Salah satu tradisi masyarkat Aceh menjelang lebaran, baik Idul Fitri maupun Idul Adha juga menjelang bulan Ramadan adalah tradisi Meugang atau makmeugang. Tradisi ini telah lama berlangsung dalam masyarakat Aceh dari masa ke masa.
Menelusuri asal-usul dan sejarah awalnya tidak ada referensi yang signifikan yang menyebutkan kapan secara pasti awal sejarah meugang itu lahir. Namun sebagian ahli sejarah juga telah mencoba menelaah dan mengkajinya. Ini sebagiamana disebutkan oleh Ali Hasyimy dan beberapa tokoh lainnya seperti yang dinukilkan oleh Marzuki Abu Bakar dalam karyanya dengan judul “Tradisi Meugang dalam Masyarakat Aceh: Sebuah Tafsir agama dalam Budaya”.
Dalam tulisannya, ia menjelaskan bahwa tidak ditemukan referensi yang sangat meyakinkan dalam lintasan sejarah, siapa dan kapan pertama sekali tradisi meugang ini dilakukan. Ali Hasjimy menyebutkan bahwa tradisi ini sudah dimulai sejak masa kerajaan Aceh Darussalam. Tradisi Meugang ini dilaksanakan oleh kerajaan di istana yang dihadiri oleh para sultan, menteri, para pembesar kerajaan serta ulama.
Pada hari itu, raja memerintahkan kepada Balai Fakir, yaitu badan yang menangani fakir miskin dan dhuafa untuk membagikan daging, pakaian dan beras kepada fakir miskin dan kaum dhuafa. Biaya ini semuanya ditanggung oleh bendahara Silatu Rahim, yaitu lembaga yang menangani hubungan negara dan rakyat di Kerajaan Aceh Darussalam.
Sangat bervariasi acara di Hari Meugang tersebut ada juga yang menyebutkan di hari tersebut dilakukannya ziarah kubur terhadap orang yang dipandang mulia baik ulama, orang tua atau lainnya. Bahkan, saat ini juga masih terlihat adanya kerabat, dan sanak keluarga kala hari Meugang ikut membersihkan kuburan atau maqbarah. Hal ini juga telah di praktikkan dulunya oleh pendahulu kita seperti di jelaskan oleh Denys Lombard dalam bukunya “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda”, beliau menyebutkan adanya upacara Meugang di Kerajaan Aceh Darussalam, bahkan menurutnya, di sana ada semacam peletakan karangan bunga di makam para sultan.
Di samping itu ada juga yang menyebutkan bahwa perayaan Meugang ini dilaksanakan oleh Sultan Iskandar Muda sebagai wujud rasa syukur raja serta menyambut datangnya bulan suci Ramadan, sehingga dipotonglah lembu atau kerbau, kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada rakyat. Setelah perang dan masuk penjajah Belanda, tradisi tersebut juga masih dilakukan, akan tetapi dikoordinir oleh para hulubalang sebagai penguasa wilayah. Begitulah, sampai saat ini tradisi Meugang terus dilestarikan dan dilaksanakan oleh berbagai kalangan masyarakat dalam kondisi apapun.
Hari Meugang itu juga dimaknai sebagai persiapan untuk menyambut bulan Ramadan ini sebagaimana diungkapakan dalam karya monumental dengan judul, “Aceh di Mata Kolonialis”, sang pengarang buku tersebut C. Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa:
“Maksud persiapan selama tiga hari itu terutama supaya tersedia cukup bekal untuk setiap kali berbuka puasa di waktu matahari terbenam dan makan pagi (sahur) sebelum matahari terbit. Juga untuk menjaga supaya orang berpuasa sedapat mungkin tidak perlu pergi berbelanja. Bukankah mereka yang berpuasa terlalu letih untuk memberikan cukup perhatian berdagang di siang hari, sehingga pasar-pasar hampir sepi selama 30 hari berpuasa.”
Marzuki juga menjelaskan berdasarkan keterangan dari C. Snouck Hurgronje menunjukkan bahwa dahulunya Meugang dikenal dengan tiga hari, akan tetapi setelah adanya kesepakatan dari para ulama di Aceh dan Indonesia pada umumnya untuk menggunakan metode rukyah dalam penentuan 1 Ramadan, maka Meugang hanya dikenal satu hari saja, yaitu satu hari sebelum 1 Ramadan, hanya sebagian orang ada yang memilih merayakan Meugang sejak dua hari sebelum Ramadan.
Dalam karyanya yang lain, C. Snouck Hugronje menyebutkan bahwa daging Meugang juga digunakan untuk persediaan makanan pada saat perang, tentunya dengan menggunakan metode pengawetan terhadap daging yang dipotong pada saat Meugang. Meugang merupakan salah satu tradisi dalam masyarakat Aceh yang masih dilestarikan oleh berbagai lapisan masyarakat, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Kata Meugang juga sering disebut dengan kata mameumang, ma’meugang ketiga istilah sering diucapkan oleh masyarakat Aceh (Iskandar,2010: 47).
Tradisi Meugang ini dilaksanakan oleh berbagai kalangan, baik fakir, miskin, apalagi orang kaya. Tentunya bentuk dari pelaksanaan Meugang ini berbeda-beda antara orang yang mampu dengan orang yang tidak mampu. Walaupun demikian, yang diinginkan oleh mereka yang melaksanakan Meugang ini adalah ikut serta merayakan Meugang walaupun semampunya saja. Tidak ditemukan referensi yang sangat menyakinkan dalam lintasan sejarah, siapa dan kapan pertama sekali tradisi Meugang ini dilakukan. Ali Hasjimy menyebutkan bahwa tradisi ini sudah dimulai sejak masa kerajaan Aceh Darussalam. Tradisi Meugang ini dilaksanakan oleh kerajaan di istana yang dihadiri oleh para sultan, menteri, para pembesar kerajaan serta Ulama. (Iskandar, 2010: 48).
Melihat dan memahami “asbabul wurud” tradisi Meugang dalam masyarakat Aceh banyak versinya, diantarannya, pertama, dapat dipahami sebagai bentuk apalikasi nilai-nilai religi dimana pihak penguasa (pemerintah) mengundang mereka yang kurang mampu, baik fakir miskin ke Istana untuk disantuni dan diberi sumbangan kepada mereka. Kedua, Meugang itu tradisi untuk menziarahi dan membersihkan maqbarah (kuburan) orang yang dihormati baik orang tua, ulama, raja, sanak keluarga dan lainnya. Ketiga, Meugang itu persiapan menuju bulan suci Ramadan, baik itu dengan memperbanyak sedekah atau sebatas menyimpan daging yang diawetkan sebagai perbekalan selama Ramadan. Wallahhu a’lam.
Referensi :
1. Marzuki Abu Bakar, Tradisi Meugang dalam Masyarakat Aceh: Sebuah Tafsir agama dalam Budaya, 2014
2. Tradisi Masyarakat Bisa Menjadi Dalil Dalam Agama?Firman Arifandi, 2017
3. Hukum Adat dalam Tinjauan Fiqih, KH. Husein Muhammad, NU Online, 2017
4. Sumber Lainnya