Baru-baru ini nama Sutan Syahrir dikaitkan dengan politikus muda Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Perihal ini diucapkan oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Airlangga mencatut Sutan Syahrir untuk melegitimasi majunya Gibran Rakabuming sebagai cawapres untuk Koalisi Indonesia Maju mendampingi Prabowo Subianto.
Menurut Airlangga, Indonesia mempunyai sejarah yang pernah memimpin Indonesia, adalah Sutan Syahrir yang berumur 36 tahun menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia. Karena itulah, partai yang dipimpin oleh Airlangga itu menyepakati nama Gibran Rakabuming sebagai cawapres dalam kontestasi Pemilu 2024 (Tirto: 25 Oktober 2023).
Jadi, siapakah Sutan Syahrir?
Sutan Syahrir (1909-1966), berasal dari suku Minangkabau, lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat tanggal 5 Maret 1909 sebagai putra jaksa dan keluarga terpandang. Dari kecil Syahrir sudah mendapatkan pendidikan Belanda, dan dengan ijazah Sekolah Menengah Algemeene Middelbare School (AMS) dari Bandung circa 1929, Syahrir berangkat ke negeri Belanda untuk kuliah hukum, tapi tidak pernah menamatkan studinya.
Pada waktu itu, Sjahrir sudah giat dalam organisasi-organisasi pemuda nasionalis. Di Belanda dia melanjutkan agitasi anti-kolonialnya, bekerja sama erat dengan Mohammad Hatta, yang kuliah di Belanda sejak tahun 1921, dan aktif di bidang politik sebagai pemimpin Perhimpunan Indonesia. Syahrir mengutamakan kegiatan politiknya dan menomorduakan kuliahnya (Ingleson 1993).
Setelah berkonsultasi dengan Hatta, Syahrir kembali ke tanah air tahun 1931. Dia masuk ke Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru). Setelah kepulangannya dari Belanda, Hatta juga aktif di PNI-Baru. Secara ideologis, PNI-Baru tidak berbeda dengan Partai Indonesia (Partindo) yang didirikan oleh Sukarno. Mereka memiliki konsep inti yang sama: mandiri dan nonkooperasi. Dalam agitasi, PNI-Baru menekankan pada pendidikan, sedang Sukarno lebih menekankan pada aksi massa. Kedua taktis itu patah pucuk (Ingleson 1983).
Pada Februari 1934 Syahrir dan Hatta ditangkap dan PNI-Baru menjadi tidak berdaya. Sebelumnya, Sukarno dan Partindo mengalami nasib yang sama. Syahrir dan Hatta diasingkan ke Boven-Digoel. Pasca setahun, mereka dipindahkan ke Banda. Di Banda mereka seolah-olah hidup dalam semacam âsangkar emasâ, tanpa ada proses pengadilan sampai serangan Jepang (Shiraishi 2023).
Syahrir banyak menulis surat untuk istri pertamanya Maria Duchateau. Ikatan perkawinan resmi dihalangi pemerintah Hindia Belanda. Surat-surat itu hingga kiwari masih tersimpan. Beberapa di antaranya diterbitkan tahun 2021 dengan judul Wissel op de toekomst: Brieven van de Indonesische nationalist aan zijn Hollandse geliefde (Perubahan masa depan: Surat-surat dari seorang nasionalis Indonesia kepada kekasih Belandanya). Diharapkan surat-surat itu bisa diterbitkan sebagai dokumen unik ihwal kehidupan sehari-hari dan perkembangan spiritual seorang pemuda yang sangat berbakat.
Pendudukan Jepang membuat masa tahan Syahrir dan Hatta berakhir. Syahrir tidak melibatkan diri pada masa pendudukan Jepang. Dia menjaga jarak dari penjajah, tetapi juga tidak melakukan perlawanan seperti Amir Sjarifoeddin. Syahrir membentuk kumpulan pemuda yang sepemikiran.
Setelah Proklamasi, para pemuda ini tetap berkomitmen pada Syahrir, baik sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin politik. Dalam usia tigapuluh enam tahun, Syahrir menjadi Perdana Menteri dari tiga kabinet berturut-turut dari November 1945 hingga Juni 1947.
Meski masih muda, tetapi Syahrir berani memangku tampuk pimpinan bangsa dan negara, menghadapi penjajah Belanda yang mau menguasai kembali Indonesia, menghadapi kekuatan-kekuatan internasional yang berperan di kawasan ini seusai Perang Dunia II, seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Cina. Saat itu goodwill politiknya habis. Sjahrir kemudian dikerahkan sebagai duta besar keliling Republik Indonesia (Mråzek 1994).
Pada Februari 1948, Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Di partai itu pelbagai gagasannya mengenai sosial-demokrat dijalankan kembali, seperti halnya penekanannya pada pendidikan dan pembentukan kader.
