Jaga Pilar

Semaraknya Korupsi dan Urgensi Sosok Negarawan

3 Mins read

Beberapa hari yang lalu, saya membaca laporan hasil pemantauan tren korupsi tahun 2023 yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada bulan Mei 2024. Laporan tersebut memaparkan angka tren korupsi yang terjadi di Indonesia pada tahun 2023. Menurut laporan tersebut, terdapat 791 kasus korupsi yang terjadi dalam kurun waktu Januari – Desember 2023 yang menjerat 1.695 tersangka dengan potensi kerugian negara sebanyak Rp. 28,4 Triliun.

Menurut data yang dilaporkan ICW tersebut, tren korupsi di Indonesia secara konsisten mengalami kenaikan selama lima tahun terakhir. Pada kurun waktu 2019 hingga 2023, kasus korupsi yang terjadi sebanyak 2.618 kasus dengan total tersangka 5.719 orang dan potensi kerugian negara Rp. 127,5 Triliun. Tentu bukan konsistensi yang layak diacungi jempol dan gemuruh tepuk tangan.

Dari laporan ICW tersebut, dapat diamati bahwa korupsi terjadi pada semua tingkatan pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga institusi pemerintahan paling bawah, desa. Bahkan menurut laporan tersebut, angka korupsi terbanyak terjadi pada tingkat desa yaitu sebanyak 187 kasus dengan jumlah tersangka 294 orang pada tahun 2023. Angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun lalu dan secara konsisten mengalami peningkatan selama delapan tahun terakhir.

Memaksimalkan Penegakan Hukum

Peningkatan tren korupsi secara konsisten ini menjadi peringatan keras pada semua kalangan, terutama pemerintah. Angka tren korupsi serta kerugian negara yang begitu besar dapat menjadi indikasi bahwa usaha pemerintah dalam penanganan korupsi masih belum maksimal. Menurut analisis ICW, terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan tren korupsi setiap tahunnya. Pertama, strategi pemberantasan korupsi melalui penindakan oleh aparatur hukum tidak optimal. Kedua, strategi pencegahan korupsi yang belum berjalan secara maksimal.

Dua faktor peningkatan korupsi tersebut erat kaitannya dengan hukuman yang diberikan oleh pengadilan kepada para koruptor yang tidak terlalu memberi efek jera. Jika melihat pada laporan tren korupsi oleh ICW, pada periode 2020 hingga 2022 tren kerugian negara karena korupsi sebesar Rp. 168,3 triliun.

Namun dari keseluruhan kerugian tersebut, negara hanya mendapat Rp. 24,8 triliun sebagai uang pengganti dari keseluruhan hukuman pidana tambahan yang diberikan oleh pengadilan. Artinya hanya 14,7% saja uang pengganti yang dibebankan oleh pengadilan kepada para koruptor dari total tren kerugian negara sebesar Rp. 168,3 triliun. Putusan pengadilan nampak lebih menguntungkan bagi para koruptor. Bagaimana tidak, manfaat yang diterima oleh koruptor dari hasil korupsi lebih besar daripada beban hukuman yang ditanggungnya.

Berdasar hasil laporan yang dibuat oleh ICW tersebut, maka sudah sepantasnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dibahas oleh lembaga legislatif. RUU ini menjadi kebutuhan mendesak yang perlu dibahas dan diundang-undangkan daripada RUU lainnya. Hal ini guna memaksimalkan penindakan terhadap para koruptor sekaligus sebagai langkah pencegahan supaya niat korupsi lebih dahulu ciut karena takut pada hukuman yang akan dihadapi.

