Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim, menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Ketentuan itu menuai kritik karena dinilai justru bisa legalkan seks bebas di kampus.
Majelis Ormas Islam (MOI) yang terjadi dari 13 ormas Islam -tak termasuk PBNU dan Muhammadiyah- meminta agar Permendikbud itu dicabut. Mereka menilai Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 disusun dengan paradigma sexual-consent. Paradigma ini memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi agama tetapi berganti kepada persetujuan dari para pihak.
Selama tidak ada pemaksaan, selama telah berusia dewasa, dan selama ada persetujuan, maka aktivitas seksual menjadi halal, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah. Termasuk perilaku yang dianggap tidak bermasalah adalah persetujuan untuk membuka pakaian seseorang, mengusap dan meraba seseorang, membuat konten video porno, hingga melakukan transaksi dan aktivitas seksual. Jelas hal ini sangat bertentangan dengan moralitas berbasis Pancasila.
Padahal pasal 460 ayat 1 huruf e draf RKUHP per 2 Februari 2018 menyatakan, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun.
Persoalan suka sama suka dalam hal ini kemudian memang seolah dilegalkan oleh agama. Padahal perbuatan tersebut secara mainstream di mayoritas masyarakat dikatakan tercela. Nah, bukti seolah-olah dilegalkan oleh agama ini karena memang ada advokasi dari ulama kontemporer Mesir, yakni al-‘Allamah al-Syaikh ‘Athiyyah Shaqr terkait larangan aborsi anak hasil zina yang dilakukan oleh orang yang suka sama suka. Beliau mengatakan di dalam kitabnya yang berjudul Ahsan al-Kalam fi al-Fatawa wa al-Ahkam
وإذا كان الحمل من زنا وأجاز الشافعية إجهاضه فأرى أنه يكون فى حالة الإكراه أو ما شبهها حيث يكون الإحساس بالندم و الألم النفسي. أما عند الإستهانة بالأعراض وعدم الحياء من الإتصال الجنسى الحرم فأرى عدم الجواز الإجهاض لأن فيه تشجيعا على الفسد.
Dan jika kehamilan itu dari zina dan Syafi’i mengizinkan aborsi, maka saya pikir itu dalam keadaan paksaan atau semacamnya, di mana ada perasaan penyesalan dan rasa sakit psikologis. Sedangkan yang dilakukan dalam kondisi suka sama suka maka menurut saya, tidak boleh melakukan aborsi karena hal itu mendorong kerusakan.
Al-Qur’an melarang pelecehan seksual baik fisik maupun non fisik. Al-Qur’an menyebut pelecehan seksual baik fisik maupun non fisik sebagai “ar-rafast” dan “fakhisyah”. Menurut mufassirin ar-rafast adalah al-ifhasy li al-mar’ah fi al-kalam atau ungkapan-ungkapan keji terhadap perempuan yang menjerus kepada seksualitas. Sedang fakhisyah mirip dengan ar-rafast yaitu perbuatan atau ungkapan ungkapan kotor yang meyerang dan merendahkan harkat dan martabat perempuan.
Ungkapan-ungkapan dan tindakan keji yang menjurus seksualitas, seperti menyebut tubuh perempuan bahenol, pelacur, dan body shaming lainya yang merendahkan ketubuhan perempuan atau pun tindakan meraba-raba, mencolek, menggosok gosokkaan anggota tubuh dan tindakan lainnya, jelas diharamkan baik di domestik ruang-ruang publik, dilakukan oleh siapa pun dan di mana pun. Dalam beberapa hadis, Nabi bersabda: “Jika kepala salah seorang di antara kalian ditusuk jarum besi, itu lebih baik dari pada meraba-raba perempuan yang bukan istrinya”. (HR. At-Thabrani)
Dalam hadis lain Nabi bersabda“Jika kalian berkubang dengan babi yang berlumuran dengan lumpur dan kotoran, itu lebih baik dari pada engkau menyandarkan bahumu di atas bahu perempuan yang bukan istrimu” (HR. At-Thabrani)
Dua hadis ini meneguhkan bahwa kekerasan seksual adalah hal yang dilarang dalam Islam karena ia merendahkan martabat kemanusiaan, baik martabat pelaku, terlebih lebih martabat korban. Mufti Mesir, Syauqi Ibrahim Allam menyatakan:
فالتحرُّش الجنسي بالمرأة من الكبائر، ومن أشنع الأفعال وأقبحها في نظر الشرع الشريف، ولا يصدر هذا الفعل إلا عن ذوي النفوس المريضة والأهواء الدنيئة التي تَتَوجَّه همَّتها إلى التلطُّخ والتدنُّس بأوحال الشهوات بطريقةٍ بهيميةٍ وبلا ضابط عقليٍّ أو إنسانيّ
“Kekerasan seksual terhadap perempuan termasuk dosa besar, dan tindakan yang paling keji dan buruk dalam pandangan syari’at. Kekerasan seksual hanya lahir dari jiwa-jiwa yang sakit dan birahi-birahi rendahan sehingga keinginannya hanya menghamburkan syahwat dengan cara binatang, diluar nalar logic dan nalar kemanusiaan”.
Kemudian bagaimana penanganan untuk melindungi korban kekerasan seksual? Rasulullah memberikan contoh nyata bagaimana beliau melakukan pemulihan baik secara fisik, terutama mental, sosial, dan ekonomi terhadap korban kekerasan seksual. Disebutkan dalam banyak hadis bagaimana Rasulullah mensolati perempuan yang diduga menjadi korban kekerasan seksual setelah ia dihukum rajam berdasar pengakuannya.
Beberapa sahabat pada awalnya mempertayakan kenapa perempuan yang berzina itu disalati? Namun Rasulullah tetap mensalatinya yang dapat dimaknai bahwa Rasulullah sedang melakukan pemulihan mental dan sosial bahwa korban kekerasan seksual tidak boleh mengalami reviktimisasi dan stereotipe/pelabelan. Kitab-kitab fiqih juga menegaskan bahwa perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan seksual, sebagai contoh “wathi’ syubhat” mislanya, maka pihak pelaku harus memberikan konpensasi (mahar) yang senilai dengan posisi sosial perempuan yang menjadi korban.
Dari konsiderasi-konsiderasi di atas, hukum aborsi diharamkan kecuali janin yang dihasilkan dari hubungan suka sama suka. Begitu juga, kekerasan seksual dihukumi haram yang dosanya tentu melebihi aborsi bahkan bisa dikatakan berlipat-lipat.
Asad Humam
Selengkapnya baca di I