Pada tahun lima puluhan yang penuh gejolak, PSI semakin berada di bawah agitasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Perihal ini Sukarno pura-pura tidak tahu: tahun 1962, PSI dilarang dan Syahrir dipenjara. Dia mendapat izin pergi ke Swiss untuk menjalani perawatan medis. Syahrir wafat di rumah sakit ZĂŒrich, Swiss dalam usia 57 tahun, tidak lama setelah jatuhnya Sukarno.
Ihwal Perjuangan Kita
Dalam pamflet historis yang disebut Perjuangan Kita, di mana publikasinya secara resmi diumumkan titimangsa 10 November 1945, Syahrir berupaya menyampaikan analisis situasi yang menyeluruh, suatu kritik ihwal kebijakan pemerintah dan personelnya, dan suatu program rasional bagi masa depan perjuangan nasionalis.
Esainya itu merupakan diagnosis masalah-masalah kontemporer Indonesia yang paling jelas terartikulasikan dan satu-satunya program yang koheren bagi pengembangan perjuangan nasionalis selama tahun-tahun konflik fisik dengan Belanda (satu-satunya karya yang dapat diperbandingkan adalah program Tan Malaka untuk Persatuan Perjuangan) (Elson 2008).
Sukarno sendiri tidak mengeluarkan pernyataan publik yang luas sebagai perspektifnya sendiri dalam fase perjuangan nasional iniâsuatu kediaman yang kontras dengan artikulasinya yang sedemikian besar sebagai seorang ideolog dalam periode-periode sebelum dan sesudah fase ini.
Dampak dari pamflet Syahrir segera muncul. Kaum muda militan ibu kota, meskipun kurang memerhatikan kecerdikan prognosis jangka panjang Syahrir, digugah oleh serangan-serangannya yang pahit dan tajam terhadap golongan nasionalis yang lebih tua dan para pegawai sipil sebagai âanjing-anjing budak Jepangâ.
Dan ini merupakan langkah penting karena dukungan mereka jugalah yang membuat Syahrir bisa menuju kekuasaan dalam âkudeta bisuâ pada November 1945. Meskipun Sukarno dipertahankan sebagai Presiden, pemahaman konstitusi Presidensial diinterpretasikan kembali untuk menggeser semua kekuasaan eksekutif ke dalam tangan seorang Perdana Menteri yang bertanggungjawab secara langsung kepada legislatif sementara. Kabinet yang dibentuknya mewakili suatu pemusatan total dengan pendahulunya dan berkuasanya âkaum oposisiâ periode Jepang. Tokoh-tokoh kuncinya adalah Syahrir sendiri dan Amir Sjarifuddin yang baru saja dibebaskan (Kahin 1952).
Fakta bahwa pengarang manifesto yang begitu anti-Jepang kini berada di pucuk pimpinan pemerintah Indonesia menunjukkan tidak benarnya anggapan Belanda bahwa negara baru ini merupakan hasil ciptaan Jepang sehingga dengan sendirinya memperbaiki posisi diplomatik Republik muda di depan para komandan Sekutu dan dunia luar (Anderson 1972).
Namun nada anti Jepang dan anti kaum âkolaboratorâ dalam Perjuangan Kita, meskipun mendekatkan Syahrir dengan kaum muda militan dan Sekutu, yang cenderung menganggap Sukarno sebagai âkolaborasionisâ berdasar pidato-pidatonya pada masa perang, mengakibatkan Sjahrir mendapatkan oposisi yang tangguh dari banyak kolega nasionalisnya yang lebih tua. Kebencian ini menghantui sisa kehidupan politiknya.
Pamflet Perjuangan Kita bukanlah tulisan efektif politik yang mendukung kekuasaan besar Syahrir. Juga bukan semata-mata suatu polemik menentang rival-rival politiknya. Tulisan itu menunjukkan suatu pernyataan strategi dan taktik yang jelas kemudian sungguh diikuti tanpa perbedaan yang serius oleh para penggantinya (tidak ada alasan untuk menganggap bahwa Sukarno sendiri tidak setuju secara fundamental dengan aspek-aspek Perjuangan Kita).
Hal ihwal inilah yang menjadikan Perjuangan Kita bacaan penting untuk memahami kebijakan Indonesia selama era revolusi. Inti dari argumen Perjuangan Kita berada pada disparitas Syahrir yang sedemikian besar, seperti demikian banyak orang dari generasinya, baik kaum âkolaboratorâ dan âbawah tanahâ, melihat antara kelemahan negara baru Indonesia dan kekuatan yang luar biasa dari para super power, khususnya Barat.
Sjahrir mengambil kesimpulan menentukan bahwa âsejauh dunia yang kita tinggali tetap didominasi oleh kapital, kita dipaksa yakin bahwa kita tidak mendapatkan permusuhan dari kapitalismeâ.
Dari simpulan ini, mengikuti logika yang jelas, bahwa diplomasi yang paling halus diperlukan untuk mencegah kekuatan kapital Amerika Serikat yang besar dimobilisasi di belakang usaha Belanda untuk menundukkan Indonesia dan untuk mendapatkan dukungan simpati Amerika bagi aspirasi nasionalis Amerika (Gouda & Zaalberg 2002).
