Hawa panas tahun politik 2024 sudah terasa. Para elite partai sudah pasang poster baliho di jalan-jalan. Di sepanjang Pasar Minggu misalnya, bendera PKB memenuhi pagar pembatas jalan. Media massa sudah disibukkan oleh berita-berita sepak terjang masing-masing partai. Yang tak kalah menarik, umat Islam juga jadi bahan pemberitaan. Beberapa hari yang lalu, sejumlah tokoh Muslim mendeklarasikan Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI). Sebegitu gentingkah keadaannya?
Di tataran ormas, Ketua Bidang Pendidikan dan Pengkaderan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor, Saepudin Muhtar berharap kader MUI melek politik. Ia mengajak para kader ulama untuk berkontribusi di jalur politik, berperan serta dalam pembangunan baik dalam sisi pemikiran maupun kebijakan. “Ingat, bahwa politik menurut kacamata kader ulama bukanlah ghayah (tujuan), melainkan wasilah (perantara). Itulah yang dinamakan politik langit,” ungkap Saepudin menggebu-gebu.
Di tataran partai, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mulai merapatkan barisan demi Pemilu 2024 mendatang. Semua Pimpinan Anak Cabang (PAC), Dewan Pimpinan Cabang (DPC), Dewan Pimpinan Wilayah dan Banom-banom partai seperti Generasi Muda Pembangunan Indonesia (GMPI), Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) dan Angkatan Muda Ka’bah (AMK) mulai bergerak melakukan beberapa kegiatan sebagai strategi khusus menyongsong pemenangan di tahun 2024 nanti.
Ketua DPP Partai NasDem, A Effendi Choirie juga memprediksi tren politik Islam akan terus naik pada Pemilu 2024. Namun ia menegaskan, sinyal tersebut tidak secara otomatis membuat umat memilih partai Islam, karena pemilih akan lebih mencari sosok atau figur yang memiliki latar belakang Islam yang kuat dulu, baru kemudian melihat partainya. Mantan Sekjen IKA PMII menyampaikan itu dalam diskusi politik FK-GMNU bertema “Partai Politik Nasional-Agamis Dalam Perubahan Politik Indonesia 2024” di Jakarta, Sabtu (2/7) lalu.
“Fenomena tren politik Islam menguat juga karena faktor pengaruh global. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga menjadi inspirasi yang penting bagi dunia Islam. Yang terjadi di Indonesia juga demikian. Indikasi politik Islam menguat ditandai dengan semakin banyaknya sekolah-sekolah Islam modern, alias boarding-boarding school. Mereka bukan hanya meningkatkan pemahaman keislaman tapi juga kesadaran politik,” ucapnya.
Tampaknya memang umat Islam tengah bersiap diri menuju 2024. Tentu saja itu sah-sah saja, dan umat Islam memang mesti mempunyai gairah untuk berkiprah di area perpolitikan nasional. Namun yang perlu diwaspadai bersama ialah preseden buruk pada 2017 silam, yakni kontestasi politik identitas yang sama sekali tidak sehat untuk demokrasi. Karenanya, dalam konteks menuju 2024, umat Islam mempunyai tugas besar: amanat mencegah politik identitas dan transnasionalisme.
Pemilu 2024 dan Politik Transnasional
Mengapa hal tersebut perlu ditekankan sejak sekarang? Ada dua alasan penting. Pertama, bersatunya barisan Muslim berideologi transnasional sebagai oposisi. GNAI yang dideklarasikan kemarin adalah salah satu upaya menggaet suara umat Islam; jurus yang sama dengan yang digunakan FPI pada Pilgub 2017 yakni GNPF-MUI. Kedua, tahun 2024 persis bertepatan dengan momentum satu abad bubarnya Turki Utsmani yang digadang sebagai keruntuhan khilafah Islam—kendati istilah tersebut peyoratif.
Sekarang sudah tidak ada FPI, HTI, maupun organisasi Islam politik lainnya. Namun yang pasti, spirit ke-FPI-an dan ke-HTI-an tidak pernah padam, justru dendam di hati para aktivisnya semakin membuncah. Sekalipun ideologi keduanya berbeda, ada pemersatu di antara mereka: sebagai organisasi yang jadi sasaran represi pemerintah. Mereka hanya membutuhkan ruang politis yang menyatukan mereka kendati hanya sementara, dan peluang tersebut ialah Pemilu 2024.
Politik identitas pernah membuat sebagian umat Islam merasa beruntung, yaitu Pilgub 2017 ketika Anies Baswedan berhasil menduduki DKI 1. Artinya, bagi para pengusungnya, politik identitas adalah momentum pemersatu. Jika pada 2017 silam isu yang dipakai ialah penistaan agama, tahun 2024 mendatang yang dipakai ialah isu islamofobia. Kontra-radikalisme dan kontra-terorisme yang sangat masif dituduh mendiskreditkan Islam, bahwa rezim hari ini tidak suka Islam sama sekali.
Selain politik identitas, gejala yang terdeteksi hari ini ialah kontestasi politik transnasionalisme. Umat Islam merasa perlu satu paguyuban yang mensistematisasi gerakan mereka, dan mereka mulai menerapkan transnasionalisme secara bertahap. Politik transnasional menebarkan propaganda tentang idealisme khilafah dan kebobrokan demokrasi produk Barat, dan melalui narasi-narasi tertentu, para politisi transnasionalis mengajar umat Islam masuk barisan mereka.
Politik identitas dan transnasionalisme akan menjadi trajektori pemenangan umat Islam pada 2024 mendatang. Demi tahun tersebut, suara umat akan dikeruk sebanyak mungkin, dengan cara apa pun, bahkan jika kerukunan antarumat akan menjadi taruhannya. Jadi akankah hal tersebut dibiarkan? Apa tolok ukur kemenangan umat Islam: menang kontestasi dengan memainkan politik identitas dan transnasionalisme atau justru menang mengonter dan memberantas keduanya?
Menangnya Umat Islam
Berbagai persiapan lintas ideologi, ormas, dan partai sudah digulirkan. Umat Islam, terutama kalangan sebelah, sudah saling memainkan intrik politik. Untuk itu, umat Islam kalangan mainstream tidak boleh lengah, dan mesti lebih masif untuk mencegah politik identitas dan transnasionalisme. Mengapa hanya umat Islam yang mengemban amanat tersebut? Tidak lain adalah karena aktor politik identitas dan transnasionalisme adalah umat Islam itu sendiri.
Mungkin, posisi mayoritas menjadi faktor penting mengapa Islam sering kali diseret pada arus politik identitas. Islam mainstream seperti Muhammadiyah dan NU bahkan dianggap mengekor rezim, sehingga tidak layak merepresentasikan Islam secara umum. Kemudian, gerombolan PA 212, FPI, HTI, Salafi, Ikhwanul Muslimin dan sejenisnya maju ke muka; merebut otoritas di gelanggang politik nasional dengan jurus politik identitas dan transnasionalisme.
Pertanyaannya, jika mereka berhasil menang dengan dua jurus tersebut, apakah secara otomatis umat Islam berarti menang? Sama sekali tidak. Politik identitas ibarat alkohol, lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Politik identitas boleh jadi akan membuat umat Islam menang di Pemilu 2024, tetapi lihat yang terjadi setelahnya? Chaos oleh propaganda khilafah akan semakin menguat. Sangat mudarat. Itulah mengapa mencegah politik identitas dan transnasionalisme jadi amanat bersama. Dengan begitu, baru umat Islam menang.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…