Bahasa merupakan identitas suatu bangsa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan bangsa lain, di mana setiap bangsa memiliki bahasa berbeda-beda dengan ciri khas dan asal-usul masing-masing. Begitu juga dengan bahasa Indonesia yang sejarahnya tidak lepas dari bahasa Melayu.
Perubahan total titimangsa 1942 bukan hanya menyangkut dunia politik tetapi juga bahasa. Dari segi bahasa, perubahan itu jauh lebih hakiki dibandingkan peristiwa penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang hanya merupakan suatu kodifikasi keadaan yang telah biasa ketika itu.
Kenyataannya, memang sejak 1942 bahasa Indonesia keluar dari wilayahâyang bagaimana pun juga terbatasâkomunikasi antar suku dan golongan rendah pegawai pemerintahan atau pendidikan. Pendudukan Jepang membawa perubahan kuantitatif dengan diperkenalkannya bahasa Indonesia di desa-desa yang menyebabkan ledakan jumlah penuturnya.
Periode itu juga mengakibatkan perubahan kualitatif dengan dipakainya bahasa Indonesia di kalangan tinggi politik dan pemerintahan, yang berakibat berkembangnya fungsi dan bertambah kayanya pusparagam bahasa.
Perubahan tersebut meledakkan kejutan besar, seperti disampaikan Sutan Takdir Alisjahbana dalam pendahuluan “Kamoes Istilah”. Pada 1942, siapa, bahkan di kalangan cendekiawan dan nasionalis saat itu bisa membayangkan pemakaian bahasa Indonesia bakal perkembangan begitu pesat menggerus bahasa Belanda? Lagi pula siapa yang mempersiapkan? Oleh karena itulah antara 1942 dan 1945, bahkan sesudahnya, sepanjang tahun-tahun pertama pasca-kemerdekaan para ahli bahasa dan guru bahasa Indonesia bekerja secara darurat, tidak jarang dengan sarana seadanya.
Di masa penjajahan, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan merupakan antitesis terhadap bahasa Belanda. Selama masih ada antitesis, bahasa Indonesia masih merupakan bahasa perjuangan politik melawan penjajah. Dengan kapitulasi pemerintah kolonial Belanda pada 8 Maret 1942, berakhirlah dominasi bahasa mereka. Kemudian bahasa Indonesia segera menggantikan bahasa Belanda. Tidak boleh dilupakan bahwa pemerintah bala tentara pendudukan Jepang berjasa besar dalam pembentukan bahasa nasional.
Kala Jepang masuk ke Indonesia, segera mereka mengganti pemakaian bahasa Belanda di berbagai sekolah dengan pemakaian bahas Indonesia. Pemakaian bahasa Belanda dilarang sekeras-kerasnya. Jepang lihai menarik keuntungan dari pertentangan politik antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda. Untuk kelancarannya bala tentara Jepang menganjurkan pemakaian bahasa Indonesia yang dipropagandakan di seluruh pelosok tanah air.
Akibatnya, bahasa Indonesia benar-benar tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan dikenal oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Akan tetapi, mereka juga menjalankan politik bahasa kolonial; karena dalam waktu singkat, mereka akan menggantikan bahasa Indonesia dengan bahasa Jepang.
Dalam mempropagandakan bahasa Jepang, mereka berusaha mengalihkan perhatian bangsa Indonesia dari bahasa nasional ke bahasa kolonial. Sebab bahasa Jepang mempunyai segi-segi ekonomi nan menguntungkan. Dalam peranannya sebagai bahasa umum sejak pendudukan bala tentara Jepang, bahasa Indonesia dapat merebut hati pemakainya. Pemakaian bahasa Indonesia di seluruh wilayah Indonesia lalu menjadi biasa.
Antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah telah terjadi kontrak sosial dan budaya aktif. Jiwa bahasa Indonesia dan jiwa bahasa daerah telah berpautan. Kedua bahasa yang berkelindan mulai saling memerhatikan, akhirnya saling memengaruhi. Kontak sosial ini mendekatkan rasa kedaerahan pada rasa kenasioanalan dan menggerakkan para pemakaianya untuk menilai bahasa Indonesia. Di bagian mana saja yang terasa kurang, ditambah dengan yang ada di daerah. Lambat laun bahasa Indonesia dirasakan sebagai miliknya sendiri di samping bahasa daerahnya.
Keasingan bahasa Indonesia pada orang daerah semakin berkurang karena antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah terdapat segi-segi persamaan. Baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah adalah analitis dari satu rumpun bahasa. Kata-kata masih banyak yang serupa, sistemnya hampir sama. Intinya, orang daerah masih dapat merasakan akrabnya kekerabatan antara bahasanya dan bahasa Indonesia. Walaupun begitu, pada hakikatnya kekerabatan dalam pengertian linguistik ini an sich tidak dapat merapatkan jiwa daerah terhadap jiwa nasional.
Kekerabatan bahasa akibat keserumpunan bersifat pasif. Kekerabatan ini bisa diaktifkan kembali oleh kontak sosial. Inilah suatu kemenangan bahasa Indonesia dari bahasa-bahasa daerah lainnya. Bahasa Indonesia, akibat politik bala tentara kependudukan Jepang, mengalami kontak sosial di seluruh tanah air dengan puluhan bahasa daerah sebelum pembentukan bahasa nasional pada 1945 oleh pemerintah Indonesia.
