Pulau Lombok merupakan salah satu wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mayoritas dihuni oleh masyarakat suku Sasak yang merupakan penduduk asli pulau Lombok, mengenai asal-usul etnik dari suku Sasak masih menjadi pembicaraan serius para ahli sejarah. Sebab, sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian yang seksama tentang sejarah dan asal-usul suku Sasak. Akan tetapi, Dr. Jamaluddin, MA dalam bukunya yang berjudul Sejarah Islam Lombok: Abad XVI-Abad XX menyebutkan bahwa orang Sasak dapat dikategorikan ke dalam jenis keturunan Malayu.
Selanjutnya pulau Lombok juga dikenal dengan sebutan pulau Seribu Masjid, masjid yang merupakan rumah ibadah bagi kalangan umat Islam. Selain itu, dari keseluruhan penduduk pulau Lombok, bisa dikatakan hampir seluruhnya mayoritas memeluk Agama Islam. Sebelum Agama Islam datang ke pulau Lombok dan sebelum suku Sasak memeluk Agama Islam, suku Sasak percaya kepada roh dan kekuatan gaib (animisme dan dinamisme). Selain itu, pulau Lombok juga dikenal dengan sebutan Gumi Selaparang. Karena pada masa-masa kedatangan dan pertumbuhan Agama Islam di pulau Lombok, yang berkuasa di pulau Lombok adalah kerajaan Selaparang. Selaparang merupakan nama kerajaan yang terbesar di pulau Lombok, yang didirikan oleh Prabu Rangkesari pada abad ke-16 M.
Kebanyakan sejarawan setuju bahwa Agama Islam mulai mendapatkan tanah pijakan yang kuat di sebagian kepulauan Nusantara pada sekitar abad ke 15 dan 16 M, ketika telah berdiri negara-negara Islam di Sumatera Utara. Islam pertama kali diperkenalkan ke pulau Lombok pada abad ke-16 dan ke-17 M, berdasarkan mitologi lokal yang dicatat dalam berbagai babad atau “sejarah-sejarah” dituliskan bahwa Sunan Giri yang termasuk dalam sembilan wali (Wali Songo) dikatakan yang telah menyebarkan Islam di seluruh Nusantara bertanggung jawab atas diperkenalkannya Islam di tanah Lombok pada tahun 1545, penyebaran Agama Islam ke pulau Lombok dilakukan oleh Sunan Prapen atas perintah dari Sunan Giri.
Dalam buku yang berjudul Sejarah Islam Lombok: Abad XVI-Abad XX Dr. Jamaluddin, MA menjelaskan, bahwa Sunan Prapen dalam menjalankan misi sucinya ke pulau Lombok, ia tidak melakukan perjalanan sendirian melainkan ditemani oleh perajurit dan bebrapa orang Patih, ialah Patih Mataram, Arya Kertasura, Jaya Lengkara, Adipati Semarang, Tumenggung Surabaya, Tumenggung Sedayu, Tumenggung Anom Sandi, Ratu Madura, dan Ratu Sumenep. Kedatang Islam ke Pulau Lombok, sangat berkaitan erat dengan kenyataan adanya penaklukan dari kekuatan luar. Secara keseluruhan, awal perkembangan Agama Islam di pulau Lombok dari yang diketahui, terdapat dua terma penting di seluruh sejarah Agam Islam di Pulau Lombok, John Ryan Bartholomew menjelaskan dalam bukunya yang berjudul (Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak).
Pertama, pulau Lombok merupakan situs dari bermacam-macam inkursi-inkursi yang mempengaruhi praktek-praktek dan kepercayaan-kepercayaan suku Sasak. Kedua, ada seruan priodik namun konsisten terhadap purifikasi Agama. Kedua terma (kondisi sosial, ekonomi, dan politik) tersebut yang menurut John Ryan Bartholomew yang kadang-kadang yang memberi stimulus perasaan (orang-orang suku Sasak saat itu) akan kebutuhan untuk memperbarui Agama atau jika dibahasakan dengan bahasa yang sederhana ialah kedatangan Sunan Prapen dengan misi suci untuk menyebarluaskan Agama Islam ke pulau Lombok juga menggunakan perlawanan dengan peperangan yang dikarenakan tidak seluruh masyarakat suku Sasak saat itu menerima kedatangan Agama Islam ke pulau Lombok.