Pentingnya Pemimpin yang Negarawan

Terlepas dari dua faktor yang dipaparkan oleh ICW, peningkatan angka korupsi secara konsisten selama lima tahun terakhir merupakan indikasi bahwa bangsa kita kekurangan para birokrat serta politisi yang memiliki jiwa negarawan. Jika saja para pemangku kebijakan adalah seorang negarawan, tentu para penegak hukum tidak terlalu disibukkan dengan perilaku koruptif para pejabat.

adUrgensi memiliki pemangku kebijakan yang memiliki watak negarawan sering kali disampaikan oleh Buya Syafii lewat tulisan-tulisannya. Seperti yang terdapat dalam bukuya, Bulir-Bulir Refleksi Seorang Mujahid (Maarif, 117-121: 2023), Buya Syafii menyampaikan betapa penting dan butuhnya negara terhadap sosok negarawan untuk mengurus institusi negara. Menurutnya, negarawan adalah seorang yang memiliki visi jangka panjang untuk kepentingan bangsa dan negara. Kekuasaan bagi seorang negarawan dijadikan sebagai wadah guna mewujudkan keadilan serta kesejahteraan bersama dan untuk tujuan tersebut sosok pemimpin dengan sifat negarawan rela berkorban dan menderita.

Pada bukunya yang lain, Indonesia Jelang Satu Abad Refleksi Tentang Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan (Maarif, 49-51: 2022) Buya Syafii menyebutkan bahwa dalam keadaan bangsa yang tidak menentu, kerinduan pada kehadiran negarawan semakin dirasakan, yaitu seorang yang berusaha meraih tujuan kemerdekaan seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terkhusus alinea keempat.

Melihat angka korupsi yang terus meningkat setiap tahunnya, memiliki para pemangku kebijakan yang negarawan telah sampai pada kebutuhan mendesak. Yaitu orang-orang yang memiliki integritas tinggi sehingga bisa mengatakan “tidak” pada korupsi baik dalam kata dan lakunya sekaligus tentunya memiliki kompetensi untuk memangku kebijakan. Bukan hanya karena hasrat dan modal popularitas semata.

Lebih jauh, sekarang sosok negarawan tidak hanya kita butuhkan pada tingkat pemerintahan pusat saja, namun pada semua tingkatan pemerintah mulai dari tingkat pusat hingga pada tingkat desa. Kebutuhan akan sosok negarawan pada tingkat desa sangat mendesak melihat banyaknya angka korupsi pada tingkat desa yang terjadi beberapa tahun ke belakang. Jika perilaku koruptif ini terus berulang setiap tahun, maka tujuan dibentuknya undang-undang desa tidak akan terwujud.

Dalam pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, secara jelas diatur mengenai tujuan dibentuknya pengaturan desa. Beberapa dari tujuan tersebut, untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum serta memajukan perekonomian masyarakat desa dan mengatasi kesenjangan pembangunan nasional. Tentu tujuan yang ditentukan oleh Undang-Undang tersebut tidak akan dapat terlaksana jika para pemangku kebijakan adalah orang-orang yang memiliki kebiasaan koruptif.

Supaya tujuan tersebut bisa tercapai dibutuhkan para sosok negarawan yang jujur dan kredibel serta kompeten untuk membangun desa sesuai dengan potensinya, bukan malah hanya menyejahterakan dirinya serta keluarganya saja.

 

Rizkul Hamkani

Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah Institut Agama Islam Hamzanwadi Pancor, Lombok Timur. Berhimpun di salah satu badan otonom NWDI, yaitu Himpunan Mahasiswa (Himmah) NWDI. Aktif dalam komunitas Kelas Reading Buya Syafii Lombok Timur
1196 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Jaga Pilar

Dampak Penambangan Pasir di Sungai Batanghari, Ancaman atas Bangsa?

3 Mins read
Sungai Batanghari adalah salah satu sungai terpanjang di sumatera yang mengalir melintasi provinsi jambi. Sungai batanghari memiliki manfaat yang sangat tinggi, sungai…
Jaga Pilar

Dampak Kebijakan Impor dan Ekspor terhadap Stabilitas Ketahanan

1 Mins read
Kebijakan impor dan ekspor pangan di Indonesia memiliki pengaruh signifikan terhadap ketahanan pangan nasional, terutama dalam aspek stabilitas harga pangan. Kebijakan ini…
Jaga Pilar

Jalan Keluar Masalah Krisis Iklim; Solusi untuk Bangsa

3 Mins read
Bayangkan jika pantai-pantai favorit di negeri ini tenggelam, cuaca kian tak terduga dan udara semakin panas. Ini bukan imajinasi tentang masalah masa…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *