Tan Malaka nampaknya mendapat penolakan (lagi). Novel Bamukmin, Wasekjen PA 212 menolak Tan dibahas di buku sejarah Sekolah. Novel kawatir anak-anak tepengaruh ‘buruk’ paham Tan Malaka.
Sepertinya paham yang menghendeaki pejuangan kemerdekaan dianggap ‘buruk’ bagi peserte didik. Lalu figur yang seperti apa yang seharusnya dibahas? Bahkan, Novel Bamukmin menganggap Tan Malaka tidak patut menjadi pahalawan national.
Saya menangkap satu alasan kenapa alasan Tan Malaka (selalu) ditolak; sebab ia menganut paham Marxisme, namun Novel menyebutnya Komunisme.
Lagi-lagi komunisme menjadi semacam virus. Komunisme (seakan) harus hilang, meski mungkin sulit. Sebab selama kapitalisme ada, saya rasa alat yang akan digunakan untuk melawan adalah komunisme. Ideologi ini menawarkan anti-tesis dari kapitalisme; yang berusaha menghapus kesenjangan ekonomi.
Tan Malaka, memang Marxis, terpengaruh dengan ide besar seorang filsuf Jerman, Karl Marx. Jika mau meperhatikan, sebenarnya banyak yang terpengaruh dengan pemikiran Karl Marx. Sukarno misal, melalui konsep Marhaenisme; yang juga menggunakan pendekatan kelas ala Marx. Bahkan gurunya Sukarno, Tjokroaminoto menawarkan konsep Sosialisme-Islam.
Jika mau menggunakan logika yang sama, seharunya bukan hanya Tan Malaka yang tidak boleh diulas di buku sejarah ‘resmi’ dan menjadi pahlawan nasional, namun juga Sukarno dan Tjokroaminoto. Bagaiamana, siapa yang mau menghapus peran mereka berdua?
Seharusnya yang menjadi pertimbangan bukan apakah ia Komunis, Islamis, atau Nasionalis, namun sejauh mana ia berperan di masa kemerdekaan. Sebab kerja kemerdekaan bukan kerja satu pihak, melainkan kerja bersama, yang mengerjakan perkejaan berat itu semua kalangan (lintas ideologi).
Apa Peran Tan Malaka?
Tan Malaka, bukan orang pasif yang duduk di rumah sambil menunggu kapan Indonesia bisa merdeka. Ia adalah filsuf, ia menawarkan pemikiran, langkah praktis sampai Indonesia merdeka seratus persen. Salah satu yang cukup terkenal, ide mengenai rovolusi total.
Ide mengenai rovolusi total milik Tan Malaka ini berbeda dari asalnya; Karl Marx. Marx, menjelaskan rovolusi dilaksanakan melalui aksi kelas. Dalam aksi kelas tersebut dipimpin oleh suatu kelas revolusioner; entah itu borjuis (pemodal) atau proletar (pekerja/buruh). Jika yang memimpin adalah kelas proletar, maka yang terjadi adalah revolusi proletar, begitu juga sebaliknya.
Marx, juga menyebut, setelah terjadi revolusi proletar; akan lahir (dibentuk) semacam diktaktor proletar. tugas dari diktaktor proletar adalah mewujudkan masyarakat komunis. Gambaran Marx mengenai masyarakat komunis adalah semua manusia mempunyai hak yang sama terhadap alam, lalu tidak ada lagi kelas. Begitulah gambaran revolusi Marx dan konsepnya mengenai masyarkat.
Tan Malaka berbeda, ia menyebut revolusi tidak disebabkan oleh gagasan manusia, bukan karena pemimpin yang brilian, melainkan keadaan sosial; dimana terjadi pertentangan kelas yang tajam. Sampai-sampai menimbulkan reaksi dari masyarkat berupa perlawanan (revolusi). Dengan kata lain, Tan berpendapat bahwa revolusi lebih terjadi secara alamiah.
“Pendeknya, semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah, maka, semakin besar pula hantu revolusi” – Tan Malaka
Berbeda dari Marx, Tan menjelaskan tidak ada diktaktor proletar sebagaimana yang disebut di awal tulisan. Ia tidak menginginkan revolusi melahirkan sikap diktaktor baru, melainkan melahirkan masyarakat yang beradab, serta melahirkan negara yang menghargai hak politik dan nilai kemanusian.
Siapa kemudian yang melakukan revolusi? Tan menamakannya massa aksi; adalah massa yang memiliki kesadaran revolusioner; terdiri dari petani, buruh, dan kaum miskin. Awalnya, ia masih menyebut kelompok ini sebagai proletar, istilah yang sama digunakan oleh Marx. Sekitar tahun 1948, ia menggunkan kata murba. Murba sendiri, memiliki makna yang sama; yaitu rakjat djelata.
Alat Mencapai ‘Merdeka Seratus Persen’
Revolusi total Tan Malaka bukanlah revolusi yang terus menerus (absolut). Rovulisi bagi Tan adalah alat mencapai kemerdekaan. Setelah segala elemen rovolusi terpenuhi; seperti keadaan yang menindas, kaum murba memiliki kesadaran, lalu melakukan aksi massa, disitulah terjadi revolusi sampai Indonesia mecapai kemeredekaan seratus persen.
Rovolusi hanya alat, bagi Tan setelah Indonesia mecapai kemerdekaan, kemudian pemerintah mampu mengelola negara dengan baik; tidak ada penindasan, penjajahan, dan pembatasan hak, maka revolusi sudah selesai.
Yang tidak banyak diketahui orang, bahwa sosok Tan adalah seorang yang humanis. Ia tidak pernah menangkap lawan politik yang bersebrangan denga dirinya. Begitu juga dalam kehidupan bernegara, ia menghargai keberagaman dan agama. (Faisal. 2015)
Mahasiswa dan editor di IBTimes.ID
Selengkapnya baca di sini I