Mentan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pernah mengatakan, tidak ada islamofobia atau perasaan ketakutan ataupun kebencian terhadap Islam di Indonesia. Pernyataan itu menanggapi munculnya unggahan-ungguhan di media sosial yang menyebut fenomena Islamofobia di Indonesia.
“Orang Islam bebas bersaing di politik, di pemerintahan, intelektual, pokoknya Islam sudah bebas. Fobianya di mana?” kata Mahfud saat menjadi pembicara dalam Dialog Kebangsaan Imaji Satu Abad Indonesia di kampus terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), Sleman, Yogyakarta.
Mahfud menyayangkan belakangan muncul unggahan terkait Islamofobia di Indonesia. Menurutnya, pemerintah saat ini justru tengah berupaya membangun Indonesia dengan berlandaskan nilai-nilai luhur keislaman.“Indonesia ini sedang kita bangun, kalau bagi umat Islam ini tadi islamiah, islami, Islam sebagai nilai-nilai keluhuran. Islam yang terbuka, Islam yang kosmopolit kesewargaan, menganggap orang yang lain sama. Akan tetapi, urusan ibadah, ya, saya sendiri, Anda sendiri,” kata Mahfud.
Menurut dia, islamofobia setidaknya memiliki arti takut terhadap orang Islam, kemudian membuat kebijakan yang anti-Islam. “Enggak ada, nih, pemerintah kita yang takut kepada orang Islam, malah pemerintahanya seneng, tuh, menyatakan Islam, bawa sajadah, menteri-menteri bawa sajadah, Presiden ke masjid bawa sajadah, Presiden ke pesantren enggak takut, tuh, mengaku Islam,” ucapnya.
Selain takut, fobia juga mengandung arti membenci. “Tidak ada yang benci. Orang Islam boleh bersaing semua,” kata dia. Selain tidak ada islamofobia, kata Mahfud, saat ini peluang umat Islam untuk maju jauh lebih luas ketimbang zaman Orde Baru. “Banyak profesor di UGM yang saya baru tahu kalau mereka orang NU (Nahdlatul Ulama) itu sesudah reformasi karena zaman Orde Baru itu enggak berani mengaku, ada fobi. Sekarang tidak ada fobia,” tegasnya.
Mahfud juga membandingkan keleluasaan umat Islam saat ini dengan era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef pada masa Orde Baru yang membatasi penggunaan busana muslim. “Dahulu zaman Daoed Joesoef memang orang resmi dilarang pakai jilbab, resmi dilarang, itu fobia namanya. Kalau sekarang tidak. Bahkan, (sekarang) polisi sendiri punya pakaian muslim, masak dibilang fobia,” tutur Mahfud.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, telah lama dijadikan contoh toleransi dan harmoni antarumat beragama. Keanekaragaman suku, budaya, dan agama yang ada di Indonesia menciptakan masyarakat yang hidup berdampingan dengan prinsip saling menghormati.
Namun, belakangan ini muncul narasi tertentu yang mencoba memunculkan isu “Islamofobia” di Indonesia. Penting untuk meninjau apakah benar Islamofobia menjadi masalah di negeri ini atau apakah ini merupakan bentuk propaganda yang dimanfaatkan oleh kelompok transnasional untuk memecah belah bangsa.
Islamofobia secara umum diartikan sebagai rasa takut, kebencian, atau prasangka terhadap Islam dan umat Muslim. Di beberapa negara Barat, fenomena ini memang nyata, dengan Muslim sering menjadi sasaran stereotip negatif, kebijakan diskriminatif, atau bahkan serangan fisik.
Namun, konteks Indonesia sangat berbeda. Dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam, sulit untuk membayangkan adanya bentuk Islamofobia yang terstruktur atau meluas di Indonesia. Bahkan, pemerintah Indonesia sangat mendukung kehidupan beragama umat Islam melalui berbagai kebijakan, mulai dari pendidikan agama Islam di sekolah hingga pengelolaan zakat dan wakaf yang difasilitasi oleh negara.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa ada insiden-insiden tertentu yang melibatkan konflik antaragama atau kelompok. Namun, biasanya konflik tersebut lebih bersumber dari masalah politik atau sosial lokal, bukan dari Islamofobia murni. Menyebut Indonesia sebagai negara Islamofobia tanpa dasar yang kuat adalah narasi yang tidak akurat dan berlebihan.
