Jagat media sosial (medsos) seolah tak ada habisnya digemparkan oleh sentimen kebencian. Di abad digital yang mana ruang kebebasan berkespresi dan beraspirasi, terkadang menyisakan masalah serius seperti kritik yang dilontarkan di medsos yang kebablasan.
Dalam demokrasi kita, kritik tidak dilarang, hanya saja caranya yang etis, bukan malah atas dasar sentimen ataupun politik kebencian. Pasalnya, narasi tak etis seperti ini acapkali menggelinding memicu provokasi dan propaganda. Memang, politik dan medsos saat ini adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Membangun citra di medsos walau dengan cara-cara tak etis di abad digital ini ini merupakan kerap dilakukan oleh oknum yang tak bertanggung jawab.
Bangsa ini memang rentan dan berpotensi besar akan tindakan kejahatan di medsos. Pasalnya, seperti dilansir laman www.kominfo.go.id yang menyimpulkan bahwa warganet Indonesia menempati urutan kelima dunia dalam hal kecerewetan di media sosial. Masyarakat Indonesia yang rerata notabene mampu menatap layar gadget lebih dari 9 jam per hari.
Alih-alih berdampak positif terhadap literasinya, malah justru sebaliknya terkenal cerewet dan kurang santun di medsos. Bayangkan, ilmu minimalis, literasi rendah, tapi sangat suka menatap layar gadget berjam-jam, dan ditambah paling cerewet di medsos pula. Narasi seperti kritik yang brutal, kebablasan, dan politik kotor lainnya tak seharusnya membanjiri medsos. Artinya, medsos haruslah steril dari virus politik kotor ataupun sentimen kebencian.
Memang kalau kita lihat akhir-akhir ini, seolah tidak mengherankan jika Indonesia jadi sasaran empuk untuk manuver politik yang menyinggung SARA, provokasi, hoax, dan fitnah. Kecepatan jari untuk langsung like dan share bahkan melebihi kecepatan otaknya untuk memverifikasi kebenaran informasinya. Padahal informasinya belum tentu benar.
Fakta-fakta memilukan tersebut yang sudah semestinya kita respons dengan pembinaan dan penyadaran netizen akan pentingnya etika di medsos secara bijak. Hal ini bisa dilakukan dengan mengamalkan literasi kebangsaan. Dalam hal ini adalah kemampuan dalam memahami nilai-nilai Pancasila sebagai identitas bangsa untuk diamalkan dalam bermedia sosial. Apalagi, Indonesia memiliki beragam suku bangsa, bahasa, kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, dan lapisan sosial.
Sebagai bagian dari dunia, Indonesia pun turut terlibat dalam kancah perkembangan dan perubahan global. Oleh karena itu, kemampuan untuk menerima dan beradaptasi, serta bersikap secara bijaksana atas keragaman ini menjadi sesuatu yang mutlak. Pun demikian juga bagaimana menciptakan kesantunan di media sosial dalam kaitan dengan perasaan senasib sebangsa dan setanah air merupakan hal yang sangat penting.
Patut disadari pula bahwa etika bermedsos di era digital yang harus dimiliki adalah kemampuan tanggung jawab simpatisan sebagai bagian dari suatu bangsa. Dan aktualisasi literasi kebangsaan merupakan bagian dari bentuk rasa tanggung jawab itu.
Oleh karena itu, pemahaman politik di medis sosial dengan rasa dan literasi kebangsan penting diberikan di tingkat keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dan tentunya yang paling penting di level tindakan bagaimana literasi kebangsaan tersebut betul-betul diamalkan di medsos.
Apalagi, dengan pengamalan literasi kebangsaan tidak hanya akan menyelamatkan dan membangun ekosistem berpolitik di medsos menjadi damai, akan tetapi juga membangun identitas bangsa Indonesia di tengah masyarakat global.
Karakteristik kesalehan dalam berpolitik di medsos bisa dimulai dari bahasa yang santun. Bahasa santun menjadi kehormatan tinggi yang harus dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kita bisa belajar dari falsafah Jawa, memayu hayuning bawono dimana kita mengenal falsafah hidup bahwa manusia harus mampu menjaga lingkungan hidupnya.
Ungkapan tersebut tidak hanya memiliki arti filosofis, tetapi juga menyiratkan bahwa perilaku manusianya merupakan bagian dari suatu budaya. Dalam kaitannya dengan lingkungan media sosial di era Society 5.0 ini, kita patut memancarkan sinar-sinar kedamaian dengan adab bermedsos dengan bijak.
Adapun prinsip-prinsip adab bermedsos dengan rasa kebangsaan yang harus kita pahami paling tidak diantaranya pertama, multikultural dan partisipatif. Indonesia memiliki beragam suku bangsa, bahasa, kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, dan lapisan sosial. Dengan kondisi seperti ini, dibutuhkan suatu masyarakat yang mampu berempati, bertoleransi, dan bekerja sama dalam keberagaman.
Semua warga masyarakat dari berbagai lapisan, golongan, dan latar belakang budaya memiliki kewajiban dan hak yang sama untuk turut berpartisipasi aktif dalam kehidupan bernegara. Pun demikian dalam berinteraksi di media sosial.
Kedua, nasionalisme. Kesadaraan akan kebangsaan adalah hal penting yang harus dimiliki oleh setiap warga negara. Dengan kecintaan terhadap bangsa dan negaranya, setiap individu akan bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku dan menjunjung tinggi martabat bangsa dan negaranya. Resonansi nasionalisme ini juga patut kita gaungkan ke ruang-ruang digital.
Ketiga, inklusivitas. Di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, pandangan dan perayaan inklusivitas sangat berperan untuk membangun kesetaraan warga. Terbangunnya sikap inklusif akan mendorong setiap anggota masyarakat untuk mencari keuniversalan dari budaya baru yang dikenalnya untuk menyempurnakan kehidupan mereka.
Dengan sikap inklusivitas inilah akan tercipta kedamaian dalam keberagaman. Untuk memuluskan berbagai misi mulia tersebut tentunya pemerintah melalui kepanjangan tangannya Kominfo tidaklah bisa bekerja sendirian. Berbagai pihak perlu dilibatkan. Sinergi bersama ini juga adalah kunci sukses menciptakan iklim politik khususnya 2024 di medsos yang damai.