).
Kenyataan bahwa kelompok Islamis hanya menguasai 43,5% kursi di parlemen membuat mereka sulit untuk segera memutuskan apakah mereka akan terus mendesakkan gagasan Islam sebagai dasar ideologi negara atau tidak. Walaupun demikian, beberapa spekulasi dapat dibuat sepanjang garis-garis argumentasi keagamaan dan politis. Secara keagamaan, seperti yang ditunjukkan oleh salah seorang pemimpin mereka, mereka digerakkan oleh kewajiban transedental untuk menghadirkan watak holistik Islam ke dalam realitas.
Secara politis, meskipun kenyataan menunjukkan bahwa kekuatan mereka dalam pemilihan umum tidak menghasilkan kesuksesan ideologis, bagaimanapun mereka tetap harus menunjukkan bahwa mereka adalah politisi-politisi yang tidak mengingkari janji-janji yang telah mereka sampaikan dalam kampanye. Setidak-tidaknya, perhitungannya adalah demikian: sementara pada akhirnya akan menerima Pancasila sebagai ideologi negara, upaya mendesak dijadikannya Islam sebagai dasar ideologi negara berfungsi sebagai alat tawar-menawar politik untuk memenangkan tujuan-tujuan politik yang lebih kecil (yakni dilegalisasikannya kembali Piagam Jakarta dan Islam sebagai agama negara).
Sejak 1950 hingga sekitar 1959, dekade yang dikenal sebagai periode demokrasi konstitusional, Indonesia beroperasi di bawah UUD 1950. Terlepas dari kenyataan bahwa negara telah mengalami beberapa kali perubahan konstitusi, UUD 1950 itu masih dianggap sementara. Karena itu dapat disimpulkan bahwa tugas utama Majelis Konstituante adalah menyusun sebuah rancangan konstitusi yang permanen.
Dalam kerangka legal-konstitusional inilah para anggota Majelis Konstituante terlibat dalam perdebatan-perdebatan ideologis-politis yang sengit dan panas. Meskipun bukan tanpa kesulitan, Majelis Konstituante akhirnya dapat menyelesaikan sebagian besar tugasnya.
Selama dua setengah tahun keberadaannya (November 1956-Juni 1959), Majelis Konstituante berhasil menyelesaikan 90% tugas-tugasnya, termasuk membuat pelbagai ketetapan seputar masalah hak-hak asasi manusia, prinsip-prinsip kebijakan negara, dan bentuk pemerintahan. Seluruh persoalan tersebut dianggap unsur-unsur substantif konstitusi.
Sayangnya, perdebatan ihwal dasar negara tidak berlangsung selancar perdebatan ihwal masalah-masalah lain. Bahkan, perdebatan ihwal dasar ideologi negara amat besar andilnya dalam membawa Majelis Konstituante ke jalan buntu. Corak perdebatan-perdebatannya yang tak kenal kompromi dan panas memerparah perpecahan di antara partai-partai yang terlibat. Seperti dicatat Adnan Buyung Nasution:
“Perdebatan-perdebatannya bersifat ideologis, mutlak-mutlakan atau antagonistik, sehingga partai-partai terutama dari kubu Islam dan kubu nasionalis, alih-alih saling mendekati satu sama lain, mereka makin jauh terpecah.”
Dalam perdebatan ihwal dasar idelogi negara, tiga aliran ideologis tampil menonjol: Islam, Pancasila, dan Sosial-Ekonomi. Namun, mengingat perdebatan-perdebatan ihwal dasar ideologi negara yang berlangsung sebelumnya, pertentangan paling sengit berlangsung antara para pendukung aliran ideologi Islamisme dan Pancasila.
Dalam diskursus ini, kelompok Islamis pada dasarnya menyatakan kembali aspirasi-aspirasi ideologis-politik yang sudah mereka kemukakan pada masa prakemerdekaan, yakni mendirikan negara yang jelas-jelas berdasarkan Islam. Mereka mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi negara berdasarkan argumen-argumen tentang (1) watak holistik Islam, (2) keunggulan Islam atas semua ideologi dunia lain, dan (3) kenyataan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas warga negara Indonesia.
Dipimpin Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Zaenal Abidin, KH. Isa Ansyari, KH. Masjkur, mereka kokoh memertahankan watak Islam yang holistik. Mereka percaya bahwa Islam mengatur setiap aspek kehidupan.
Menurut mereka, negara–yang pada dasarnya merupakan sebuah organisasi yang meliputi seluruh masyarakat dan lembaga, yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menetapkan aturan-aturan yang mengikat–tidak bisa lain kecuali mendasarkan diri kepada prinsip-prinsip ilahiah.
