Lampung merupakan pintu gerbang pulau sumatera yang memiliki slogan āSang Bumi Ruwai Juraiā, masyarakat Lampung terdiri dari 2 yaitu pepadun dan saibatin yang diamna dari keduanya memiliki ciri khas masing-masing.
Masyarakat Lampung pepadun menganut sistem kekerabatan āpatrilinealā yang dimana kedudukan tertinggi secara adat dipegang oleh anak laki-laki tertua dari keturunan tertua. Masyarakat pepadun menggunakan dialo o dalam berkomunikasi. Lampung pepadun terdiri dari beberapa golongan yaitu Abung Siwou Migou, Mego Pak Tulang Bawang, Buway Lima Way Kanan dan Sungkai Lima, dan Pubiyan Telur Suku.
Masyarakat Lampung pepadun dalam tradisi pernikahannya yang dimana pihak laki-laki akan mengambil gadis dari rumahnya kemudian meninggalkan surat beserta uang yang biasa disebut dengan Sebambangan (larian gadis). Kemudian pihak keluarga akan mambaca surat tersebut dan menyetujui nya, serta uang yang di berikan oleh pihak laki-laki akan digunakan untuk membeli keperluan pihak wanita seperti perabot rumah tangga, perhiasan, dll. biasanya dalam masyarakat pepadun sebelum dilakukan pesta perkawinan akan dilakukan Begawi Cakak Pepadun untuk menerima gelar adat.
Masyarakat Lampung saibatin merupakan golongan yang biasanya tinggal di wilayah pesisir, yang biasanya menggunakan dialek dalam berkomunikasi . Masyarakat lampung saibatin juga memiliki gari sketurunan ayah āpatrilinealā. Tetapi pada masyarakat saibatin tidak mengenal ritual untuak menaikkan status sosial masyarakat dikarenakan Ā āSAIBATINā yang berarti satu budi atau satu tuan. Lampung saibatin memiliki bebrapa golongan yaitu Paksi Pak Sekala Brak, Keratuan Melinting, Keratuan Darah Putih, dan Semaka.
Dalam perkawinan masyarakat saibatin menggunakan Nyakak atau Matudau yang dimana pihak laki-laki akan memberikan uang jojokh. Uang ini harus diberikan kepada keluarga pihak mempelai perempuan dengan menggunakan sebuah upacara adat. Masyarakat Lampung Saibatin menganggap bahwa tradisi sebambangan bukan hal yang cukup lazim dikarenakan menurut lampung saibatin dilakukan sebambangan jika mempelai wanita sedang dalam kondisi hamil, selain itu jika melakukan tradisi ini dianggap sebagai aib.
Berbeda dengan masyarakat pepadun tradisi sebambangan merupakan hal yang lazim dilakukan oleh masyarakat pepadun karena mereka menggagap tradisi ini baik dan harus di lestarikan ke anak cucunya, dan jarang sekali melakukan tradisi nyakak (memberikan uang jujokh). Meskipun terdapat perbedaan dalam upacara perkawinan, bahasa, dan pelapisan sosial kedua masyarakat hidup dan juga rukun.
Untuk menjaga nilai-nilai budayaĀ generasi mudaĀ memiliki peranan yang penting dalan meneruskan tradisi ini, perlu memahami dan memaknai tradisi yang ada di provinsi Lampung seperti tradisi Nyakak dan Sebambangan, yang melibatkan keluarga dan juga komunitas adat untuk mendukung agar tradisi ini tetap ada.
Tradisi Nyakak dan Sebambangan adalah warisan budaya Lampung yang kaya makna dan sarat nilai-nilai luhur. Nyakak melambangkan kearifan lokal dalam mengelola harmoni masyarakat, sementara Sebambangan mengisahkan perjalanan cinta yang penuh etika dalam bingkai adat.
Sayangnya, dua tradisi ini perlahan mulai kehilangan daya tariknya di mata generasi muda. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah generasi bangsa kini tengah terputus dari akarnya, ataukah tradisi itu sendiri gagal menyesuaikan diri dengan zaman?
Nyakak, yang merupakan tradisi gotong-royong untuk membangun rumah atau keperluan sosial lainnya, dulunya menjadi perekat sosial masyarakat Lampung. Tradisi ini tak sekadar kerja bersama, melainkan ruang untuk saling mengenal, berbagi, dan memperkuat solidaritas.
Namun, di era modern ini, individualisme dan kesibukan hidup kota menggerus semangat gotong-royong itu. Generasi muda, yang tumbuh dengan teknologi dan kemudahan akses, cenderung memilih kenyamanan dan efisiensi. Mereka lebih sering menyewa jasa profesional daripada melibatkan diri dalam kerja bersama.
Sebambangan, di sisi lain, adalah tradisi unik dalam pernikahan adat Lampung. Proses Sebambangan menggambarkan romantisme sekaligus tanggung jawab. Calon pengantin pria “menculik” mempelai wanita dengan restu keluarga, lalu membawanya ke rumah keluarga besar untuk diresmikan.
Ritual ini menunjukkan betapa seriusnya sebuah komitmen dan bagaimana pernikahan dilihat sebagai urusan kolektif, bukan sekadar hubungan individu. Namun kini, Sebambangan mulai kehilangan maknanya di tengah pernikahan modern yang lebih individualistis. Banyak pasangan muda merasa tradisi ini terlalu kuno atau tidak relevan dengan gaya hidup mereka.
Padahal, baik Nyakak maupun Sebambangan mengajarkan nilai-nilai yang sangat relevan dengan tantangan zaman. Nyakak mengajarkan pentingnya kolaborasi, yang seharusnya menjadi bekal dalam menghadapi kompleksitas dunia kerja dan sosial. Sebambangan, dengan segala tata cara dan simboliknya, mengajarkan arti tanggung jawab, komunikasi antar keluarga, dan pentingnya menjaga kehormatan. Tradisi ini, jika dikemas ulang, memiliki potensi besar untuk menginspirasi generasi muda.
Sayangnya, pengemasan ulang ini sering kali luput dari perhatian. Banyak upaya revitalisasi tradisi dilakukan dengan cara yang monoton, tanpa mempertimbangkan cara pandang generasi muda. Pendekatan yang terfokus pada edukasi berbasis cerita visual, media sosial, atau integrasi tradisi ke dalam event-event modern sering kali terlewatkan. Padahal, jika dikelola dengan baik, tradisi seperti Nyakak dan Sebambangan dapat menjadi daya tarik budaya, bahkan hingga ke tingkat global.
Generasi muda tidak sepenuhnya dapat disalahkan atas kurangnya minat mereka. Sebagian besar dari mereka tumbuh dalam lingkungan yang minim interaksi dengan nilai-nilai budaya lokal. Sistem pendidikan yang lebih menekankan nilai akademis ketimbang budaya turut berkontribusi pada hilangnya koneksi ini.
Ditambah lagi, globalisasi dan penetrasi budaya populer asing membuat tradisi lokal seolah kehilangan daya saing. Tanpa intervensi yang serius, tradisi seperti Nyakak dan Sebambangan akan menjadi sekadar arsip sejarah.
Namun, harapan tidak sepenuhnya hilang. Beberapa komunitas kreatif di Lampung mulai mencoba menghidupkan kembali tradisi ini melalui pendekatan yang lebih kekinian. Film dokumenter, konten TikTok, hingga festival budaya menjadi alat untuk menarik perhatian generasi muda. Langkah-langkah seperti ini, jika dilakukan secara konsisten, bisa menjadi jalan untuk menyelamatkan tradisi dari kepunahan.
Pada akhirnya, masa depan Nyakak dan Sebambangan ada di tangan generasi muda. Namun, tanggung jawab tidak hanya ada pada mereka. Pemerintah, masyarakat adat, lembaga pendidikan, dan orang tua juga harus mengambil peran aktif dalam menjaga dan mempromosikan tradisi ini. Kesuksesan revitalisasi tradisi ini tidak hanya akan melestarikan budaya lokal, tetapi juga membangun identitas nasional yang kuat di tengah arus globalisasi.
Tradisi adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Jika kita gagal menjaganya, maka kita bukan hanya kehilangan identitas, tetapi juga pelajaran berharga yang terkandung di dalamnya.
Nyakak dan Sebambangan bukan sekadar ritual, melainkan cermin nilai-nilai yang dapat menjadi bekal dalam membangun masyarakat yang lebih beradab. Kini saatnya semua pihak bergerak bersama, sebelum terlambat.