Pilarkebangsaan.co – Awal bulan Januari ini saya membuka-buka bundel majalah Suara Muhammadiyah di perpustakaanku. Pada edisi no. 3, th. ke-53, Februari I 1973, hlm, 21, pandanganku tertumpu pada tulisan berjudul: “Tokoh NU HM Subchan ZE Meninggal karena kecelakaan mobil di Tanah Suci.” Saya tertegun, di samping karena dimuat di majalah Muhammadiyah, ternyata Subchan ZE (ditulis juga Subhan ZE) meninggal pada 22 Januari 1973. Itu obituari yang ditulis sekitar dua minggu setelah meninggalnya Subchan ZE. Itu artinya pada 22 Januari ini, Subchan ZE meninggal 49 tahun lalu. Ini adalah “haul” (peringatan hari kematian) beliau, pikirku.
Terpikir olehku untuk menulis sesuatu tentang Subchan ZE ini. Subchan ZE adalah tokoh muda NU yang juga seorang pengusaha sukses, intelektual, dan politisi yang pemberani. Dia menentang PKI, rezim Sukarno dan juga Suharto. Di dalam NU ia digambarkan sebagai “orang asing”, yang bukan dari kalangan pesantren, bukan gus, bukan kiai, tapi pernah mencapai posisi sebagai salah satu Ketua Tanfidziyah PBNU. Dia juga pernah menjabat Wakil Ketua MPRS mewakili NU. Idealnya aku menulis tentang peran atau pemikirannya. Tetapi tiada waktu bagiku untuk membaca.
Aku lalu teringat satu kisah yang dituturkan Ekky Syahruddin pada 2004 di Boston. Saat itu dia menjadi Duta Besar RI untuk Kanada. Tapi tidak mudah bagiku menceritakannya, karena materi kisahnya yang, bagi orang yang hidup di dunia akademik, tidak “ilmiah”. Itu juga saya kira yang dialami oleh Ekky Syahruddin, sehingga dia harus menyimpan “rahasia” itu sekian lama. Mungkin lebih dari 40 tahun. Aku pun jadi ikut-ikutan menyimpan “rahasia” itu sekian lama, lebih dari 15 tahun, sejak aku mendengarkan cerita Ekky Syahruddin saat itu. Untuk menceritakan ini pun aku perlu menghubungi saksi mata dan telinga yang lain, mas Basri, PhD, Wakil Direktur Pascasarjana UIN Malang. Dia masih ingat kisah itu. Aku tidak ingat persis siapa yang saat itu ikut mendengarkan, tapi memang hanya beberapa orang, sambil berdiri. Beberapa kawan yang aku hubungi tidak sedang dalam lingkaran kami saat itu. Sebenarnya kisah ini sudah pernah aku tulis, tak lama setelah peristiwa itu. Tapi aku cari-cari di laptop dan external hard disk-ku tidak ketemu. Saya lalu mengambil keputusan untuk menuliskannya kembali. Agar sisi lain dari Subchan ZE ini tidak hilang ditelan masa. Saya kira itu maksud Ekky Syahruddin menceritakan kepada kami.
***
Saat itu aku menghadiri konferensi Islamic Law in Modern Indonesia di Islamic Legal Studies Program, Harvard University, yang berlangsung pada 17 dan 18 April 2004. Hadir juga sebagai pembicara dari Indonesia, antara lain, Prof Azyumardi Azra, Rifyal Ka’bah, Ismail Yusanto, Ulil Abshar-Abdalla, dan Mun’im Sirry. Ada juga pak Bob Hefner, pak Daniel Lev dan Engseng Ho, tapi mereka tidak ikut presentasi. Aku bertemu juga dengan mas Dadi Darmadi, mas Sukidi dan mas Basri, di antara yang saya ingat, yang hadir sebagai peserta. Mereka sedang kuliah di Boston. Saya datang dari Leiden bersama Michael Laffan, yang sekarang menjadi Profesor Sejarah di Princeton University. Conveners-nya adalah Mark Cammack dan Michael Feener. Hasil konferensi itu lalu terbit menjadi buku yang diedit oleh keduanya, berjudul Islamic Law in Contemporary Indonesia: Ideas and Institutions. Boston: Islamic Legal Studies Program, Harvard University Press 2007.