Berdasarkan pandangan-pandangan teologis-ideologis tersebut, mereka memandang bahwa Pancasila pada dasarnya adalah ideologi sekular (ladiniyah), tanpa sumber keagamaan yang pasti. Walaupun sila pertamanya mengakui pentingnya kepercayaan kepada satu Tuhan, perumusannya pada dasarnya lebih didasarkan kepada keharusan sosiologis dan bukan keilahiahan Tuhan. Dengan kata lain, hal ihwal itu merupakan konsepsi ihwal Tuhan yang dibuat oleh manusia dan dapat berubah sewaktu-waktu tergantung situasi. Pendeknya, dalam pandangan mereka, Pancasila itu netral dan tanpa warna, dan kelima sila tidak saling berkelindan. Karenanya, mereka menolak gagasan Pancasila sebagai dasar negara.
Tanggapan para pendukung Pancasila tidak kurang antagonisnya. Sejalan dengan alur penalaran mereka yang lebih awal, tokoh-tokoh seperti Roeslan Abdulgani, seorang muslim dengan oreintasi ideologis-politis nasionalis, menolak pandangan bahwa Pancasila merupakan konsep yang netral, apalagi ideologi sekuler. Kenyataan bahwa Pancasila mengandung sila seperti, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” dan bahwa negara mencakup pula badan-badan yang mengurus masalah-masalah yang berhubungan dengan agama (yakni Departemen Agama) merupakan indikasi kuat bahwa Indonesia tidak didasarkan kepada ideologi sekuler. Yang lebih penting lagi, ia percaya bahwa Pancasila mengandung unsur-unsur Islam (meski memang tidak hanya mengandung unsur-unsur itu).
Natsir, sementara itu, beberapa kalangan lain menolak gagasan ihwal Islam sebagai dasar negara berdasarkan pertimbangan kemungkinannya untuk dapat ditetapkan. Mengingat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia heterogen secara sosial-keagamaan, mereka meragukan bahwa Islam dapat berperan sebagai pandangan dunia ideologis-politis bagi seluruh masyarakat. Sementara itu Pancasila, betapapun tidak sempurnanya, telah terbukti dapat menjadi dasar ideologi bersama seluruh masyarakat Indonesia. Kalangan lainnya lagi menolak Islam sebagai dasar negara dengan alasan bahwa mereka khawatir kalau-kalau hukum-hukum Islam akan diterapkan kepada seluruh warga negara Indonesia.
Dengan pendirian yang mutlak-mutlakan itu, dapat dibayangkan jika pada akhirnya kompromi sulit ditemukan. Bahkan ketika kelompok Islamis mundur dari tuntutan mereka yang awal untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dan hanya menuntut penegasan kembali Piagam Jakarta, konflik tersebut terlanjur menyebabkan macetnya sidang-sidang Majelis Konstituante. Dilihat dari kekuatan elektoral mereka, tidak satu pun partai yang memiliki suara yang diperlukan (yakni mayoritas 2/3 suara) untuk menggolkan preferensi-preferensi ideologis mereka.
Sementara itu, usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 tidak mendapat dukungan yang diperlukan. Semua perkembangan di atas mendorong Presiden Soekarno, dengan dukungan tentara, untuk mengeluarkan dekrit yang menyatakan kembali ke UUD 1945. Langkah ini, sebuah strategi yang rupanya telah dicanangkannya sejak lama, memberinya kekuatan eksekutif yang kuat untuk mengontrol negara.
Sekali lagi, kelompok Islamis secara simbolik berhasil dikalahkan. Dan di balik kekalahan simbolik itu, selama masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno, artikulasi legalistik/formalistik gagasan dan praktik politik Islam, terutama gagasan Islam sebagai dasar ideologi negara, mulai menunjukkan implikasi-implikasi bawaannya yang negatif. Kecuali NU, yang segera menata kembali orientasi politiknya dan menerima Manipol Usdek-nya Soekarno, kekuatan politik Islam menurun drastis. Para pemimpin Masyumi khususnya, yang sejak awal diskursus ideologis di Indonesia dipandang sebagai pendukung-pendukung sejati gagasan negara Islam, dipenjarakan karena oposisi mereka terhadap pemerintah yang tak berkesudahan.
Dan akhirnya, dengan alasan bahwa beberapa pemimpin utamanya (seperti Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara) ikut terlibat dalam pemberontakan PRRI, Bung Karno membubarkan Masjumi pada 1960.