Kelompok transnasional seperti Hizbut Tahrir dan organisasi lain yang mengusung ideologi khilafah sering memanfaatkan isu-isu sensitif untuk membangun narasi yang sejalan dengan tujuan mereka. Salah satu strategi mereka adalah menggambarkan Indonesia sebagai negara yang tidak ramah terhadap umat Islam, padahal kenyataannya justru sebaliknya.
Narasi ini sering disebarkan melalui media sosial, ceramah, atau publikasi tertentu dengan tujuan menciptakan rasa ketidakpercayaan umat Islam terhadap pemerintah dan memupuk perasaan teralienasi. Tujuan akhir dari strategi ini adalah menciptakan keresahan sosial yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung agenda mereka, seperti mengganti sistem pemerintahan menjadi khilafah.
Narasi Islamofobia ini juga berfungsi untuk memecah belah masyarakat Indonesia. Dengan menggambarkan pemerintah atau kelompok tertentu sebagai “anti-Islam,” kelompok transnasional berharap dapat menciptakan polarisasi antara umat Islam dan kelompok lain di Indonesia.
Polarisasi ini tidak hanya mengancam harmoni sosial tetapi juga melemahkan stabilitas politik dan keamanan nasional. Padahal, pemerintah Indonesia dari masa ke masa justru memberikan ruang yang luas bagi umat Islam untuk menjalankan ajaran agama mereka. Banyak kebijakan pro-Islam yang diterapkan, seperti program pendidikan berbasis pesantren, sertifikasi halal, dan dukungan terhadap ekonomi syariah, yang menunjukkan komitmen negara terhadap kesejahteraan umat Islam.
Islam di Indonesia berkembang dengan corak yang damai dan inklusif, berakar pada tradisi Islam Nusantara yang dipelopori oleh ulama-ulama besar. Pendekatan ini telah membuktikan bahwa Islam dapat hidup berdampingan dengan keberagaman budaya dan keyakinan lain.
Model ini menjadi inspirasi bagi dunia, terutama di tengah meningkatnya intoleransi di berbagai negara. Namun, keberhasilan ini tidak membuat Indonesia kebal terhadap pengaruh ideologi transnasional. Beberapa kelompok ekstrem berusaha menggantikan harmoni ini dengan doktrin-doktrin keras yang tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal, menggunakan isu seperti Islamofobia sebagai alat untuk mempengaruhi masyarakat dan melemahkan fondasi kebangsaan.
Untuk menghadapi propaganda kelompok transnasional, masyarakat Indonesia perlu meningkatkan kewaspadaan. Literasi media menjadi sangat penting agar masyarakat lebih kritis terhadap informasi yang beredar, terutama yang menyebarkan narasi negatif tanpa dasar yang jelas.
Selain itu, penguatan moderasi beragama oleh ulama, tokoh masyarakat, dan pemimpin agama perlu terus dilakukan untuk mempromosikan nilai-nilai Islam yang moderat dan inklusif. Keberagaman adalah kekuatan Indonesia, dan semua elemen masyarakat harus bersatu melawan upaya memecah belah bangsa.
Kesimpulannya, narasi Islamofobia di Indonesia lebih banyak merupakan propaganda daripada realitas. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, Indonesia telah menunjukkan bahwa Islam dapat hidup berdampingan dengan nilai-nilai demokrasi dan keberagaman.
Namun, ancaman propaganda dari kelompok transnasional tetap ada dan memerlukan perhatian serius. Melalui literasi, dialog, dan penguatan nilai-nilai kebangsaan, masyarakat Indonesia dapat menjaga harmoni sosial yang telah lama menjadi identitas bangsa ini. Jangan biarkan propaganda menciptakan perpecahan; Indonesia adalah rumah bagi semua, termasuk umat Islam yang hidup damai tanpa rasa takut atau prasangka.