Sejarah Hari Kesaktian Pancasila berawal dari peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang disusul dengan aksi pembantaian 1965-1966 yang menewaskan 7 perwira Angkatan Darat–mereka lantas ditetapkan sebagai pahlawan revolusi. Apa yang terjadi setelahnya sudah kita ketahui bersama: pembantaian massal terhadap orang-orang yang dituding PKI atau komunis.
Dikutip dari Menguak Misteri Sejarah (2010) karya Asvi Warman Adam, penetapan Hari Kesaktian Pancasila dilakukan lewat Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat tertanggal 17 September 1966. Itu harus diperingati oleh Angkatan Darat. Menteri/Panglima AD yang juga Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) saat itu adalah Soeharto. Inilah orang yang nantinya mengambil-alih kekuasaan tertinggi dari Sukarno, menjadi Presiden RI ke-2 sekaligus mengakhiri riwayat Orde Lama dan menggantinya dengan rezim Orde Baru. Pada 24 September 1966, seperti yang tertulis dalam Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI (1997),
Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian mengusulkan supaya peringatan Hari Kesaktian Pancasila juga dilakukan oleh seluruh jajaran Angkatan Bersenjata. Soeharto, yang juga menjabat Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan, lantas mengeluarkan surat keputusan tertanggal 29 September 1966 yang menetapkan bahwa Hari Kesaktian Pancasila diperingati oleh “seluruh slagorde (jajaran) Angkatan Bersenjata dengan mengikutsertakan massa rakyat.”
Asvi Warman Adam dalam buku bertajuk Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (2009) menuliskan, masyarakat sesungguhnya mempertanyakan apakah peristiwa 30 September 1965 relevan dikaitkan dengan kesaktian Pancasila? Gerakan 30 September, sebut Asvi, merupakan upaya perebutan kekuasaan dan tidak ada hubungannya dengan kehebatan Pancasila. Aksi kudeta itu sendiri gagal karena kecerobohan pelakunya dalam merancang strategi militer dan menerapkannya di lapangan.
Menurut aturan tertulis, sebenarnya tidak ada keharusan bagi presiden, wakil presiden, dan ketua lembaga tinggi negara serta para menteri untuk menghadiri peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Namun di era Orde Baru, acara ini seakan-akan menjadi seremonial wajib. Dan itu terjadi hingga sekarang. Selasa (1/10/2019) pagi, Presiden Joko Widodo menjadi inspektur upacara Hari Kesaktian Pancasila, di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Prosesi Hari Kesaktian Pancasila Semasa Orde Baru, ada semacam ritual pengibaran bendera untuk memperingati peristiwa G30S dan Hari Kesaktian Pancasila. Pada 30 September, bendera dinaikkan setengah tiang. Esok harinya, atau 1 Oktober, bendera dinaikkan secara penuh. Prosesi pengibaran bendera selama dua hari itu bisa dimaknai sebagai berikut: Bendera setengah tiang yang dikibarkan pada 30 September dimaksudkan sebagai tanda duka nasional setelah terbunuhnya beberapa perwira militer AD.
Di Jakarta, para jenderal itu adalah Ahmad Yani, Soeprapto, M.T. Haryono, Siswondo Parman, D.I. Panjaitan, Sutoyo Siswodiharjo, serta Pierre Tendean yang merupakan ajudan Jenderal A.H. Nasution. Sedangkan di Yogyakarta, ada dua perwira militer yang juga menjadi korban, yaitu Katamso dan Soegiyono. Keesokan harinya, bendera dinaikkan secara penuh sebagai simbol kemenangan berkat “kesaktian Pancasila” yang mampu menangkal ancaman ideologi komunis.
Ritual semacam ini seolah dipaksakan harus dilakukan oleh seluruh elemen bangsa setiap tanggal 30 September dan 1 Oktober. Namun, setelah Soeharto lengser dan Orde Baru runtuh saat Reformasi 1998, prosesi ini jarang diterapkan lagi meski tidak hilang sama sekali. Pembantaian Massal 1965-1966 Tidak ada yang salah dengan peringatan belasungkawa atas gugurnya para perwira AD dalam tragedi 1965 itu. Akan tetapi, tulis Asvi, persoalan yang lebih penting dan lebih patut diperingati adalah: kematian lebih dari 500 ribu jiwa warga Indonesia setelahnya.
Sepanjang titi mangsa 1965-1966, juga tahun-tahun setelahnya, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang yang dianggap PKI atau antek-anteknya, bahkan kepada mereka yang dituding terkait dengan komunis, kendati tanpa bukti yang kuat dan tanpa proses pengadilan. Keseluruhan jumlah korban pembantaian itu masih menjadi misteri hingga kini.
Dikutip dari The Indonesian Killings of 1965-1966 (1990) karya Robert Cribb, Angkatan Bersenjata RI memperkirakan jumlah yang dibantai mencapai sekitar satu juta orang. Sedangkan menurut orang-orang komunis yang selamat dari pembantaian dan mengalami trauma, tulis Theodore Friend dalam Indonesian Destinies (2003), perkiraan awal jumlah korban pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh PKI dan komunis tidak kurang dari dua juta orang.
Sebagian sejarawan menyepakati setidaknya setengah juta orang dibantai. Oleh M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since c.1300 (1991), jumlah ini disebut lebih banyak ketimbang peristiwa apa pun dalam sejarah Indonesia. Setelah Orde Baru runtuh, investigasi untuk menguak tragedi pembantaian 1965-1966 mulai diupayakan, kendati tetap saja mengalami hambatan. Pada 23 Juli 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa pembantaian orang-orang yang dituduh komunis itu merupakan pelanggaran HAM berat.
Pernyataan Komnas HAM tentang “Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966″ terungkap, ke-9 pelanggaran itu meliputi: Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran/pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, serta penghilangan orang secara paksa. Barangkali benar bahwa Pancasila memang sakti kendati para pahlawan revolusi harus terlebih dulu menjadi korban. Namun, apakah ratusan ribu atau bahkan jutaan rakyat yang dibantai oleh sesama anak bangsa tidak pantas mendapat penghormatan yang juga sama layaknya?