Editorial

Terorisme dan Kekerasan Verbal Gen Z dengan Korban Minoritas

2 Mins read

Pasca mengamankan teroris berinisial YLK di Gorontalo, Rabu (21/8), Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menyita barang bukti berupa buletin dakwah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Meski belum terkonfirmasi sejauh mana keterlibatannya dalam organisasi terlarang tersebut, diketahui YLK terkoneksi langsung dengan jaringan Al Qaeda in The Arabian Peninsula (AQAP).

Aktivitas terdekatnya ialah mengikuti Muqoyama Badar tahap 2 atau semacam program simulasi peperangan di Jawa Timur dari jaringan Jamaah Islamiyah (JI). Sejatinya YLK pernah ditahan pada tahun 2003 silam terkait kepemilikan senjata api laras panjang yang merupakan titipan dari UM, narapidana terorisme kasus Bom Bali 1 (CNN, 2024). Berikut jejak langkah teror YLK periode 1998 – 2014:

No. Kegiatan Tujuan & Sasaran Tahun
1.  Latihan Perang Camp Hudaibiyah, Filipina 1998 – 2000
2. Menyimpan Senjata Api Bali 2003
3. Rencana Aksi Teror Bursa Efek Singapura 2014

 

Selain upaya-upaya diatas, kombatan ini mencoba masuk kembali ke Singapura melalui jalur laut, namun ditolak oleh imigrasi Negeri Singa dan dideportasi ke Batam. Belum ada informasi lanjutan faktor apa yang memengaruhi YLK, kendati demikian, berkaca kasus tertangkapnya UH (34), teroris asal Sambas, Kalimantan Barat tahun 2023 lalu. Kemudian Nurshadrina Khaira Dhania, tahun 2015 silam, meminta seluruh keluarganya pindah ke Suriah, bergabung bersama ISIS mengkampanyekan kehidupan baru yang konon katanya sesuai syariat Islam.

“Saya dipengaruhi grup ini ketika masih berumur 16 atau 17 tahun. Tanpa pikir panjang, akhirnya memutuskan hijrah ke Suriah beserta seluruh keluarga saya,” kata Dhania.

Lanjutnya, remaja mudah sekali tercuci otaknya lantaran memiliki semangat tinggi, sementara emosinya tidak stabil, disamping usia belia belum memahami apa yang mereka lakukan, apa tujuan hidupnya, dan resiko yang diperoleh atas perbuatannya, akhirnya mudah terprovokasi melalui jalur virtual.

Ditangkapnya teroris dan keterangan penyintas, hasil riset Pusat Pengkajian dan Masyarakat Islam (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2018 menegaskan dengan bukti, 58 persen yang mengakses belajar agama lewat online, dibandingkan melalui guru, membaca buku langsung atau melalui pengajian. Didominasi oleh paham Islam konservatif-literalis atau memahami Islam dan al Quran secara tekstual. Berkarakter eksklusif dan cenderung indoktrinasi dalam menjalankan kehidupan.

Kelompok ekstrem begitu gencar memanfaatkan platform media sosial untuk menancapkan pemikirannya. Jika YLK dan UH dibiarkan bebas berkeliaran, sasaran empuk bagi mereka ialah anak muda Gen Z dan Alpa tanpa kecuali. Saat mengisi forum Focus Grup Discussion (FGD) berjudul “Solusi dan Pencegahan terhadap Fenomena Kekerasan Gen-Z di Kabupaten Sambas” diikuti puluhan peserta SMA/sederajat dan sejumlah mahasiswa (3/9), Penulis memaparkan sederet pengalaman panjang ketika masuk ke gerbong radikal-teror.

Program awalnya adalah ditumbuhkan kebencian terhadap sesama manusia, menunggangi agama mayoritas untuk menindas agama minoritas, seperti mengatasnamakan penganut Islam untuk menyemburkan stempel kekafiran terhadap saudara berbeda iman dengan maksud menghina dan merendahkan, bahkan sampai tahap keinginan menghabisi nyawa seseorang atau kelompok yang dianggap menghalangi jalan menuju Tuhan.

Di tempat terpisah, Penulis mendapat laporan dari seorang siswi nasrani di Kota Pontianak, mengaku kerap dihujani perundungan verbal (menistakan keyakinan) oleh sejumlah netizen terpapar radikalisme, hingga menyebabkan stres berat.

Isu kekerasan generasi penerus bangsa juga direspon oleh Kasat Reskrim Polres Sambas, AKP Rahmad Kartono dengan memberikan suntikan motivasi dan arahan agar Gen-Z mampu melindungi diri dari ancaman bullying, baik secara verbal maupun non-verbal, serta berani bersuara atau melaporkan pihak yang berwajib ketika merasa terancam, dalam diskusi terbuka yang diinisiasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin (IAIS) Sambas dan Cyber Borneo Nusantara (CBN).

“Sudah menjadi tugas kami menjaga keamanan dan ketertiban warga NKRI, namun kami tidak memiliki dasar yang kuat untuk melakukan penindakan jika tidak menerima aduan masyarakat”, tukas Rahmad.

Penulis merupakan Eks Syabab HTI Provinsi Kalimantan Barat, bergabung tahun 2008 dan keluar tahun 2013. Pernah ditunjuk menjadi Ketua Umum Gema Pembebasan Borneo Barat tahun 2009 – 2011. Saat ini Penulis aktif sebagai Tenaga Pengajar di IAIN Pontianak dan berkhidmat di Nadhatul Ulama melalui Banom GP Ansor.
1668 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Editorial

Teror terhadap Pers: Lonceng Kematian bagi Demokrasi

2 Mins read
“Pers adalah penjaga demokrasi yang tidak pernah tertidur dan tidak dapat diajak kompromi” Pada 19 Maret 2025, sebuah paket berisi kepala babi…
Editorial

Ketika Air Jadi Krisis, Apakah Tentara Solusinya?

2 Mins read
Ketika musim kemarau melanda dan sumur-sumur mulai mengering di pelosok negeri, suara jeriken beradu di antrean air menjadi gambaran nyata dari krisis…
Editorial

Masyarakat Global Memerlukan Visi Ulang Kemanusiaan

4 Mins read
Setelah tertunda selama empat tahun karena terhambat Covid-19 pada tahun 2020, IMM Djazman AlKindy Unversitas Ahmad Dahlan Yogyakarta berhasil menyelenggarakan Simposium Pemikiran…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.