“Sangat menarik! buku ini memberikan rujukan dalil-dalil naqliyah untuk hamper semua ketentuan di dalam UUD 1945. Dari buku ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kandungan konstitusi kita itu Islami. Ini berarti bahwa Indonesia dengan dasar Pancasila dan UUD 1945 adalah Negara yang Islami, tetapi bukan Negara Islam. Negara Islami secara resmi tidak menggunakan nama dan simbol Islam tetapi substansinya mengandung nilai-nilai Islam….”
Begitu komentar dari Prof. Dr. Mahfud MD dalam buku yang ditulis oleh Masdar Farid Masudi yang diberi judul Syarah Konstitusi UUD 1945 Perspektif Islam. Buku tersebut memang memberi sarah secara komprehensif apa yang terkandung dalam Undang-undang Dasar 1945 dengan dilandasi dalil-dalil dari alqur’an dan hadis. Misalkan tentang hak (al-Haq), kemerdekaan, bangsa (as-Sya’b) dan masih banyak lagi. Disini saya ingin mengambil satu syarah yang menjelaskan tentang perjuangan atau dalam bahasa arabnya al-Jihad.
Dalam syarah tersebut Masdar menulis bahwa perjuangan dalam bahasa Islam adalah “jihad”. Dari kata ‘jahaada—yujahiidu—jihad’. Secara harfiahberarti ‘bersungguh-sungguh’. Secara istilah adalah ‘berusaha secara sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu yang diyakini bernilai tinggi dalam keseluruhan hidup yang bersangkutan’. Kesungguhan ini ditandai dengan kesediaan untuk mengorbankan apa yang paling dicintainya, yakni harta benda, bahkan jiwa (egoism maupun nyawa). Allah SWT berjanji, siapa saja yang bersungguh-sungguh (berjuang) dalam mengusahakan segala sesuatu yang diidam-idamkan niscaya Allah akan menunjukkan jalanya (menuju sukses). Hal ini juga dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Ankabut [29]: 69.
Dan orang-orang yang berusaha secara sungguh-sungguh (berjihad) di jalan Kami , niscaya Kami akan menunjukkan jalan Kami. Dan sungguh Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.
Jihad sebagai usaha optimal untuk mencapai cita-cita luhur merupakan salah satu ajaran penting dalam Islam. Pengakuan iman seorang manusia bahkan baru dianggap sejati jika diikuti dengan “jihad” sebagai pembuktianya.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah mereka yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. Al-Hujarat [49]:15)
Mengacu ayat di atas, instrument jihad yang pertama adalah “harta”, yakni dengan melepas sebagian kekayaan yang kita miliki untuk membiayai atau mewujudkan kesejahteraan bersama: pendidikan, kesehatan, dan kemakmuran bersama. Jihad dengan harta itu disebut lebih dahulu, atau diutamakan, karena inilah bentuk jihad yang permanen dan paling dibutuhkan di dalam situasi apa pun, dan di mana pun, baik dimasa damai maupun perang. Dan jihad dengan harta ini merupakan jihad yang paling elegan karena tidak mengancam kepentingan, apalagi kehidupan dan nyawa orang lain. Bahkan sebaliknya, bisa menghidupi dan melindungi kepentingan dan nyawa orang lain.
Jihad kedua, yaitu dengan “nafs”, tidak selalu berarti jihad dengan pengobanan nyawa seperti terbunuh di medan perang. Jihad memerangi “nafsu “, juga bisa berarti mengorbankan “egoisme” (kepentingan pribadi) demi menjunjung dan mewujudkan tinggi “kepentingan bersama” (mashalih al-ammah. Misalnya, dengan mengendalikan dorongan nafsu untuk selalu ingin menonjolkan diri (dengan meremehkan orang lain), atau ingin dianggap benar sendiri (dengan menyesat-nyesatkan orang lain). Al-Qur’an menyebut salah satu cirri hamba Allah yang sejati adalah sikapnya yang percaya diri tapi tetap rendah hati.
Hamba-hamba Allah Yang Maha pengasih adalah mereka yang berjalan (hidup) di atas bumi dengan kerendahan hati…. (QS. al-Furqon [25]:63)
Oleh sebab itu, jihad tidak identik dengan perang, yang dalam bahasa Arab disebut qital, yakni aksi kekerasan fisik untuk saling membunuh atau menaklukkan demi tujuan tertentu yang diyakini pelaku sebagai bernilai luhur. Bisa saja perang dilakukan sebagai salah satu bentuk jihad dalam kondisi yang sangat spesifik dan memaksanya berbuat demikian. Karenanya dalam ajaran Islam tidak dikenal doktrin pre-emptive strike, menyerang dulu sebelum diserang. Perang tidak pernah diizinkan oleh Islam selain untuk membela diri terhadap serangan musuh.
Dan perangilah dijalan Allah (kebenaran) orang-orang yang memerangi kalian, dan jangan melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. al-Baqarah [2]:190)
Bahkan jika musuh, bahkan dari kalangan orang-orang kafir, musyrik sekalipun, yang memerangi kita tiba-tiba meminta perlindungan, wajib kita lindungi mereka:
Jika seseorang dari golongan musyrikin yang memerangi tiba-tiba meminta perlindungan kepadamu (Muhammad) berilah ia perlindungan sehingga ia mendengarkan kalam Allah, kemudian antarlah ia ke tempat yang aman; karena mereka adalah orang-orang yang belum tahu. (QS. at-Taubah [9]: 6)
Artinya dalam ayat di atas, Islam mengajarkan untuk melindungi yang lemah, yang meminta perlindungan meskipun mereka adalah musuh.
Maskur Hasan.
Selengkapnya baca di sini I