Hal itulah yang menyebabkan Sunan Prapen dan pasukannya menyerbu kerajaan-kerajaan di Lombok hingga kerajaan-kerajaan Lombok jatuh ke tangannya. Kekalahan kerajaan-kerajaan Lombok dari tangan Sunan Prapen dan para prajuritnyalah yang menyebabkan timbul perasaan akan kebutuhan untuk memperbarui Agama dan kondisi sosial masyarakat suku Sasak.
Perkembangan Islam di Bumi Sasak, sampai hari ini juga telah dipengaruhi oleh peran Tuan Guru, yang dalam istilah Jawa disebut dengan sebutan Kiyai. Pengaruh Tuan Guru di pulau Lombok, telah tertanam jauh sebelum terjadinya kolonialisasi Belanda. Perkembangan pengaruh Tuan Guru di pulau Lombok diikuti oleh merosotnya pengaruh bangsawan, banyak dari mereka (Bangsawan Wetu Telu) akhirnya juga berpindah dari ajaran Islam Wetu Telu ke ajaran Islam Waktu Lima yang disebabkan oleh gerakan dakwah polarisasi antara Wetu Telu dan Waktu Lima yang dilakukan oleh para Tuan Guru.
Keberadaan Tuan Guru di Lombok merupakan sebuah instrumen yang sangat penting dan memiliki andil yang sangat besar dalam keberlangsungan hidup masyarakat di pulau Lombok, mulai dari pembinaan dan peningkatan sumber daya masyarakat terlebih dalam urusan sosial-keagamaan. Tuan Guru yang secara etimologi memiliki pengertian sebagai seseorang yang sangat pandai dalam urusan ilmu Agama. Istilah Tuan Guru biasanya disandangkan kepada mereka, seseorang yang secara keilmuan telah belajar ilmu Agama secara sangat mendalam di Makkah. Mengutip perkataan Geertz dan Hiroko Hirokoshi dalam penelitiannya menunjukan bahwa Kiyai atau Tuan Guru merupakan tokoh Agama yang memiliki posisi sangat penting dalam keberlangsunga kehidupan suatu masyarakat, terkhusu dalam laku sosial dan laku keberagamaa suatu masyarakat.
Istilah Tuan Guru digunakan untuk menyebut ulama atau seseorang yang dapat memahami ilmu Agama secara mendalam dan pernah menunaikan ibadah haji ke Makkah. Namun, dewasa ini istilah Tuan Guru mengalami perubahan makna. Sehingga, istilah ataupun terminologi Tuan Guru disandarkan kepada pemimpin pondok pesantren. Muharir dalam penelitiannya yang berjudul Pesantren Tuan Guru dan Semangat Perubahan Sosial mengatakan, bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat di Lombok, Tuan Guru memiliki otoritas dan kharismatik.
Dalam masyarakat Sasak, sebagaimana telah disebutkan oleh Dr. Jamaluddin, MA dalam bukunya yang berjudul Sejarah Islam Lombok: Abad XVI-Abad XX, dikatakan bahwa Tuan Guru memiliki pengaruh yang sangat besar, lebih dari itu status sosial Tuan Guru menduduki posisi yang sangat strategis. Masyarakat Sasak memiliki pandangan tersendiri tentang Tuan Guru, besarnya pengaruh Tuan Guru juga tidak dapat dilepaskan dari sikap dan pemahaman keagamaan masyarakat Sasak itu sendiri. Dalam tradisi masyarakat Sasak, Tuan Guru sebagai tokoh Agama dijadikan patron atau panutan yang setia bagi masyarakat dalam mengarungi proses kehidupan.
Para Tuan Guru, yang terdapat di Pulau Lombok yang memiliki peran sentral dalam urusan keberagamaan masyarakat lombok ialah TGH. Zainuddin Abdul Majdid, TGH. Abdul Karim, TGH. Mutawali, TGH. Safwan, TGH. Hazmi Azhar. Para Tuan Guru, dalam perjalanan dan perkembangan Islam di Lombok memiliki peranan yang sangat sentral. Erni Budiwanti, dalam penelitiannya yang berjudul Islam Sasak: Wetu telu versus Waktu Lima. Menjelaskan bahwa sesudah para Wali Jawa menyebarkan ajaran Islam di pulau Lombok, yang melanjutkan misi dakwah adalah para Tuan Guru. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, Tuan Guru adalah sosok yang memiliki kharisma yang menjadi sosok atau tokoh berpengaruh di masyarakat Lombok.
Alumni Pascasarjana Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tinggal di Aikmel Lombok Timur.
Selengkapnya baca di sini I