Tidak banyak yang tahu kiprah KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dalam dunia pers pergerakan. Bahkan, Buya Syafii Maarif pernah menegaskan bahwa sosok pendiri Muhammadiyah ini tidak pernah meninggalkan karya tulis, lebih mengutamakan aksi ketimbang teori. Betulkah demikian?
Wajarlah jika para peneliti Muhammadiyah menempatkan sosok Kiai Ahmad Dahlan sebagai seorang pragmatis. Namun, secuil informasi yang akan penulis sampaikan dalam artikel ini, setidak-tidaknya, akan mengubah persepsi terhadap sosok Kiai Ahmad Dahlan. Mengapa?
Sebab, Khatib Aminâjabatan fungsional Kiai Ahmad Dahlan dalam struktur Kepenghuluan Kraton Yogyakarta pada awal abad ke-20âjustru mengisi struktur kontributor tulisan di majalah Medan-Moeslimin tahun 1920-an.
Nama pendiri Muhammadiyah ini juga secara eksplisit tertera dalam struktur redaksi Suara Muhammadiyah tahun 1915. Berperan sebagai kontributor atau redaktur media massa, sudah barang tentu Kiai Ahmad Dahlan punya tugas untuk menulis.
Sisi lain KH. Ahmad Dahlan
Selama ini, umat Islam di Indonesia pada umumnya dan warga Muhammadiyah pada khususnya lebih mengenal sosok Kiai. Ahmad Dahlan sebagai ulama besar. Padahal, Tibaminâakronim dari Khatib Aminâmemiliki catatan karir profesional yang belum banyak diungkap, baik oleh para peneliti Muhammadiyah dari dalam maupun luar negeri. Karir profesional Kiai Ahmad Dahlan yang belum banyak diketahui adalah posisinya sebagai seorang wartawan.
Perjalanan karir ini dapat dilacak ketika Kiai Ahmad Dahlan terlibat di beberapa media massa di tanah air pada masanya.
Tibamin, begitu warga kampung Kauman menyapa Kiai Ahmad Dahlan, adalah Khatib Amin Masjid Agung Yogyakarta. Ia putra keempat dari tujuh bersaudara putra-putri KH. Abubakar. Lahir di Kauman pada tahun 1285 H (1868 M) dengan nama Muhammad Darwis (Junus Salam, 2009: 56).
Darwis lahir dan dibesarkan dalam kultur Jawa bercorak santri. Ayahnya, Kiai Abubakar, adalah Khatib Amin Masjid Agung Yogyakarta. Kelak, setelah sang ayah meninggal dunia (1896), Darwis bakal menggantikan posisi ayahnya sebagai Khatib Amin. Sang ayah turut andil besar dalam menentukan pendidikan Darwis semasa kecil.
Selain belajar agama kepada sang ayah, Darwis juga menimba ilmu kepada KH. Muhammad Shaleh, KH. Muhsin, KH. Muhammad Nur, dan KH. Abdul Hamid. Layaknya anak-anak di kampung Kauman, ia pun hanya mendapat pendidikan agama saja. Memang tidak ada lembaga pendidikan umum di kampung Kauman. Jangankan mengenyam pendidikan umum layaknya para student atau leerling di sekolah-sekolah Belanda, meniru budaya kaum kolonial dianggap haram.
Meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan umum, tetapi Darwis memiliki banyak kenalan dari kalangan intelektual pribumi. Sebut saja Raden Sosrosoegondo, guru bahasa Melayu yang mengajar di Kweekschool di Jetis. Dari tokoh yang satu ini, Darwis belajar membaca dan menulis bahasa Melayuâcikal bakal bahasa Indonesia modern. Dengan demikian, Darwis kecil tidak hanya belajar ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga mengenyam pendidikan umum.
Pada tahun 1889, Darwis menikah dengan Siti Walidah, putri KH. Muhammad Fadhil, yang tak lain sepupunya sendiri. Beberapa bulan kemudian, ia menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya (1889). Sepulang dari tanah suci, ia sudah mengantongi sertifikat untuk mengganti namanya menjadi: Ahmad Dahlan.
Perjalanan haji kedua kalinya (1902) telah memantapkan hatinya. Ia menyempatkan diri untuk mempelajari gerakan pembaruan Islam di Mekkah dan Mesir. Atas jasa KH. Baqir, saudara sepupunya yang telah lama menetap di Mekkah, Tibamin berhasil bertemu dan berdialog langsung dengan Rasyid Ridla, salah seorang tokoh pembaru Islam dari Mesir (Djarnawi Hadikusumo, t.t.: 64).
Sepulang dari tanah suci, Tibamin memutuskan untuk terjun dalam dunia pergerakan lewat Budi Oetomo (BO), Sarekat Islam (SI), dan mendirikan Muhammadiyah (1912).
Sang Wartawan
Pada awal abad 20, dunia pergerakan tidak dapat dipisahkan dari dunia pers. Setiap perkumpulan memiliki orgaan (surat kabar) yang menjadi corong gerakan. Ketika memutuskan terjun dalam dunia pergerakan, Kiai Ahmad Dahlan pun harus menekuni dunia pers.
Ia bersama murid-muridnya merintis penerbitan surat kabar bulanan yang pertama kali terbit tahun 1915. Surat kabar tersebut bernama Soewara Moehammadijah.
