Amendemen konstitusi bukanlah hal yang tabu dilakukan dalam rangka perbaikan bangsa. Amendemen diatur secara konstitusional dalam Pasal 37 UUD 1945 dan, dapat dipastikan, tidak ada konstitusi yang sempurna karena konstitusi akan selalu berdialektika dengan kepentingan dan kebutuhan perkembangan peradaban.
Namun, kapan dan harus bagaimana merancang amendemen ialah hal yang signifikan untuk didiskusikan dalam rangka membuka ruang dialog bagi seluruh elemen bangsa sehingga proses amendemen benar-benar matang dan diperlukan kajian dan telaahan, terutama di bidang ketatanegaraan. Apalagi, pasal-pasal dalam UUD 1945 tidaklah berdiri sendiri, tetapi terangkai secara sistematis satu sama lain dalam rangka mengakselerasi struktur dan sistem ketatanegaraan (organ dan hubungan di antara organ negara), termasuk perlindungan HAM atas warga negaranya.
Beberapa hal perlu dijelaskan. Pertama, apakah UUD 1945 mengenal amendemen terbatas? Kedua, memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) apakah dapat memicu pemakzulan? Ketiga, apakah memasukkan PPHN dalam Pasal 3 dapat membuka kotak pandora (perubahan terhadap pasal-pasal lain), yang berakibat pada sistem pemerintahan?
Pertama, UUD 1945 tidak mengenal istilah amendemen terbatas. Pasal 37 menggunakan istilah ‘usul perubahan pasal-pasal’. Dengan demikian, makna pasal-pasal dalam perubahan dapat lebih dari satu pasal yang diusulkan. Yang berhak mengusulkan perubahan ialah anggota MPR yang berjumlah 711 anggota. Meskipun hanya dibutuhkan 1/3 dari keseluruhan anggota MPR atau 237 anggota untuk mengusulkan perubahan, sangat terbuka untuk mengusulkan perubahan pasal-pasal lain.
Derajat tinggi
Berbeda dengan sebelumnya, amendemen dapat mengubah seluruh dokumen konstitusi. Misalnya UUD 1945 diubah Konstitusi RIS kemudian UUDS lantas kembali ke UUD 1945. Bahkan, amendemen 1999-2002 mencabut dokumen penjelasan tidak lagi masuk bagian UUD 1945.
Dengan melihat sejarah perubahan konstitusi, kesadaran menciptakan budaya berkonstitusi masih lemah, yang ditandai dengan sering berubah-ubahnya konstitusi. Jika alasan amendemen ialah SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional) dianggap kurang efektif penyelenggaraan pembangunan pusat dan daerah, dari provinsi serta kabupaten/kota hingga desa, atau PPHN dianggap lebih baik daripada SPPN, apakah tidak sebaiknya mengubah UU No 25 Tahun 2004 tentang SPPN?
Tentunya, sangatlah penting menetapkan pedoman pembangunan dalam sebuah negara. Namun, konstitusi tidak perlu mengatur hal-hal yang penting, tetapi hal-hal yang pokok/dasar sebagai fundamental norm. Sementara itu, hal-hal yang penting sebaiknya diatur dengan aturan di bawah konstitusi karena sifat penting biasanya rentan dengan dinamika perubahan. Jika segala sesuatu harus dicantumkan dalam UUD, dan setiap ada hal penting akan diubah, konstitusi itu derajatnya menjadi rendah (unsupreme constitution). Seharusnya, sebagai norma fundamental negara, UUD memiliki derajat tinggi (supreme constitution).
Kedua, jika yang dimaksudkan amendemen terbatas ialah memasukkan PPHN atau serupa dengan GBHN ke dalam Pasal 3 UUD 1945, dengan memberikan kewenangan kepada MPR untuk menetapkan dan mengubah PPHN, dapat membuka ruang pemakzulan presiden karena Pasal 3 tentang PPHN akan berkaitan dengan Pasal 7A UUD 1945, yang menjelaskan syarat pemakzulan, yakni apabila presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Kalimat ‘tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden’ harus dibaca dalam satu napas, dengan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yaitu Pasal 169 huruf o yang menyatakan, ‘persyaratan menjadi calon Presiden, dan calon Wakil Presiden, adalah setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,…’.
Dengan demikian, jika presiden tidak menjalankan PPHN, sementara PPHN diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, presiden dapat diduga tidak setia terhadap UUD 1945 sehingga presiden dapat dikategorikan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A.
Ketiga, amendemen terbatas dapat membuka kotak pandora karena pasal-pasal dalam UUD 1945 tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling terkait satu dengan yang lainnya. Misalnya saja, (1) jika tidak mewajibkan kepada presiden atau lembaga negara lain, PPHN menjadi tidak efektf. Apakah MPR berwenang memerintahkan atau memberikan tugas kepada lembaga negara lain, sementara MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi yang memegang amanat kedaulatan rakyat sehingga tiap lembaga negara kedudukannya sederajat?
