Pernah suatu ketika, KH Hasyim Asy’ari diminta untuk mengisi ceramah agama saat memperingati Maulid Nabi Muhammad di pesantren milik Kiai Faqih Maskumambang, Gresik. Tiga hari sebelum kedatangan kiai Hasyim, Kiai Faqih memberi instruksi kepada segenap takmir masjid seluruh bilangan Gresik supaya melepas kentongan (alat musik tradisional Jawa) dari masjidnya masing-masing.
Hal demikian dilakukan Kiai Faqih untuk menghormati kedatangan Nahdlatul Ulama 1 ini. Pasalnya, menurut Kiai Hasyim, Kentongan tidak dapat dibakukan sebagai alat untuk mengabarkan bahwa waktu sembah yang wajib telah tiba.
Fatwa pendiri NU ini dilandaskan pada tidak adanya teks naqli yang memang mensyaratkan hal tersebut. Kendati pun menurut Kiai Faqih, kentongan boleh-boleh saja digunakan, karena didasarkan pada qiyas (persamaan) dari bedug yang secara fungsional dua teknologi itu memiliki kemiripan.
Sepotong cerita yang terekam dalam buku biografi Gus Dur karya Greg Barton di atas, merupakan potret ekspresi keberislaman yang penuh keteduhan. Meski terdapat perbedaan, namun bukan berarti menjadi peluang untuk saling mencaci. Justru sebaliknya, kemesraan itu berbanding lurus dengan sikap toleran di tengah perbedaan pendapat.
Fakta itu juga menunjukan betapa para pendahulu kita sangat menjaga betul norma-norma tepa slira (tasamuh). Sebuah tradisi dengan warisan spiritual yang secara terbuka mengakui dan menerima keberagaman serta perbedaan.
Namun ironi, nilai-nilai luhur itu kini terciderai dengan perilaku sebagian kelompok yang lebih mengedepankan kecurigaan pada realitas keberagaman. Maraknya aksi teror, propaganda “jihad” berhadiah bidadari keseleo, ujaran kebencian sekaligus klaim kebenaran sepihak dengan menihilkan realitas kebenaran yang lain merupakan sederet fenomena mutakhir yang menegaskan hal tersebut.
Payahnya, jika fenomena intoleransi ini mulai dibungkus dengan sentimen keagamaan. Tirto.id (15/11), dalam akun medsos-nya (instagram) merilis sejumlah kasus aktual penghancuran patung di daerah yang beberapa di antaranya bermotif dugaan pelecehan agama. Pada titik ini agama seolah menjadi sangat ambivalen. Di satu pihak menjanjikan keselamatan, tapi di pihak yang lain sebagian penganutnya justru menunjukkan ekspresi yang berkebalikan.
Padahal, agama itu ada untuk menjadikan damai bukan merisaukan. Dengan jalan damai itu lah Islam di bawa oleh para wali, tokoh-tokoh yang sangat mementingkan aspek substantif ajaran agama tanpa mengabaikan aspek-aspek lahiriahnya. Sebab itu, penduduk Nusantara menerima Islam layaknya menerima pesan-pesan luhur spiritual yang mengakui eksistensi dan realitas tradisi keberagamaan dengan perdamaian dan toleran.
Dalam perkembangannya, menurut KH. Abdurrahman Wahid (2009), hal demikian itu dipraktikan oleh para pendiri bangsa ini dengan penuh kesadaran untuk menciptakan karma bagus bagi umat Hindu, memberi darma baik dan melepaskan manusia dari penderitaan bagi penganut ajaran Budha, mendapat ridha Allah swt. bagi umat Islam, dan sebagai wujud kasih sayang Allah terhadap sesama bagi umat Nasrani. Karenanya, dengan tepat Pancasila merupakan refleksi dari pesan-pesan luhur agama: Hyang Mahaesa, nilai-nilai kemanusiaan, perasaan sebagai satu kesatuan, musyawarah dalam kepemimpinan, dan keadilan.
Nilai-nilai luhur inilah yang mestinya kita lestarikan dan rawat bersama untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Wallahhu a’lam.
Anwar Kurniawan
penulis adalah pegiat aktif di Islami Institute dan Gusdurian Jogja.
Selengkapnya baca di sini I