Perihal ini pada gilirannya menuntut suatu sikap fleksibel terhadap modal Amerika di Indonesia, berakhirnya kekerasan oleh kaum muda militan, khususnya melawan kulit putih asing, bentuk politik dan institusi yang diterima oleh Barat, dan suatu retorika nasionalis tanpa komponen yang radikal.
Sang Negarawan
Selama jabatannya sebagai Perdana Menteri, Syahrir melaksanakan persetujuan Linggarjati yang begitu penting di mana Belanda mengakui kekuasaan de facto Repubik di Jawa dan Sumatera. Tapi bertentangan dengan keberhasilan diplomatik ini oposisi terhadap kebijakan koalisinya tumbuh dan dia dipaksa untuk mundur dari kantornya titimangsa 27 Juni 1947.
Pasca itu Syahrir menjadi ketua pendukung Indonesia di Persatuan Bangsa-Bangsa. Pada 1948 timbul perbedaan personal dan ideologis dengan Amir Sjarifuddin yang mengakibatkan perpecahan dalam tubuh Partai Sosialis yang dulunya mereka pimpin bersama, dan Syahrir membentuk PSI sebagai kelompok pecahan dari struktur utamanya, yang menjadikan Amir semakin pro-Komunis.
Selama peristiwa Madiun, Syahrir memberikan dukungan kuat terhadap pemerintahan Hatta yang menindas partai Sosialis lama, yang sementara itu telah bergabung dengan Partai Komunis Indonesia dan organisasi-organisasi politik paling kiri lainnya dalam front Demokratik Rakyat.
Sesudah pengalihan kekuasaan, Syahrir tidak memainkan peranan langsung dalam pemerintah tapi mungkin mempunyai pengaruh besar dalam menciptakan kerangka intelektual dimana pemerintah pada awal 50-an menjalankan pendekatan ini terhadap masalah-masalah Indonesia. Tetapi ketika pemilihan umum dilaksanakan pada 1955, PSI hanya memenangkan 5 kursi dari sejumlah 257 kursi di Parlemen, sementara golongan Komunis, yang telah hancur pada 1948, pulih secara mencolok dengan perolehan tidak kurang dari 39 kursi, dan muncul sebagai partai âEmpat Besarâ (Legge 1993).
Penolakan dalam Pemilihan Umum (pemilu) ini sungguh-sungguh mengakhiri kesempatan Sutan Syahrir untuk kembali dalam politik. Dia kemudian aktif sebagai oposisi terhadap Sukarno yang pengaruh politiknya mulai tumbuh sementara kekuatan Komunis juga meluas. Dengan mulainya Demokrasi Terpimpin, Syahrir mulai tenggelam, dan pada Agustus 1960 PSI dilarang oleh Sukarno karena gagal memberikan jaminan dukungan prinsip-prinsip ideologis bagi rezim anyar.
Kalakian, tanggal 17 Januari 1962, Sutan Syahrir ditahan bersama dengan sejumlah rekan dan sekutu politiknya dengan pasal tuduhan konspirasi melawan negara. Dia tidak pernah dibawa ke pengadilan. Pada awal 1965, masih dalam tahanan, Syahrir mengalami stroke yang parah. Sebelum Mei 1965 kondisinya menjadi begitu serius, sehingga Sukarno memberi izin untuk menjalani perawatan kesehatan di Switzerland.âââââââSyahrir tidak pernah melihat negaranya lagi. Dia meninggal dunia dalam pengasingan titimangsa 9 April 1966.
Syahrir dikebumikan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta dengan upacara kehormatan nan khidmat. Sepuluh hari setelah kematiannyaâmelalui Keppres nomor 76 tahun 1966âSutan Syahrir ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional. Sebenarnya sudah terlambat untuk membayarnya dengan kebaikan mengingat bagaimana dia diperlakukan dengan kurang hormat semasa hidupnya.
Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia berusaha keras untuk bekerja mencerdaskan dan mendewasakan bangsa, menciptakan kerakyatan dan keadilan, mengokohkan kedaulatan rakyat, mengikis habis sisa-sisa feodalisme, membasmi kecenderungan fasisme dan totaliterisme. Semua itu dipikirkannya tatkala berusia 36 tahun!
Semoga kisah hidup Syahrir pada permulaan zaman revolusi Indonesia ini dapat memberikan semangat kepada kita untuk berusaha membangkitkan kembali batang terendam. Cetak PDF Muhammad Iqbal Sejarawan IAIN Palangka Raya. Menulis tiga buku: Tahun-Tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021), dan Bermula dari Cerita Abah: Pemikiran Islam, Politik Islam, dan Islam Tradisi (Yogyakarta: Tanda Baca, Mei 2022).
*Artikel ini telah tayang di Arina.Id. Jika ingin baca aslinya, klik tautan ini: https://arina.id/perspektif/ar-nzvhY/siapakah-sutan-syahrir-