Dengan demikian, akan ada pasal-pasal terkait dengan kewajiban presiden dan/atau lembaga negara untuk melaksanakan PPHN. Apalagi, sistem pemilihan presiden dilaksanakan secara langsung sehingga pertanggungjawaban moral politik dilaksanakan kepada rakyat dalam pemilu berikutnya, apakah visi dan misinya pada saat kampanye pemilihan presiden dijalankan.
(2) Jika MPR berwenang menyatakan presiden tidak menjalankan PPHN, apakah dilaksanakan dalam Sidang Tahunan MPR, sesuai dengan Tatib MPR apakah tidak menyimpangi konstitusi itu sendiri karena Tatib MPR hanya berlaku di internal MPR? (3) Andai kata PPHN hanya akan dilekatkan kepada politik legislasi, khususnya RUU APBN, mungkin akan ada perubahan Pasal 23 UUD 1945. Dengan demikian, MPR tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan UU APBN bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi, menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji UU terhadap UUD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Apakah Pasal 24C ayat (1) akan ditambahkan/disisipkan terkait dengan pengujian UU terhadap PPHN?
(4) Bagaimana konsekuensi konstitusional jika presiden tidak melaksanakan PPHN, apakah akan berakibat pada pemakzulan, padahal usul pemakzulan berdasarkan Pasal 7B UUD 1945 diajukan DPR ke MPR setelah terdapat putusan MK? Apakah akan ada usul pemakzulan dari MPR langsung ke MK sehingga berakibat pada perubahan Pasal 7B tentang usul pemakzulan dari MPR dan Pasal 24C ayat (2) tentang kewajiban MK memutus pendapat MPR?
Menggeser eksistensi kedaulatan rakyat
Jika beberapa pertanyaan itu terakomodasi dalam amendemen terbatas, kedudukan MPR akan menjadi superior, yang dapat memengaruhi (bertentangan) dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menggeser eksistensi kedaulatan rakyat dan dapat berakibat terjadinya pergeseran sistem pemerintahan dari presidensial menjadi kuasipresidensial (campuran). Padahal, salah satu semangat amendemen UUD 1945 pada 1999-2002 yang menjadi komitmen kebangsaan ialah memperkuat sistem presidensial.
(5) Jika PPHN dirumuskan dalam ketetapan MPR, dapat dipastikan PPHN menjadi tafsir monolitik. Bahkan, tidak dapat dijangkau/diuji MK karena MK hanya menguji UU terhadap UUD, kecuali dibuka ruang perubahan terhadap kewenangan MK dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
(6) Sebagai sebuah catatan bersama, bahwa eksistensi ketetapan MPR sebagai peraturan yang bersifat mengatur (regeling), apakah masih ada/berlaku karena MPR diperintahkan Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945 yang menyatakan bahwa MPR ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi status hukum ketetapan MPRS dan ketetapan MPR, yang kemudian melahirkan Ketetapan MPR No I Tahun 2003.
Pasal 37 UUD 1945 membuka ruang usul perubahan sangatlah rigid. Pertama, usul perubahan pasal-pasal UUD dan diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Kedua, untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Ketiga, putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.
Dengan demikian, jika ruang amendemen dibuka, tidak tertutup kemungkinan DPD RI akan mengajukan usul pasal-pasal perubahan yang terkait dengan kewenangan DPD yang selama ini sangatlah sumir sebagai lembaga negara, yang diatur dalam konstitusi. Misalnya saja, terkait dengan Pasal 22D yang mengatur kewenangan DPD dan juga terkait dengan kewenangan legislasi, yang diatur dalam Pasal 20, agar DPD dapat menjadi tripihak dengan presiden, dan DPR dalam rangka membahas dan memberikan persetujuan bersama.
Alangkah bijaknya, dalam suasana pandemi, seluruh elemen bangsa memfokuskan pada penanganan dan penanggulangan pandemi covid 19 agar rakyat semakin memiliki rasa aman dari covid-19 sebagai wujud dari perlindungan negara terhadap rakyat (social defence) sebagaimana yang diamanatkan dalam alinea keempat UUD 1945, bahkan dirumuskan yang pertama sebagai tujuan berdirinya negara.
Apalagi, dalam suasana HUT ke-76 kemerdekaan ini, sebaiknya mari kita memerdekakan rakyat dari rasa tidak aman atas covid-19 melalui semangat gotong royong untuk membangkitkan solidaritas sosial.
Kesimpulannya, amendemen Pasal 3 UUD 1945 dikhawatirkan akan membuka kotak pandora.
Atang Irawan
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung)