UUD 45

Tindak Pidana Pemerkosaan Hukum Islam dan Hukum di Indonesia

3 Mins read

Tindak Pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Istilah tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda yaitu strafbaar feit.

Moral yang tidak terbina dengan baik serta kurangnya pendidikan agama, membuat moral seseorang menjadi terabaikan sehingga hal itu akan berdampak pada kehidupan sehari-hari pada pelanggaran norma-norma yang ada ditengah masyarakat, misalnya banyak terjadi kasus pemerkosaan tidak hanya di kalangan wanita dewasa saja, tetapi anak-anak pun telah menjadi korban.

Maraknya kasus pemerkosaan saat ini timbul bahwa sanksi hukum untuk kasus tersebut ternyata belum memberikan efek jera bagi pelakunya, bahkan berdampak pada mental serta psikis dari korban tersebut yang berdampak buruk dimasa yang akan datang.

Tingkat kejahatan seksual terutama pemerkosaan di Indonesia cukup tinggi seiring semakin luasnya peredaran film-film porno juga tersedianya konten-konten yang menampilkan pornografi di dunia maya, menjadi faktor dari salah saatu penyumbang terbesar penyebab terjadinya kasus-kasus pemekorsaan.

Dalam agama Islam berpedoman terhadap al-quran maupun hadist. Pandangan terhadap tindak pidana atau kriminalitas dalam Islam biasa disebut dengan jarimah atau jinayah. Menurut terminologi, jarimah ialah perbuatan-perbuatan yang dilarang syara’ yang diancam dengan hukuman has atau ta’zir (Al-Mawardi, 1973).

Para pelaku pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang (diharamkan) tidak hanya dikenai sanksi di dunia berupa hukuman had, qishash, dan diyat serta ta’zir, tetapi juga dikenai siksaan yang pedih diakhirat nanti. Islam telah menetapkan hukuman yang tegas bagi pelaku perkosaan dengan hukuman cambuk seratus kali bagi yang belum nikah dan hukum rajam (dilempar batu sampai mati) bagi yang telah menikah (Muslich, 2005).

Pandangan hukum Islam sendiri terhadap kasus pemerkosaan dibagi menjadi dua yaitu:

  1. Pemekorsaan tanpa mengancam dengan menggunakan senjata. Jika ia sudah menikah (muhsan), maka hukumannya adalah rajam (dilempari batu kerikil) sampai mati. Pelaku yang belum menikah (gair muhsan), maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali dan pengasingan selama satu tahun.
  2. Pemerkosaan dengan menggunakan senjata. Seseorang yang memekorsa dengan menggunakan senjata untuk mengancam, dihukum sebagai perampok. Ada empat pilihan hukuman untuk perampok sebagaimana disebut dalam surat al- Maidah ayat 33, yaitu dibunuh, disalib, dipotong kaki dan tangannya dengan bersilang, dan diasingkan atau dibuang. Pengadilan berhak memilih salah satu diantara empat pilihan hukum tersebut yang dianggap paling sesuai untuk pelaku dan dapat menimbulkan efek jera.

Selanjutnya dengan Pemerkosaan menurut kontruksi yuridis peraturan perundang-undangan di Indonesia (KUHP) dengan perbuatan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Tindak pidana pidana pemerkosaan menurut hukum yang berlaku di Indonesia atau hukum positif mengacu pada pada KUHAP dan KUHP. Di dalam KUHP, tindak pidana perkosaan dikategorikan sebagai kejahatan (rechtsdelicten) yang dicantumkan dalam Buku Kedua (II) Bab XIV. Selain itu oleh pakar hukum tindak perkosaan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan mengenai kesopanan atau kejahatan terhadap kesopanan.

Menurut Lamintang dan Theo Lamintang, yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kesusilaan di dalam Wetboek van Strafrecht juga disebut sebagai (misdrijven tegen de zeden).

Perkosaan tindak pidana dalam KUHP dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam Pasal 285 dan tindak pidana pemerkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam Pasal 289.

Pasal 285 KUHP Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wania bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan pemekorsaan dengan pidana paling lama dua belas tahun. Apabila melihat rumusan tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 tersebut diatas, maka termasuk ke dalam tindak pidana (delik) formal karena perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang.

Sanksi hukum dua belas tahun penjara bagi pelaku tindak pidana perkosaan bagi sebagian pihak, vonis dua belas tahun tersebut belumlah mencerminkan rasa keadilan di tengah masyarakat. tidak ada asas keadilan bagi perempuan sebagai korban, sebagaimana perempuan yang mengalami kerugian baik fisik, mental, psikis atas kekerasan seksual yang dialaminya bahkan merasa selalu dalam bahaya dihidupnya.

Achmad Ali (2003) menyatakan hukuman paling ringan tidak layak diberikan 3 tahun penjara melainkan pantas dihukum berat seperti hukuman seumur hidup atau minimal hukuman 20 tahun penjara.

Dalam menyatakan seseorang terdakwa yang didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP terbukti mempunyai unsur kesengajaan dalam tindak pidana perkosaan, di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa, baik penuntut umum maupun hakim harus dapat membuktikan tentang:

1. Adanya kehendak atau maksud terdakwa memakai kekerasan.

2. Adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk mengancam akan memakai kekerasan.

3. Adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk memaksa.

4. Adanya pengetahuan pada terdakwa bahwa yang dipaksa itu adalah seorang perempuan yang bukan istrinya.

5. Adanya pengetahuan pada terdakwa bahwa yang dipaksakan untuk dilakukan oleh perempuan tersebut ialah untuk mengadakan hubungan kelamin dengan dirinya di luar perkawinan.

Secara garis besar tindak pidana pemerkosaan diperlukan aturan hukum yang tegas. Tidak hanya sekedar hukuman minimal penjara namun nantinya hukuman di akhirat sesuai amal jariyah di dunia serta mendapatkan sanksi sosial di lingkungan masyarakat.

Daftar Pustaka

Ibnu Rusyd, 1989, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Beirut: Dar al-Jiil, hal. 324.

Admin, Jendela Wawasan: Pemerkosaan dalam Perspektif Islam, dalam www.dhieyanhrp30.co.id.

Wirjono Prodjodikoro, 2010, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, hal. 111.

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2009, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatuhan, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 1.

Shada Nida Safitri

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Hukum Pidana Islam
2118 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
UUD 45

Legalitas Kepemilikan Tanah Menurut UU PA

3 Mins read
Perkembangan pembangunan di berbagai daerah di Indonesia telah menjadikan tanah sebagai suatu komoditas yang strategis serta bernilai sangat penting untuk masyarakat. Selain…
UUD 45

Peran Restorative Justice dalam Transformasi Sistem Hukum Pidana

3 Mins read
Hukum pidana telah menjadi bagian penting dalam menjaga ketertiban dan keadilan di masyarakat.  Sistem hukuman pidana dalam KUHP pada dasarnya masih mempertahankan…
UUD 45

UU Pesantren, Strategi Menyetop Radikalisasi Pendidikan

3 Mins read
Nilai dan dogma keagamaan sering kali menjadi pintu masuk bagi kelompok radikal untuk memprovokasi masyarakat melakukan aksi ektremisme-terorisme. Pesantren sebagai institusi pendidikan…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *