Hubungan agama dan negara telah lama menjadi perdebatan dalam pembentukan UUD 1945. Ada 3 (tiga) isu relasi agama dan negara yang menjadi diskursus antara para pendiri bangsa di saat Menyusun dasar negara oleh badan penyelidik usaha persiapan kemerdekaan (BPUPK).
Pertama, tentang penghapusan 7 kata pada draft piagam Jakarta yang menjelaskan adanya kewajiban untuk menjalankan syariat islam bagi pemeluknya. Ketentuan ini menimbulkan debat antara pendiri bangsa yang berhaluan nasionalis dan bapak bangsa yang ber-ideologi agamis. Debat ditutup dengan menghapus kata tersebut dengan alasan menghormati rakyat Indonesia di wilayah timur yang notabenenya beragama non-islam dan meredam kemungkinan mereka melakukan disintegrasi dengan Pemerintah Indonesia.
Kedua, berkaitan penggunaan istilah “mukadimah” pada piagam Jakarta yang kemudian diganti menjadi istilah “preambule” atau pembukaan. Karena disinyalir kata “mukadimah kental dengan nuasa agama islam.
Ketiga, diskursus tentang syarat menjadi presiden Indonesia yang harus beragama islam. Ketentuan ini diubah setelah di protes oleh Soepomo (salah satu founding father) yang mengutarakan bahwa setiap orang punya kesempatan yang sama untuk menjadi presiden dan bangsa ini disusun atas dasar kesamaan (equality before the law) tanpa adanya kasta dan kelas berdasarkan agama tertentu.
3 isu agama dan negara diatas menunjukan bahwa pengaturan agama mengalami perdebatan. Namun para pendiri bangsa mampu berdeliberasi dan bermusyawarah menyelesaikannya. Keadaan itu dapat dimaknai sebagai bentuk moderasi beragama. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Terdiri dari berbagai suku, bangsa, agama, Bahasa, dan etnik yang berbeda-beda. Perbedaan itu bukanlah sebuah pemisah namun justru perekat bangsa yang multikultural ini.
Oleh karenanya tidak boleh ada upaya-upaya untuk memecah belah dengan menggunakan agama dan politik identitas lainnya. Pemerintah harus bersifat non diskriminasi dan inklusif dalam memberikan jaminan hak asasi manusia tanpa kecuali hak beragam dan berkeyakinan
Kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah salah satu hak asasi manusia yang diatur didalam konstitusi 1945. Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya negara Indonesia bukanlah negara berdasarkan atas agama tertentu namun negara ini mengakui agama sebagai bagian dalam praktek ketatanegaraan. Sehingga Indonesia tidak dapat dikatakan negara agama ataupun negara yang tidak beragama (sekuler). Bentuk dari pengakuan atas agama tersebut maka negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Jaminan negara atas kebebasan beragama dan berkeyakinan ini terdiri atas jaminan atas forum internum dan forum eksternum. kebebasan memeluk agama dan berkeyakinan adalah forum internum setiap orang yang merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi ( absolute right) sebagaimana di atur dalam International Convenant on Sipil and Political Rights (ICCPR) yang telah pula diratifikasi oleh Indonesia. Bahkan ketentuan tersebut juga diatur dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Sementara hak untuk mempraktekan peribadatan agamanya tersebut berada di ranah forum eksternum. Dimana praktek keagamaan tersebut dapat dilakukan pembatasan tertentu guna menjamin hak asasi orang lain.
Ketentuan pembatasan pemenuhan hak di ranah forum eksternum diatur dalam ICCPR yang dikenal dengan istilah Syracuse principle dan juga didalam Konstitusi 1945 yaitu Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Konstitusi menyebutkan pembatasan menjadi sah apabila ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbagan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pemenuhan Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan seringkali mengalami diskriminasi di Indonesia. contohnya isu kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk. Sebelum diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016. Negara hanya mengakomodir 5 agama yang diakui dalam pengisian kolom kartu tanda penduduk yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, Konghucu dan menegasikan keberadaan agama dan kepercayaan lainnya yang hidup dan tumbuh di masyarakat Indonesia.
Putusan MK ini menjadi cahaya keadilan bagi pemenuhan hak asasi manusia dibidang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Meski MK mampu menarasikan hak atas beragam dan berkeyakinan dengan menafsirkan cahaya ketuhanan yang ada didalam Konstitusi, namun MK masih memiliki pekerjaan rumah lain dalam menilik kasus pemenuhan hak beragama dan berkeyakinan seperti kasus pengujian UU Perkawinan tentang hak menikah beda agama. Sebab politik hukum UU Perkawinan melarang hal demikian, padahal menikah adalah bagian dari keyakinan dan ibadah seseorang kepada Tuhannya yang tergolong dalam ranah forum internum yang seharusnya tidak dapat dibatasi.
Kasus lainnya adalah isu pemaksaan penggunaan seragam sekolah dengan hijab bagi pelajar perempuan non-muslim masih sering terjadi dibanyak sekolah publik di Indonesia. Negara sudah mengeluarkan regulasi berupa surat keputusan bersama (SKB) 3 Menteri untuk menormalkan status quo yang diskriminatif tersebut. Namun upaya mengembalikan pada posisi normal itu digagalkan oleh Lembaga Kerapatan Adat MinangKabau (LKMM) yang melakukan pengujian SKB itu.
Celakanya, Mahkamah Agung membatalkan SKB tersebut dengan alasan bahwa sekolah memiliki hak untuk melakukan pendidikan agama dan penanaman nilai-nilai.Pertimbangan hakim (ratio decedendi) yang dibangun Hakim Agung sangat kering dengan perspektif kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam membatalkan SKB 3 Menteri. Hakim melihat isu pemaksaan penggunaan hijab bagi pelajar non-muslim ini dari perspektif pemikiran agama mayoritas semata tanpa memperhatikan bahwa masyarakat Indonesia sangat majemuk. Sehingga perlindungan hak kebebasan beragama berkeyakinan seharusnya juga melindungi hak pemeluk agama minoritas.
Terlebih hijab dalam agama islam dimaknai sebagai bentuk ibadah bagi muslim perempuan untuk menutup aurat. Sehingga adanya paksaan bagi pelajar putri non-muslim untuk menggunakan hijab tentunya sudah menodai forum internum dan keyakinannya. Dimana seharusnya jaminan forum internum bersifat mutlak dan tidak boleh diganggu gugat.
Mengacu pada breakfasting theory of jurisprudence maka Putusan MA tersebut terjadi dikarenakan pertama, proses persidangan pengujian peraturan perundang-undangan yang tertutup sehingga hakim tidak mampu mendengarkan secara berimbang untuk kedua belah sisi argumentasi hukum (audio et alteram partem).
Kedua, hakim agung tidak kaya horizon pemikiran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan karena terperangkap pada agama atau keyakinan yang dianutnya saja. Padahal hakim selalu wakil tuhan di dunia dan penegak keadilan harus bersifat imparsial dalam membuat putusan. sehingga butuh moderasi beragama, toleransi dan pemahaman KBB yang holistik bagi penyelenggara negara maupun masyarakat umum.