Islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang membawa rahmat bagi seluruh alam, sering kali disalahpahami dalam banyak hal. Salah satunya adalah bagaimana Islam memahami seni dan ekstremisme. Ketika kita berbicara tentang Islam, seni dan ekstremisme, kita berbicara tentang dua kutub yang sering dianggap berlawanan: satu adalah ekspresi keindahan, sentimen dan kelembutan, sedangkan yang lain adalah cerminan kekerasan, ketegangan dan kehancuran. Namun, benarkah seni dan ekstremisme dalam Islam saling meniadakan, atau adakah fenomena yang lebih dalam yang patut kita renungkan?
Dalam banyak kasus, ekstremisme sering disebut sebagai sikap fanatik yang menganggap dirinya paling benar, menolak sudut pandang yang berbeda, dan menggunakan kekerasan untuk memaksakan pandangannya. Ekstremisme ini tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik, tetapi juga mencakup kekerasan ideologi, kekerasan perasaan, dan kekerasan pikiran. Ketika ada orang yang menyatakan bahwa seni bertentangan dengan ajaran Islam, maka kita sedang berhadapan dengan semacam ekstremisme budaya yang mengingkari keragaman ekspresi keindahan yang telah diabadikan oleh sejarah panjang peradaban Islam itu sendiri.
Ekspresi Keindahan dalam Seni Islam
Islam dalam sejarahnya merupakan agama yang sangat menghargai seni. Lihat karya arsitektur seperti Masjid Al-Haram di Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah atau Masjid Al-Aqsa di Yerusalem. Semuanya merupakan representasi kebesaran Tuhan yang dirasakan dan diwujudkan melalui seni. Kaligrafi yang menghiasi dinding masjid, pola geometris yang menghiasi halaman-halaman Al-Quran, semuanya merupakan bentuk seni yang begitu dekat dengan spiritual.
Seni dalam Islam bukan hanya soal estetika, tapi juga metode perbudakan. Seni merupakan ibadah karena merupakan ungkapan rasa syukur, keheranan dan kekaguman terhadap Sang Pencipta. Seorang seniman dalam proses kreatifnya mengalami pemenuhan spiritual yang mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Inilah yang terkadang dilupakan oleh para ekstremis yang menganggap segala bentuk seni adalah bid’ah, atau bahkan kesyirikan.
Namun, di situlah letak masalahnya. Ketika ekstremisme tumbuh, hal ini menciptakan polarisasi yang kejam: ada yang baik dan buruk, tidak ada tempat untuk “di tengah” atau “di pinggir”. Seni, dengan sifatnya yang cair dan berlapis-lapis, sering kali menyulitkan mereka yang melihat agama melalui kacamata hitam putih. Sebenarnya Islam tidak sekaku itu. Islam adalah agama yang menawarkan ruang interpretasi, diskusi dan ekspresi kreatif, seperti seni.
Seni sebagai Jembatan, Bukan Penghalang
Kita juga harus ingat bahwa seni dalam Islam tidak terbatas pada penampilan. Ada sastra, musik, tari, dll. Kita tahu betul sejarah besar tasawuf, di mana seni menjadi sarana pengabdian yang intens. Lagu Qasidah, puisi Rumi, bahkan tarian sufi merupakan bentuk seni yang mendekatkan manusia kepada Allah. Seni menjadi medium yang menghubungkan dunia fana manusia dengan dunia spiritual yang tiada batasnya.
Di sini, ekstremisme sering kali gagal memahami esensi seni. Bagi mereka, seni merupakan hal duniawi yang patut dihindari karena diyakini dapat menjauhkan manusia dari Tuhan. Faktanya, sejarah Islam menunjukkan kepada kita bahwa seni memang merupakan jembatan menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang Tuhan. Bisakah kita mengatakan bahwa puisi Rumi, yang masih dibaca oleh banyak umat Islam di seluruh dunia, adalah suatu bentuk kejahatan? Tentu saja tidak.
Ekstremisme, baik dalam bentuk pemikiran maupun tindakan, sering kali berakibat pada pandangan yang kaku terhadap agama. Mereka lupa bahwa seni Islam tidak pernah bertujuan memisahkan manusia dari Tuhan, malah sebaliknya. Seni adalah cerminan keagungan Tuhan. Ini adalah cara manusia mengekspresikan aspirasi spiritualnya, cara merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Konteks Historis dan Pengaruh Ekstremisme pada Seni Islam
Pada masa keemasan Islam, yaitu pada abad ke 8-13, kita melihat bagaimana seni berkembang pesat di dunia Islam. Bagaimana agama yang melahirkan peradaban besar ini bisa memusuhi seni? Lihat bagaimana arsitektur berkembang di Andalusia, Baghdad, dan Persia. Bagaimana ilmuwan, seniman, dan sufi hidup berdampingan dalam suasana intelektual yang penuh toleransi dan saling menghargai.
Namun, ketika pemikiran ekstremis mulai mengambil alih dunia Islam, kita melihat bagaimana seni dan kebebasan berekspresi mulai ditindas. Hal ini bukanlah fenomena yang berasal dari inti ajaran Islam, melainkan dari penafsiran yang kaku, yaitu takut akan perubahan, takut berdialog dan takut akan keindahan yang tidak bisa mereka pahami. Ketakutan ini bermula dari ketidakmampuan memahami bahwa Islam adalah agama terbuka yang menyambut baik keberagaman ekspresi manusia.
Di sinilah letak perbedaan mendasar antara Islam moderat, inklusif, dan ekstremisme. Islam moderat menilai seni sebagai sarana untuk mencapai Tuhan, sedangkan ekstremisme memandang seni sebagai ancaman terhadap pemurnian agama. Ini adalah kesalahpahaman yang besar, karena Islam bukanlah agama yang menentang seni, melainkan agama yang menggunakan seni sebagai alat spiritual.
Mengatasi Ekstremisme Lewat Seni
Tantangan kita di era modern ini adalah mengalahkan ekstremisme tanpa harus memusuhi mereka yang terjebak oleh pemikiran tersebut. Salah satu solusinya adalah menerima kembali seni sebagai alat dakwah yang damai dan bermakna. Dengan seni kita bisa mengajak dialog, bukan kekerasan atau perdebatan yang berujung jalan buntu.
Temukan bagaimana seni dapat menjadi bahasa universal, melampaui batas-batas etnis, budaya, dan bahkan agama. Ketika kaligrafi Islam dipamerkan di museum-museum besar di Eropa atau Amerika, itu bukan sekedar seni belaka. Merupakan pesan yang mendalam tentang keindahan Islam, tentang bagaimana Islam menghargai dan mensyukuri kreativitas manusia sebagai anugerah dari Allah.
Seni sebagai Jalan Damai
Dalam menghadapi ekstremisme, seni dapat menjadi instrumen perdamaian yang menjembatani perbedaan. Seni mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan, karena seni itu sendiri lahir dari keberagaman. Hal ini mengajarkan kita untuk menjadi lebih sensitif, lebih terbuka dan lebih manusiawi. Seniman yang bekerja adalah manusia yang berjuang menemukan kedamaian dalam dirinya. Dengan cara ini, seni dapat menjadi alat untuk meredakan ketegangan, membuka dialog, dan menemukan solusi yang lebih manusiawi terhadap ekstremisme.
Ekstremisme dan seni, meski terkesan bertolak belakang, pada akhirnya bisa dipahami sebagai dua ekspresi yang sama-sama mencari kebenaran, meski dengan cara berbeda. Tantangannya adalah memfasilitasi pertemuan kedua dunia ini dalam semangat Islam yang penuh cinta, rahmat dan keindahan.