Pengangkatan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional di Indonesia tidak menemui kesulitan meskipun di wilayah Indonesia terdapat ratusan bahasa daerah yang di antaranya memiliki kesusastraan yang lebih tinggi tarafnya dan digunakan oleh jutaan manusia. Bahasa Jawa terang memiliki kesusastraan yang jauh lebih luas ketimbang kesusastraan Melayu. Lagi pula, bahasa Jawa sebagai bahasa pengetahuan mencapai taraf tinggi dan digunakan oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Meskipun demikian, bahasa Jawa tidak terpilih sebagai bahasa nasional. Kerelaan melepas bahasa daerah oleh suku yang besar, seperti suku Jawa dan Sunda, sesungguhnya pengorbanan semangat kesukuan karena kedua bahasa itu mempunyai cukup kekuatan untuk melayani kebudayaan Indonesia. Akan tetapi, tidak muncul keinginan dari pihak Jawa maupun Sunda untuk mempertentangkan bahasa daerahnya dengan bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa tetap demokratis, semata-mata bergantung pada kemauan individu masing-masing tanpa ada paksaan apa pun di baliknya. Sesungguhnya, penolakan paling sedikit penyabotan dapat dilakukan.
Nyatanya tindakan seperti itu tidak terjadi. Faktor penting yang turut menentukan dan menjamin keberlangsungan pertumbuhan bahasa persatuan Indonesia adalah faktor psikologi, yaitu keikhlasan mengorbankan semangat kesukuan dan keinsafan akan perlunya kesatuan. Faktor psikologis itulah, menurut Slamet Mulyana, lebih penting ketimbang faktor keluasan daerah bahasa Melayu sebagai lingua franca di Indonesia, yang juga pernah dipertimbangkan oleh Jenderal Rochussen untuk mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar sekolah calon pegawai negeri bumi putera.
Keugaharian bahasa Melayu sudah pasti menjadi pertimbangan pula, namun bukan faktor itu yang menentukan. Baik keluasan maupun kesederhanaan sistem bahasa Melayu pernah dikemukakan pula oleh tokoh kebudayaan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara dalam pasaran kolonial Onderwijs Conggres di Kota Den Haag tahun 1916, tiga puluh tahun sebelum pengangkatan resmi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Menurut Mohammad Hatta: âBerbalikan dengan bahasa Jawa, yang rupanya hanya dapat dipelajari oleh beberapa orang asing saja, sedangkan bahasa Melayu mudah dipahami. Buktinya adalah bahasa Melayu di wilayah Indonesia jikalau tidak diucapkan dengan baik, sekurang-kurangnya dimafhumi.â
Di samping itu, bahasa Melayuâboleh jadi karena pendek dan tegasâbanyak mempunyai ungkapan-ungkapan yang mentes dan hidup; kecuali mempunyai aneka ragam kata bahasa Melayu mudah sekali menyesuaikan diri dengan keadaan. Menurut hemat saya, orang tidak usah takut bahwa bahasa itu tidak dapat digunakan sebagai bahasa perhubungan di Indonesia. Seandainya pikiran saya kurang tetap, paling sedikit bahasa Melayu untuk itu lebih baik daripada bahasa derah mana pun di Indonesiaâ (Hatta, 1979).
Arkian, dengan berakhirnya rezim penjajahan Belanda pada 1942, fungsi bahasa Melayuâbahasa Indonesiaâdiperluas lagi untuk menjawab semua kebutuhan pemerintah dan masyarakat Indonesia merdeka yang masih diperjuangkan. Sejak itu, pemodernan kosakata bahasa Melayu mencakup semua bidang ilmu pengetahuan dan dianggap menjadi tanggung jawab pemerintah.
Perubahan politik yang tiba-tibaâpenjajahan Jepangâmelahirkan situasi sosiolinguistik anyar bagi bahasa Indonesia dan perasaan adanya sebuah kebutuhan mendesak. Perasaan itu lama menghantui pelaku-pelaku kebijakan bahasa dan istilah Indonesia. Sementara itu, para pemakai bahasa Indonesia tidak lagi seperti dahulu, hanya berasal dari kalangan terbatas.
Di Pulau Jawa, pidato-pidato Soekarno yang disampaikan dalam bahasa Indonesia dan disiarkan radio selama penjajahan Jepang, menampakkan sebuah bahasa dan sebuah wacana yang ditujukan secara bersamaan kepada semua penduduk negara yang akan lahir itu, tanpa membedakan suku atau kelompok sosial.
Muhammad Iqbal
Sejarawan IAIN Palangka Raya. Menulis tiga buku: Tahun-Tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021), dan Bermula dari Cerita Abah: Pemikiran Islam, Politik Islam, dan Islam Tradisi (Yogyakarta: Tanda Baca, Mei 2022).
*Artikel ini telah tayang di Arina.Id. Jika ingin baca aslinya, klik tautan ini: https://arina.id/perspektif/ar-DXbfb/titimangsa-bahasa-indonesia-dimulai-saat-pendudukan-jepang