Pilarkebangsaan.com. Kesan pertama yang langsung meloncat ke pikiran saya usai membaca biografi para ulama kita di masa lampau, sebagaimana terekam dalam kitab-kitab “thabaqat” dan “tarajum”, adalah satu: keranjingan mengarang. Hampir, jika malah tidak semua ulama yang biografinya kita baca dalam buku-buku “thabaqat” itu meninggalkan karya; biasanya tidak hanya satu kitab saja, melainkan lebih — bisa puluhan, bahkan ratusan.
Saking keranjingannya mereka mengarang, para ulama itu tidak saja menulis tema-tema yang serius seperti tafsir Qur’an, hadis, fikih, tasawuf, nahwu, sharaf, dan tema-tema lain yang bikin kening berkerut. Mereka tidak saja menulis hal-hal serius. Tema-tema yang kelihatannya remeh-temeh, sepele, juga mereka jadikan bahan tulisan. Contoh sederhana: Imam al-Jahiz (w. 868 M), seorang ulama besar dari abad ke-3 Hijriyah, yang menulis buku yang boleh jadi tidak pernah terpikir oleh kita akan ditulis oleh seorang ulama. Buku itu berjudul “Kitab al-Bukhala’”, kitab tentang kisah orang-orang yang “medhit”, kikir. Kisah ini ia pungut dari pelbagai sumber: dari kisah turun-temurun, pengalaman sehari-hari dari lingkungan sekitar, atau cerita yang dituturkan oleh orang lain kepada dirinya. Semuanya mengenai “polah-tingkah”, perangai orang-orang “medhit” di masyarakat Arab.
Kisah-kisah itu membuat para pembaca kitab al-Jahiz bisa tergelak-gelak sendiri, kadang bikin “melas” (Jawa: kasihan), kadang jengkel. Sebab, orang-orang kikir yang sudah menjalani kekikiran itu sebagai (katakan) “way of life”, jalan hidup, mereka biasanya tidak hanya kikir terhadap orang lain. Bahkan terhadap dirinya sendiripun mereka juga tidak segan-segan untuk bersikap kikir. Ini salah satu kisah yang dituturkan al-Jahiz.
Suatu hari, perkumpulan orang-orang kikir (majlis al-bukhala’) dari kota Basrah bertemu di sebuah masjid. Mereka saling berbagi teknik kekikiran. Salah seorang dari mereka, seorang kikir yang luman kaya, memamerkan tekniknya. “Saudara-saudara, aku punya metode ini,” kata Si Kikir dari Kelurahan Anu di kota Basrah, dengan bangga. “Demi mengirit dompet, aku putuskan untuk memberi minum keledaiku dengan air asin, harganya lebih murah.” Ia berhenti sejenak. Lalu: “Sementara air tawar yang lebih mahal, hanya aku pakai untuk kebutuhanku dan keluargaku.”
Setelah beberapa hari meminum air asin, tentu saja keledainya jatuh sakit. Keledai itu amat vital untuk membantu Si Kikir mengangkut barang-barang dagangannya ke pasar, untuk”nyambut gawe” (bekerja). Bukan main sedihnya Si Kikir; bukan karena ia sayang binatang, melainkan karena ingat berapa kerugian material yang harus ia tanggung karena keledainya sakit. Ia berpikir keras: bagaimana agar keledainya sehat wal afiat kembali, tidak minum air asin lagi, tetapi tanpa biaya tambahan. Aha! Si Kikir menemukan “cara jitu”.
Ia memutuskan untuk “nadahi”, alias menampung semua air tawar yang ia pakai mandi dan berwudu dalam sebuah gentong. Air bekas itulah yang kemudian ia berikan kepada keledainya. Selang beberapa hari, keledai sembuh, bugar kembali, berkah air bekas. Dia juga gembira karena keledainya tidak pernah mengeluh karena diberi air bekas. Ia menyimpulkan: Keledai toh tidak berkeberatan diberi minum dari air bekas mandi majikannya. Ia pun tidak perlu mengeluarkan uang ekstra. Masalah terpecahkan. Demi mendengar pengalaman kekikiran Si Kikir itu, hadirin yang ada majlis tersebut bertepuk tangan, mengagumi kiat cerdik yang dibagikan oleh Si Kikir itu. “Boleh juga teknik ini” kata seseorang dalam majlis itu kepada dirinya.
Sementara itu, Ibn al-Jawzi (w. 1201 M), seorang ulama besar dari mazhab Hanbali yang tinggal di Baghdad, menulis kitab yang agak aneh: Kitab Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin. Kitab ini berisi kisah-kisah lucu mengenai perangai orang-orang bodoh dan tolol. Sementara itu, seorang ulama modern dari Syria, Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, menulis kitab unik tentang kiai-kiai yang jomblo alias tidak pernah nikah dalam sejarah Islam. Kitab itu berjudul: Al-‘Ulama’ al-‘Uzzab. Saking banyaknya para kiai jomblo di masa lampau, kisah-kisah mereka bisa ditulis menjadi sebuah buku tersendiri.
Buku ini ditulis tentu bukan untuk menganjurkan agar kita memilih “jalan jomblo” sebagai pilihan hidup. Buku ini hanya menunjukkan: betapa besarnya dedikasi para ulama di masa lampau pada ilmu dan pengetahuan, begitu rupa sehingga mereka tidak punya waktu untuk menikah. Beberapa ulama besar dalam sejarah Islam dikenal sebagai “kiai jomblo”. Salah satunya adalah Imam Nawawi (w. 1277 M; ini bukan Imam Nawawi Banten), seorang ulama besar dalam mazhab Syafi’i dan dikenal sebagai pengarang kitab al-Majmu’ yang “super-duper” tebal itu. Ulama jomblo yang lain: Imam al-Zamakhsyari (w. 1143 M), pengarang tafsir yang masyhur, al-Kasysyaf; Imam Ibn Taymiyah (w. 1328 M), seorang ulama besar dari mazhab Hanbali yang dianggap mengilhami lahirnya gerakan Wahabi di Saudi Arabia pada abad ke-18.
Saya membayangkan: Apakah pernah terlintas di pikiran para ulama atau penulis Indonesia untuk mengarang buku tentang kiai-kiai jomblo (jika jenis kiai seperti ini ada) di nusantara, misalnya? Atau tema-tema lain yang remeh-temeh semacam ini. Contoh-contoh ini saya suguhkan hanya untuk menunjukkan satu hal saja: bahwa ulama Islam di zaman lampau, di zaman keemasan sejarah Islam di abad-abad 9 hingga 16 Masehi, begitu “keranjingan mengarang”. Mereka menulis mengenai tema apa saja.
Imam al-Jahiz yang sudah saya sebutkan di atas itu menulis buku menarik lain dengan judul “Kitab al-Hayawan”. Sesuai dengan judulnya, kitab ini berisi renik-renik di sekitar dunia fauna: kisah-kisah, kearifan lokal, syair-syair, folklore, dan cerita-cerita rakyat Arab yang terkait dengan segala jenis binatang. Hanya satu saja yang tidak disinggung oleh al-Jahiz: dunia ikan-ikanan. Ia (juga masyarakat Arab pada umumnya) rupanya tidak begitu akrab dengan dunia kelautan.
Saya akan menutup tulisan ini denan kisah mengenai Imam Ibn Jarir l-Thabari (w. 923 M), seorang ulama besar yang meninggalkan karya hebat yang masih dibaca hingga sekarang: kitab Tafsir al-Thabari. Ini adalah salah satu ktab tafsir paling awal yang amat penting dalam sejarah penulisan tafsir Qur’an. Kitab ini bisa disebut karya paling monumental dari al-Thabari. Tetapi ia juga menulis kitab-kitab lain yang amat banyak jumlahnya. Ada salah seorang dari murid al-Thabari yang “iseng” mencoba menghitung: berapa kira-kira jumlah halaman yang berhasil ditulis gurunya itu setiap hari. Caranya adalah dengan menjumlahkan seluruh halaman kitab yang telah ditulis oleh al-Thabari, lalu dibagi dengan usianya, yaitu 86 tahun.
Inilah Hasilnya
Sepanjang hayatnya, al-Thabari telah menulis sekitar tiga ratus lima puluh (350) ribu kertas. Jika setiap kertas terdiri dari dua halaman, maka jumlah halaman buku yang telah ditulisnya adalah: tujuh ratus (700) ribu halaman. Jika dibagi dengan umurnya al-Thabari, yaitu 86 tahun, maka setiap hari, ia rata-rata menulis delapan puluh halaman. Ini dengan pengandaikan bahwa al-Thabari akan menulis non-stop setiap hari sepanjang hayatnya. Kita tidak bisa membayangkan, bagaima seseorang bisa menulis delapan puluh halaman setiap hari sepanjang hayat. Dalam kalkuasi yang wajar, hal ini tentu sulit dilakukan jika tidak ada unsur K, yaitu “keramat”. Lepas dari soal keramat atau bukan, ini tentu menandakan satu hal: betapa keranjingannya al-Thabari untuk mengarang.
Tak heran, jika Syaikh Muhammad ibn Alawi al-Maliki, pengarng kitab “Shari’at al-Lah al-Khalidah” (selingan: saat tulisan ini dibuat, kitab ini menjadi “balahan” atau teks yang dibaca setiap pagi oleh Kiai Aniq Muhammadun, pengasuh Pesantren Mamba’ul ‘Ulum, Pakis, Pati, Jawa Tengah); ya, Syaikh al-Maliki menyebut sosok al-Thabari sebagai “pengarang terbesar dalam sejarah Islam” (a’dzam mu’allifin fi al-Islam).
Etos atau semangat “keranjingan mengarang” yang ada pada para ulama kita di zaman dahulu ini membuat saya berdecak kagum. Etos ini, saya kira, harus dibangkitkan di kalangan para santri, pelajar, dan kiai-kiai di zaman sekarang. Kemajuan peradaban suatu bangsa ditandai, antara lain, oleh etos “keranjingan mengarang” semacam ini. Etos inilah yang akan melahirkan karya-karya besar dan dikenang oleh generasi mendatang. Jika al-Thabari dan generasinya telah meninggalkan karya-karya hebat untuk kita, dan masih bisa kita nikmati hingga sekarang, sudah semestinya para sarjana Muslim di zaman ini “nggrayangi” diri sendiri: Apa yang akan mereka tinggalkan bagi generasi mendatang?
Salah satu kelemahan ulama/kiai Indonesia, dan kemudian diikuti oleh para santrinya, adalah “malas mengarang”. Generasi para kiai nusantara yang hidup di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, masih mewarisi tradisi “keranjingan mengarang” ini dari guru-guru mereka di Hijaz (Mekah dan Medinah). Sebut saja Kiai Nawawi Banten, Kiai Soleh Darat, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Ihsan Jampes, Kiai Bisyri Mustafa, Kiai Misbah Bangilan, dll. — mereka semuanya masih giat menganggit/mengarang kitab, baik dalam bahasa Arab maupun Jawa. Semangat itu, sekarang, tampaknya sudah mulai pudar, jika tidak malah hilang sama sekali. Tentu ini amat disayangkan!*
Ulil Abshar Abdallah. (Penulis adalah Founder Ngaji Ihya Online dan Putra Pengasuh Mansajul Ulum).
Selengkapnya baca di sini I