Beberapa hari yang lalu, saya membaca laporan hasil pemantauan tren korupsi tahun 2023 yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada bulan Mei 2024. Laporan tersebut memaparkan angka tren korupsi yang terjadi di Indonesia pada tahun 2023. Menurut laporan tersebut, terdapat 791 kasus korupsi yang terjadi dalam kurun waktu Januari – Desember 2023 yang menjerat 1.695 tersangka dengan potensi kerugian negara sebanyak Rp. 28,4 Triliun.
Menurut data yang dilaporkan ICW tersebut, tren korupsi di Indonesia secara konsisten mengalami kenaikan selama lima tahun terakhir. Pada kurun waktu 2019 hingga 2023, kasus korupsi yang terjadi sebanyak 2.618 kasus dengan total tersangka 5.719 orang dan potensi kerugian negara Rp. 127,5 Triliun. Tentu bukan konsistensi yang layak diacungi jempol dan gemuruh tepuk tangan.
Dari laporan ICW tersebut, dapat diamati bahwa korupsi terjadi pada semua tingkatan pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga institusi pemerintahan paling bawah, desa. Bahkan menurut laporan tersebut, angka korupsi terbanyak terjadi pada tingkat desa yaitu sebanyak 187 kasus dengan jumlah tersangka 294 orang pada tahun 2023. Angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun lalu dan secara konsisten mengalami peningkatan selama delapan tahun terakhir.
Memaksimalkan Penegakan Hukum
Peningkatan tren korupsi secara konsisten ini menjadi peringatan keras pada semua kalangan, terutama pemerintah. Angka tren korupsi serta kerugian negara yang begitu besar dapat menjadi indikasi bahwa usaha pemerintah dalam penanganan korupsi masih belum maksimal. Menurut analisis ICW, terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan tren korupsi setiap tahunnya. Pertama, strategi pemberantasan korupsi melalui penindakan oleh aparatur hukum tidak optimal. Kedua, strategi pencegahan korupsi yang belum berjalan secara maksimal.
Dua faktor peningkatan korupsi tersebut erat kaitannya dengan hukuman yang diberikan oleh pengadilan kepada para koruptor yang tidak terlalu memberi efek jera. Jika melihat pada laporan tren korupsi oleh ICW, pada periode 2020 hingga 2022 tren kerugian negara karena korupsi sebesar Rp. 168,3 triliun.
Berdasar hasil laporan yang dibuat oleh ICW tersebut, maka sudah sepantasnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dibahas oleh lembaga legislatif. RUU ini menjadi kebutuhan mendesak yang perlu dibahas dan diundang-undangkan daripada RUU lainnya. Hal ini guna memaksimalkan penindakan terhadap para koruptor sekaligus sebagai langkah pencegahan supaya niat korupsi lebih dahulu ciut karena takut pada hukuman yang akan dihadapi.
Pentingnya Pemimpin yang Negarawan
Terlepas dari dua faktor yang dipaparkan oleh ICW, peningkatan angka korupsi secara konsisten selama lima tahun terakhir merupakan indikasi bahwa bangsa kita kekurangan para birokrat serta politisi yang memiliki jiwa negarawan. Jika saja para pemangku kebijakan adalah seorang negarawan, tentu para penegak hukum tidak terlalu disibukkan dengan perilaku koruptif para pejabat.
Pada bukunya yang lain, Indonesia Jelang Satu Abad Refleksi Tentang Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan (Maarif, 49-51: 2022) Buya Syafii menyebutkan bahwa dalam keadaan bangsa yang tidak menentu, kerinduan pada kehadiran negarawan semakin dirasakan, yaitu seorang yang berusaha meraih tujuan kemerdekaan seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terkhusus alinea keempat.
Melihat angka korupsi yang terus meningkat setiap tahunnya, memiliki para pemangku kebijakan yang negarawan telah sampai pada kebutuhan mendesak. Yaitu orang-orang yang memiliki integritas tinggi sehingga bisa mengatakan “tidak” pada korupsi baik dalam kata dan lakunya sekaligus tentunya memiliki kompetensi untuk memangku kebijakan. Bukan hanya karena hasrat dan modal popularitas semata.
Lebih jauh, sekarang sosok negarawan tidak hanya kita butuhkan pada tingkat pemerintahan pusat saja, namun pada semua tingkatan pemerintah mulai dari tingkat pusat hingga pada tingkat desa. Kebutuhan akan sosok negarawan pada tingkat desa sangat mendesak melihat banyaknya angka korupsi pada tingkat desa yang terjadi beberapa tahun ke belakang. Jika perilaku koruptif ini terus berulang setiap tahun, maka tujuan dibentuknya undang-undang desa tidak akan terwujud.
Dalam pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, secara jelas diatur mengenai tujuan dibentuknya pengaturan desa. Beberapa dari tujuan tersebut, untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum serta memajukan perekonomian masyarakat desa dan mengatasi kesenjangan pembangunan nasional. Tentu tujuan yang ditentukan oleh Undang-Undang tersebut tidak akan dapat terlaksana jika para pemangku kebijakan adalah orang-orang yang memiliki kebiasaan koruptif.
Supaya tujuan tersebut bisa tercapai dibutuhkan para sosok negarawan yang jujur dan kredibel serta kompeten untuk membangun desa sesuai dengan potensinya, bukan malah hanya menyejahterakan dirinya serta keluarganya saja.