Aku presentasi pada hari pertama (17 April), seingatku sesi kedua. Saat itu aku presentasi tentang Politik Syariatisasi di Aceh (ini presentasi akademik pertamaku tentang Aceh!), semeja dengan ibu Nelly van Doorn dengan kiai Yudian Wahyudi Asmin, PhD (yang kini Profesor dan kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila [BPIP]) sebagai discussant. Kiai Yudian saat itu menjadi postdoctoral fellow di Islamic Legal Studies Program Harvard University. Setelah konferensi itu kiai Yudian mengundang kami teman-teman Indonesia ke acara ulang tahunnya. Wah, kejutan, nih. Ternyata hari itu bertepatan dengan peringatan hari lahirnya yang ke-44 (lahir 17 April 1960)!
Kami berangkat bersama sama naik mobil ke rumah kiai Yudian di Boston. Seingatku dua atau tiga mobil membawa kami ke sana. Sebagian besar mahasiswa Boston dan Harvard. Aku tidak ingat lagi satu per-satu. Yang aku ingat di situ ada Prof Azyumardi Azra, Ekky Syahruddin, Dr. Rifyal Ka’bah, mas Ulil, mas Basri, mas Mun’im Sirry, dan mas Dadi Darmadi. Mas Sukidi tidak bisa ikut karena ada acara lain. Juga mas “Anto” Ismail Yusanto.
***
Di sinilah kisah itu dimulai. Sambil menunggu hidangan siap dan acara ultah dimulai, aku ikut nimbrung ngobrol bersama Ekky Syahruddin (yang baru kenalan saat konferensi itu, walau tentu aku tahu namanya sudah lama). Saat itu ada beberapa orang ngobrol dengannya. Yang pasti aku ingat mas Basri. Yang lain lamat-lamat kuingat. Saat mas Ulil Abshar-Abdalla datang ke rumahku pada 17 Oktober 2021, aku tanya tentang peristiwa itu. Dia ingat bahwa Ekky Syahruddin ada dalam acara itu, tapi sepertinya pas tidak bersama kami saat Ekky bercerita. Aku tanya mas Mun’im Sirry lewat WA, dia juga tidak sedang ikut bersama kami. Sampai aku menulis ini, WA-ku ke mas Dadi Darmadi belum dibalas.
Saat ngobrol itu, entah kenapa aku tergelitik untuk bertanya kepada Ekky Syahruddin, mengapa dulu banyak aktivis HMI sering main ke rumah Subchan ZE. Sebelumnya aku pernah baca ulasan tentang Subchan ZE, termasuk hubungannya dengan para aktivis HMI, di jurnal Prisma. Sehingga, informasi firsthand dari Ekky Syahruddin bagiku sangat penting. Aku tidak ingat jawaban detailnya, tetapi dia kemudian bercerita (tentu ini aku parafrase).
“Aku akan cerita kepada kalian,” sejurus mata Ekky Syahruddin menatap kami satu per satu. “Cerita ini belum pernah aku ceritakan kepada siapa pun, termasuk kawan-kawanku di HMI. Ntar dibilang khurafat, irrasional.” Saat dia mengatakan “Aku akan cerita kepada kalian,” kesanku dia merasa perlu dan “berani” menceritakan kisah ini, karena dia berhadapan dengan mahasiswa mahasiswa yang mungkin dia yakin sebagian besar berlatar belakang NU, yang di samping satu organisasi dengan Subchan, juga akan sedikit banyak percaya pada fenomena yang akan dia ceritakan. Ini membuat kami penasaran.
