Pilarkebangsaan.com. Tuan Guru Mumpa merupakan seorang tokoh ulama dan intelektual abad ke-20 di Mumpa, Indragiri Hilir, Riau. Nama lengkapnya adalah Syekh Abdul Fattah bin Abdul Rasyid bin As’ad Fakhruddin bin Sihabuddin bin Muhammad Arsyad al-Banjari. Berdasarkan jalur nasab tersebut, beliau merupakan keturuan ke-4 dari ulama besar Kalimantan Selatan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812). Pengarang kitab fiqih berbahasa Melayu yang terkenal seantero Asia Tenggara, Sabilal Muhtadin li Tafaqquh fi Amr al-Din.
Ayah Tuan Guru Mumpa bernama Abdul Rasyid, ayahnya ini memiliki 4 orang istri dan 11 orang anak, yaitu: 1). Khadijah binti Mufti Haji Abdul Jalil tidak memiliki anak, 2). Molek dikaruniai dua orang anak: H. Muhammad Amin dan Purnama, 3). Aceh binti Haji Muhammad Seman, dikaruniai dua orang anak: Tuan Guru Mumpa Syekh Abdul Fattah dan Fatimah, 4).
Maryam di Manado, dikaruniai tujuh orang anak, Radhiyah, Sa’idah, Nursiah, Sarimas, Intan, Diyang, dan Anang. Melalui keterangan ini diperoleh informasi bahwa saudara sebapak Tuan Guru Mumpa berjumlah 9 orang, sementara saudara seibu sebapak satu orang yakni Fatimah. Sedangan ibunya bernama Aceh binti Haji Muhammad Seman, istri ketiga dari Abdul Rasyid.
Tuan Guru Mumpa dilahirkan di Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan Selatan, sekitar tahun 1860-an. Tuan Guru muda mendapat julukan sebagai “Anang Fattah” sebutan untuk anak lelaki di tradisi masyarakat Banjar. Ketika berusia 13 tahun atau sekitar tahun 1873 M. ia mulai belajar dasar keagamaan di lingkungan keluarganya. Setelah memiliki cukup bekal ilmu dan materi, ia bertekat melanjutkan pendidikannya ke pusat sumber Islam di Mekkah. Akhirnya pada tahun 1894 M. ia berangkat menuju Mekkah, dan menimba ilmu selama 25 tahun di sana.
Atas permintaan dari sepupu tiga kalinya, Tuan Guru Sapat Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari yang ketika itu ia sedang menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri, Tuan Guru Mumpa diminta kembali ke Nusantara. Ia kembali ke tanah air, tepatnya di Kampung Hidayat Sapat, pada tahun 1919 M. Di daerah ini, ia diminta oleh Tuan Guru Sapat untuk membantunya mengajar dan mengembangkan keilmuan Islam yang telah ia dapatkan selama di Tanah Suci.
Selain di kampung Hidayat, Tuan Guru Mumpa pernah pula beberapa kali berpindah tempat. Ia pernah mengajar di Sapat atas permintaan seorang tokoh bernama H. Mayasin. Kemudian ia kembali berhijrah ke Guntung, kemudian ke parit 11 Tembilahan, Sungai Cempaka, Teluk Jira, Kapal Pecah, dan akhirnya ia menetap dan wafat di Mumpa. Di Mumpa Tuan Guru mendirikan Majelis Taklim, sebuah bangunan seperti surau, yang didirikan dari hasil perkebunan kelapa pribadi dan sumbangan dari masyarakat setempat. Selain Majelis Taklim, Tuan Guru juga mempelopori berdirinya sebuah masjid bernama Al-Muttaqin, masjid ini masih berdiri kokoh hingga hari ini.
Tuan Guru Mumpa juga membangun sebuah institusi pendidikan berupa Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah bernama Miftahul Jannah. Pada awalnya institusi ini dibangun sangat sederhana, berupa bangunan semacam rumah panggung berlantai papan, beratap daun nipah, tanpa dinding. Seiring perjalanan waktu bangunan ini direnovasi dan mata pelajarannya telah menggunakan kurikulum baku. Beberapa mata pelajaran yang dipelajari antara lain, Aqidah Akhlak, al-Qur’an Hadits, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, dan bahasa Arab. Sebelumnya hanya menggunakan istilah pelajaran klasik, seperti Tauhid, Fiqih, dan Tasawuf.
Beberapa orang murid yang pernah belajar kepadanya dan menjadi ulama serta meneruskan kiprahnya di Indragiri Hilir adalah KH. Darmawi Acil (w. 2015 M.) dan KH. Jamaluddin Siddiq. Setelah menyelesaikan pendidikan di institusinya, murid-murid Tuan Guru Mumpa banyak melanjutkan studinya ke luar daerah, terutama ke Jambi dan Bukittinggi. Di Jambi, intitusi yang dituju adalah Madrasah Nurul Iman, Sa’adatuddarain, Nurul Islam, Jauharain, dan As’ad. Sedangkan di Bukittinggi, adalah Madrasah Tarbiyah Islamiyah dan Sumatera Thawalib.
Selain mengajar di institusi pendidikan yang dibangunnya, Tuan Guru Mumpa juga membuka pengajian di rumahnya pada malam hari. Ketika itu penerangannya hanya mengandalkan pelita dan lampu petromax (strongkeng) yang berbahan bakar minyak tanah. Tuan Guru Mumpa juga kerap mengadakan perjalanan dakwah ke pelosok daerah dengan hanya menggunakan perahu sampan atau hanya berjalan kaki ke Teluk Jira dan Sungai Salak, sebab belum ada transportasi seperti sekarang ini.
Karena keilmuan dan kemuliaan yang dimiliki, Tuan Guru Sapat, dalam karyanya Al-Syajarah al-Arysadiyah, menyebut Tuan Guru Mumpa dengan sebutan “al-Alim” dan “al-Fadhil”, artinya orang yang memiliki ilmu dan orang yang memiliki keutamaan. Bila dibandingkan secara umur, Tuan Guru Mumpa (1860-1967) lebih senior dan memiliki usia yang panjang dibandingkan Tuan Guru Sapat (1867-1939). Tetapi, secara garis keturunan mereka sama-sama keturunan ke-4 dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Peran Tuan Guru Mumpa masih terekam dan menjadi kenangan bagi masyarakat Mumpa, terutama kontribusi dan jasanya di bidang Agama dan Pendidikan. Keberadaan Tuan Guru Mumpa mampu mengubah masyarakat menjadi lebih religius dan terdidik. Memang pada awalnya disambut sinis oleh masyarakat yang tidak menyenangi ajakannya kepada kebebaran, namun setelah kian banyak orang yang datang belajar Agama kepada dirinya lambat laun masyarakat sadar dan segan kepada beliau.
Tuan Guru Mumpa wafat pada 17 Rajab 1387 H/ 21 Oktober 1967 M. Hingga sehingga saat ini, masyarakat di tanah Riau dan sekitarnya banyak yang selalu mengadakan acara peringatan haul beliau yang biasa dikenal dengan sebutan “Haul Jamak Sekampung”, [AA]