Soedjatmoko adalah seorang intelektual Indonesia yang terkenal dengan pemikiran soal ekonomi, pembangunan, serta kebebasan atau kemerdekaan manusia. Soedjatmoko menjadi salah satu delegasi Indonesia ke sidang PBB di tahun 1947.
Pria yang kerap disapa Koko ini lahir pada 10 Januari 1922 di Sawahlunto, Sumatra Barat. Walau lahir di tanah Minang, dirinya adalah keturunan Jawa bahkan keluarganya berstatus bangsawan Jawa.
āKoko bercerita tentang keturunan bangsawan Jawa yang menjadi lurah perdikan di Desa Balerejo, Kebonsari, Madiun,ā ucap seorang aktor dalam wawancara dalam Film dokumenterĀ Soedjatmoko, Jejak Akar Kultural Leluhur yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia.
Akhlis Syamsal Qomar, penulis dan sejarawan menjelaskan bahwa keluarga Soedjatmoko tidak mau menggunakan gelar keraton, seperti raden, mas, raden ayu, atau raden ajeng. Meski berdasarkan silsilah, mereka keturunan ningrat.
āDi sana tidak ada gelar bangsawan, tidak ada gelar pendidikan, namun hanya menggunakan dua gelar. Untuk laki-laki yakni Ki dan untuk perempuan Ni. Itu bagaimana meleburkan keluarga Mangunarso yang tanpa sekat, tanpa pangkat, dan tanpa gelar embel-embel lainnya,ā jelasnya.
Diplomat ulung
Dinukil dariĀ Kompas,Ā Koko menempuh pendidikan di sekolah kedokteran di Batavia tetapi dikeluarkan pada 1943. Setelah merdeka, Koko bersama tiga diplomat lain mewakili Indonesia dalam Sidang Dewan Keamanan PBB.
āKoko, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, dan Soemitro Djojohadikusumo, empat orang inilah yang menyakinkan negara-negara lain untuk mengakui Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan memenuhi syarat sebagai sebuah negara,ā jelas Rosy Dewi Arianti Saptoyo dan Kristian Erdianto.
Sembari meneruskan pendidikan, Koko terus menorehkan karir diplomatiknya. Pada 1966, dia menjadi wakil ketua delegasi Indonesia di PBB. Lalu pada tahun berikutnya diberikan tugas sebagai penasihat untuk delegasi PBB.
Koko sempat menjadi Duta Besar RI di Amerika Serikat pada 1968, juga menjadi penasihat Menteri Luar Negeri Adam Malik. Dia juga berperan aktif dalam perdebatan internasional, terkait isu-isu global.
āKoko menerbitkan banyak buku-buku soal kebebasan, pembangunan, kemiskinan, dan membahas persoalan-persoalan di Asia dan pasifik,ā paparnya.
Dapat penghargaan
Koko menerima penghargaan sebagai Warga Asia (Asia Society Award) pada 1985, dan mendapat Universities Field Staff International Award untuk Distinguished Service to the Advancement of International Understanding di tahun berikutnya.
Saat pindah ke Tokyo, Jepang, dia menjabat sebagai rektor Universitas PBB hingga tahun 1987. Dirinya tetap menyampaikan pemikiran soal perdamaian, penyelesaian konflik, ekonomi, isu global, hingga memandang manusia sebagai insan.
āJadi pemikiran-pemikiran, nilai-nilai yang diperoleh oleh Ayah saya di sini, lewat leluhurnya, menjadi pondasi saat dia berbicara kepada komunitas internasional,ā jelas Karmala Chandrakirana, putri Koko.
Walau terlibat dalam kemerdekaan Indonesia, Koko memiliki sekat khusus untuk berjarak dengan kekuasaan. Meski sempat bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia, Koko dipandang sebagai intelektual independen.
āKarena dia sangat egaliter dan otonom juga, meski dia seorang sosialis, tetapi dia jelas bahwa dia memandang humanisme dengan sangat tinggi. Namun di Indonesia, dia berjarak, tidak masuk politik praktis,ā ungkap Kuncoro.
Selengkapnya baca di sini