Dari belahan kepulauan timur Indonesia, inilah bagaimana saya sebagai seorang guru melukiskan perasaan ini? Tentang sebuah harapan baru yang terbit di mata kanak-kanak.
Mata para siswa yang penuh binar menyambut asa di sekolah. Kekaguman, rasa syukur dan bahagia mendalam, menudungi pandangan setiap kali saya melihat daya dan talenta para siswa dari negeri dengan puluhan etnik dan ratusan bahasa yang berbeda ini. Sebuah negeri yang mewarisi sisa-sisa peradaban paling purba manusia, semenjak 5000 tahun sebelum masehi.
Kerap saya menyaksikan ada semacam gelombang girah, kegigihan, dan tekad baja terpancar dari lubuk jiwa bocah-bocah kampung yang tumbuh menggumuli alam, menyelami laut biru dan mengakrabi hutan-hutan yang sunyi. Dengan ransel dan buku-buku di punggung, pantang jeri mereka melintasi kelok jalan yang dipenuhi undakan batu. Tak ada mal dan super market disini. Tak ada museum tempat ikan paus berumah. Tapi mereka tetap gembira.
Suara dari kerongkongan ajaib anak-anak sekolah terdengar merdu kala bernyanyi. Mereka terus bernyanyi. Bagi mereka bernyanyi seperti berdoa dua kali. Meski tak ada industri musik disini, rapp dan hip-hop tumbuh seperti arus sungai. Menderas hingga bemo-bemo menjelma diskotik berjalan.
Bagaimana saya melukiskan perasaan ini? Dibalik kerasnya ekses kehidupan modern dengan tata nilai life style serba instan, kami masih melarungkan bunga-bunga dan sejumput doa untuk menjemput ikan-ikan di ujung samudera.
Kami masih menari di kebun dengan irama lesung untuk merayakan panen semusim. Kami masih menumpahkan darah ayam di pucuk gunung untuk memitigasi badai seroja dan letupan larva. Dari belahan kepulauan timur Indonesia, bagaimana saya melukiskan perasaan ini? Tentang harapan baru yang terbit di mata para guru. Guru-guru yang selalu tersenyum, meski angka-angka ganjil menyeruak di hati mereka—kala menggenggam honor.
Tak dapat dipungkiri, gurulah kandil yang menerangi lubuk peradaban, menyangga nilai-nilai luhur; etik dan estetik, adab dan adat—yang kini hampir lamur digerus ombak zaman. Dari belahan kepulauan timur Indonesia, bagaimana saya melukiskan perasaan ini? Tentang esensi pendidikan sebagai sebuah proses belajar menjadi manusia seutuhnya, dengan belajar dari kehidupan sepanjang hayat—sebagaimana dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Transformasi Pendidikan
Dunia pendidikan merupakan sebuah dimensi yang terlalu konstitutif untuk dinafikan dari kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Pendidikan begitu esensial, vital bahkan sangat krusial dalam menentukan konfigurasi masa depan anak bangsa. Tanpa pendidikan, negara kehilangan elan pencerahannya.
Pendidikan secara faktual menjadi lokomotif penanaman pengetahuan (knowledge) dan nilai-nilai luhur kebangsaan, baik itu yang bersifat idiologis, kultural dan spiritual. Maka, menjadi sebuah keniscayaan negara hadir untuk memfasilitasi akselerasi bagi pembangunan infrastruktur pendidikan, materil dan imateril, phiysical dan mental, imanen dan transenden.
Muara dari seluruh proses penyelenggaraan pendidikan tak lain dan tak bukan untuk mengkonstruksi kapabiltas human, dari segi intelektual dan spiritual, agar menjadi pribadi yang luhung, menjadi kumpulan masyarakat yang memiliki kepekaan sosial, menjadi warga negara yang dipenuhi rasa cinta tanah air. Pendidikan, dengan demikian memainkan peranan yang sangat fundamental bagi tumbuhnya peradaban negara-bangsa (nation-state).
Sang Nahkoda
Memasuki 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, kinerja mendikdasmen pada kabinet Merah Putih memantik inspirasi. Pemerataan akses, peningkatan kualitas dan inovasi, menghantarkan Abdul Mu’ti, meraih deretan 5 besar rapor hijau menteri berprestasi.
Untuk pertama kali dalam preseden sejarah pendidikan di negeri ini, dalam tempo 100 hari masa kerja, sebanyak 65.650 guru telah didapuk memperoleh sertifikasi pendidik lewat program prioritas guru. Pencapaian ini, tentu saja membawa dampak yang begitu besar bagi realitas pendidikan mutakhir di tanah air, terutama bagi kehidupan para guru yang sekujur nafasnya telah mewakafkan diri untuk menyulut sumbu ilmu, menanamkan laku di alam kesadaran maupun alam batin segenap siswa.
Ibarat mengarungi bentang samudra, seyogyanya bahtera pendidikan dinahkodai oleh seorang ahli yang geniun di bidangnya. Seorang ahli yang tidak saja mumpuni dalam diskursif keilmuan, tetapi juga memiliki pengalaman empirik (experience learning) sebagai praktisi di dunia pendidikan.
Dengan kata lain, pendidikan tidak bisa hanya diproyeksi lewat pemahaman akal budi semata, tetapi juga dialami dan dilakoni. Harus diakui, memang masih banyak problematika dan tantangan yang berkelindan di seputar dunia pendidikan kita. Mulai dari persoalan infrastruktur, kurikulum hingga mutu guru.
Sebagai nahkoda, Abdul Mu’ti, dengan kekayaan pengalaman yang dimiliki, mengenal betul setiap urat gelombang yang membawa perubahan bagi arus sistem pendidikan. Kebijakan dan program yang telah diluncurkan menunjukkan terobosan baru dalam mewujudkan sistem pendidikan yang lebih adil, inklusif, dan inovatif.
Selain dari pada itu, program pendidikan karakter juga akan menjadi mercusuar yang memandu arah bahtera pendidikan. Pameo Jhon Snow, saya kira memberi terang kegamangan kita. Betapapun, pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi itu besar manfaatnya.
Tetapi, jika itu tidak didasarkan pada nilai dan karakter, maka hanya akan melahirkan iblis yang pintar. Olehnya itu, upaya Mendikdasmen untuk mengembalikan tata nilai ke-Indonesiaan yang hampir tercerabut dari akar kurikulum pendidikan merupkan sebuah langkah progresif. Kebijakan regultaif lewat program pendidikan karakter adalah salah satu representasi transformasi nilai untuk menempa dan membentuk identitas generasi bangsa, disposition of moral personality.
Sebab “mendidik pikiran tanpa mendidik hati, bukanlah pendidikan sama sekali”, tulis Aristoteles.