“Benar kami sering main ke rumah bang Subchan ZE.” Aku lupa bagaimana dia memanggil Subchan, tapi saya perkirakan saja dia memangginya “bang”. “Ada yang misterius pada beliau. Beliau tidak mau diganggu pada waktu antara Maghrib dan Isya’. Dia selalu di kamarnya. Kami tidak ada yang tahu apa yang beliau lakukan di sana. Tapi kami semua tahu aturan itu.” Ekky Syahruddin berhenti sebentar sambil tampak mengingat kenangan masa lalu itu.
“Itu membuat kami penasaran sebenarnya. Tapi kawan kawan memilih tidak ambil pusing. Tapi aku tidak. Suatu malam, bakda maghrib, aku diam-diam memberanikan diri mencoba menguak misteri itu. Aku mengintip dari celah pintu yang kebetulan agak renggang.” Tangan Ekky Syahruddin memperagakan seperti menyentuh pintu, dan matanya menatap apa yang ada di balik celah pintu itu. Matanya memejam salah satu, supaya lebih fokus pada mata yang satunya.
“Aku lihat bang Subchan duduk berdzikir. Aku pikir, ah biasa, orang setelah shalat berdzikir. Tapi… tiba tiba dia perlahan naik, mengambang di udara. Tapi tetap dalam keadaan bersila dan berdzikir.” Tangan Ekky Syahruddin menggambarkan bagaimana Subchan bergerak dari posisi duduk kemudian naik. “Aku terkejut bukan main. Wah, luar biasa ini. Tak mengira bang Subchan mempunyai kemampuan seperti itu.”
Namun pengalaman itu dia simpan sendiri. Dia tidak ceritakan kepada kawan kawannya yang lain, baik yang sering main di rumah Subchan maupun yang tidak. Mungkin kalau dia ceritakan lambat laun akan sampai juga ke Subchan, yang artinya dia melanggar larangan itu. Tapi yang jelas, dia merasa hal itu tidak perlu dia sampaikan kepada kawan-kawannya yang rata-rata tidak atau kurang percaya pada hal-hal seperti itu. Nanti dia dianggap irrasional, khurafat, dan semacamnya. Ini yang menjadi alasan dia memendam rahasia ini sekian lama. Dan ini juga alasanku memendamnya selama ini. Hehe….
Oya, sebelum kututup tulisan ini, saat bertemu dengan Bang Fachry Ali di Yogyakarta pada 25 Agustus 2019, aku tanyakan kepadanya tentang kisah Subchan ZE ini, dia tidak tahu, dan Ekky Syahruddin juga tidak pernah bercerita tentang itu. Tapi ini yang penting, aku mengajukan pertanyaan yang serupa kepadanya, mengapa banyak aktivis HMI suka mangkal di rumah Subchan ZE. Nah, tentang ini, informasi bang Fachry menarik. “Adik Subchan ini cantik sekali.” Kalimat pertama ini benar-benar diluar ekspektasiku. Aku mulai menebak-nebak alur pembicaraannya. “Jadi, wajarlah kawan-kawan banyak main ke situ, ingin merebut hatinya. Bang Ghafur naksir berat, tapi yang dapat ternyata kawannya.” Tawa bang Fachry berderai. Oalah, begitu to? Tapi saya kira bang Fachry hanya bercerita selingannya saja. Yang jelas, sebagaimana saya baca dari Suara Muhammadiyah di atas, Subchan ZE dulu juga tokoh Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Jawa Tengah, yang sebagaimana HMI, juga underbow Masyumi. Di samping karena pemikiran Subchan yang terbuka, mereka juga diikat oleh kesamaan sebagai bagian dari “anak-anak” Masyumi.
Terlepas dari itu semua, kuakhiri tulisan ini teriring segala doa untuk Allah yarham Subchan ZE. Lahu al fatihah.