Berdasarkan dokumen Soewara Moehammadijah nomor 2 tahun 1915 (Dzulqaidah 1333 H), nama Kiai Ahmad Dahlan tercantum dalam susunan redaksi. Selaku Hoofdredacteur (pemimpin redaksi) H. Fachrodin. Adapun jajaran redaksi sebagai berikut: H.A. Dahlan, H.M. Hisjam, R.H. Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, Djojosugito, dan R.H. Hadjid. Pengelola administrasi: H.M. Maâroef dibantu Achsan B. Wadana.
Sebagai tokoh senior yang duduk di jajaran redaktur, sudah dipastikan Kiai Ahmad Dahlan turut andil dalam mengisi majalah ini. Artikel bersambung karangan Tibamin yang dimuat di Soewara Moehammadijah nomor 2 tahun 1915 berjudul âAgama Islamâ (artikel ditulis menggunakan bahasa Jawa). Di akhir tulisan terdapat identitas penulis menggunakan inisial âAD.â
Menurut H. Ahmad Basuni, inisial âADâ disinyalir sebagai Ahmad Dahlan (Suara Muhammadiyah no. 1 tahun 1990). Namun sayang, sambungan dari artikel ini belum ditemukan hingga kini. Dokumen Soewara Moehammadijah nomor 3 tahun 1915 yang mestinya berisi sambungan dari karangan K.H. Ahmad Dahlan belum ditemukan.
Alhamdulillah, pada akhir tahun 2016, penulis tanpa sengaja menemukan dokumen penting di Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) di Padangpanjang. Dokumen tersebut adalah beberapa edisi majalah Soewara Moehammadijah terbitan tahun 1916 (bahasa dan huruf Jawa). Setelah melewati proses penerjemahan, ternyata benar bahwa Kiai Ahmad Dahlan memang rutin mengisi artikel di majalah ini.
Dalam dokumen Soewara Moehammadijah tahun 1916 ditemukan artikel âAgama Islamâ sebanyak empat edisi yang ditulis oleh seorang penulis yang menggunakan inisial âH.A.Dâ yang tidak lain adalah âHaji Ahmad Dahlan.â
Kiprah Kiai Ahmad Dahlan di medan pergerakan memang sangat strategis. Terbukti, tidak hanya menjadi wartawan di Soewara Moehammadijah, tetapi ia juga dipercaya sebagai salah satu pembantoe redactie (kontributor) di majalah Medan-Moeslimin (terbit di Solo) untuk wilayah Yogyakarta.
Berdasarkan dokumen majalah Medan-Moeslimin tahun 1920-an, nama âM. Ketibamin Djokjaâ tercantum di halaman cover majalah ini. Dokumen ini tidak jelas menyebutkan nomor edisi dan tahun penerbitannya.
Tetapi, pada halaman cover sebelah kiri terdapat keterangan âredacteur H.M. Misbach dalam boei Klaten.â Dengan keterangan ini cukup jelas untuk membaca dokumen majalah ini karena Haji Misbach masuk penjara di Klaten pada tahun 1920-an.
Keterlibatan Kiai Ahmad Dahlan dalam penerbitan majalah Medan-Moeslimin karena faktor Haji Fachrodin. Ia sahabat karib Haji Misbach. Ketika tokoh revolusioner ini masuk penjara karena kasus pengerahan massa petani di Klaten, kendali redaktur majalah ini diambil alih oleh Haji Fachrodin. Sedangkan Haji Fachrodin sendiri adalah salah satu murid Kiai Ahmad Dahlan dan pemimpin redaksi (Hoofdredacteur) Soewara Moehammadijah pertama.
Namun demikian, tulisan-tulisan Kiai Ahmad Dahlan di majalah Medan-Moeslimin hingga kini belum ditemukan. Dengan melihat peran dan fungsi sebagai seorang kontributor, sesungguhnya hal ini menjadi sebuah indikasi bahwa Kiai Ahmad Dahlan pernah menulis di media massa ini.
Sedangkan tanda-tana lain, dalam sebuah kesempatan penting, penulis berhasil mendapatkan sebuah informasi dari Ahmad Adaby Darban (alm.), bahwa Kiai Ahmad Dahlan memiliki sebuah kartu pers. Adaby Darban pernah membaca sebuah hasil penelitian sejarah yang memberikan informasi tentang Kiai Ahmad Dahlan yang memiliki kartu wartawan. Akan tetapi, hingga kini, dokumen penting ini belum ditemukan kembali.
Seandainya ditemukan, tentu akan banyak informasi yang dapat diperoleh. Misalnya, lembaga apa yang mengeluarkan kartu pers tersebut? Bagaimana peran lembaga tersebut dalam peta pergerakan nasional? Sejauh mana peran Kiai Ahmad Dahlan dalam lembaga tersebut?
Dengan membaca catatan sejarah perjalanan karir Kiai Ahmad Dahlan selama berkecimpung di dunia pers, baik di majalah Soewara Moehammadijah, Medan-Moeslimin, dan organisasi wartawan bumiputra pada waktu itu, sebenarnya banyak persepsi yang perlu diluruskan.
Selama ini, beberapa sejarawan dan peneliti Muhammadiyah berasumsi bahwa Kiai Ahmad Dahlan adalah figur pragmatis (dalam artian yang positif) atau man in action. Selama hidupnya, Tibamin tidak pernah meninggalkan karya tulis, baik dalam bentuk buku ataupun artikel. Ia tak lebih dari sosok yang mengutamakan aksi ketimbang berpikir.
Namun, persepsi tersebut dapat dimentahkan dengan penemuan dokumen-dokumen yang dapat menjelaskan keterlibatan Kiai Ahmad Dahlan dalam dunia pers. Dengan posisi sebagai seorang wartawan, bukankah ia harus menulis?