Featured

VOC dan Asal Usul Birokrasi Indonesia, Hitam-Putihnya yang Diwariskan

7 Mins read

Birokrasi kolonial Hindia-Belanda sendiri dapat dikatakan baru dimodernisasi pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hermann Willem Daendels (berkuasa 1808-1811) yang sejatinya adalah wakil dari pemerintah Perancis.

Daendels melakukan sejumlah perubahan signifikan dari pola VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang terbukti gagal pada saat itu.  Selain diwarnai sejumlah korupsi, VOC pada masa itu juga belum benar-benar memiliki bangunan sistem pemerintahan yang solid, yang meliputi hubungan akuntabilitas antara pemerintahan kolonial dan penguasa lokal.

Seringkali pejabat VOC justru menerima suap dari raja-raja lokal agar nilai pajak yang mereka setorkan bisa lebih kecil (cukup familiar kan dengan kondisi ini? Hehe). Daendels mengubahnya dengan menjadikan para raja daerah sebagai wakil pemerintah kolonial yang tunduk pada pemerintah kolonial.

Asumsi yang digunakan Daendels dengan membangun pemerintahan kuat. Dengan begitu maka penerimaan negara juga akan semakin tinggi dan dapat digunakan untuk membangun pertahanan yang kokoh (mempertahankan Hindia-Belanda dari serangan Inggris adalah tujuan yang diberikan Napoleon kepada Daendels).

Meskipun kemudian Hindia-Belanda jatuh ke tangan Inggris pada 1811, Thomas Stamford Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda dudukan Inggris (1811-1815) memperkokoh bangunan pemerintahan yang sudah didirikan oleh Daendels. Sejak dipimpin kedua tokoh inilah administrasi publik Indonesia mengalami perubahan besar yang sebagiannya dikatakan masih bertahan hingga saat ini.

Birokrasi adalah suatu gejala di negara dan masyarakat modern. Dalam hal ihwal ini birokrasi bersifat rasional, fungsional, dan hirarkis dengan batasan kerja yang jelas; suatu mesin yang mengabdi dan mengurus masyarakat tanpa pandang bulu. Kita tidak dapat membayangkan welfare state (negara kemakmuran) di Barat tanpa birokrasi, sebab ia yang mengatur cara mencari nafkah, mengolah sumber-sumber ekonomi, dan sekaligus menjamin tingkat kemakmuran semua warga. Birokrasi diatur oleh undang-undang, bukan oleh birokrasi itu sendiri.

Dengan sendirinya cara untuk menjadi anggota birokrasi memiliki aturan yang bebas dari pengaruh politik dan masyarakat. Menyangkut penghasilan, ada pemisahan yang tegas antara penghasilan jabatan dan pribadi. Konsep dan organisasi birokrasi modern muncul pertama kali di Eropa pada akhir abad ke-18, yakni pada masa Revolusi Industri dan Revolusi Prancis.

Sejarawan melihat bahwa birokrasi di Inggris tumbuh dari peristiwa sejarah yang kebetulan. Karena faktor keturunan, raja-raja dari Hannover di Jerman waktu itu menjadi Raja Inggris. Kerajaan yang mereka tinggalkan kemudian diperintah oleh para ahli administrasi, para birokrat. Kendati demikian, ada beberapa sejarawan yang berpendapat bahwa birokrasi modern di Eropa diilhami oleh Kekaisaran Ch’ing dengan mandarin-mandarinnya, yang melakukan tugas atas dasar falsafah Konfusius. Kekaisaran ini memang memiliki sistem ujian yang ketat bagi calon pegawainya, hal yang juga diterapkan dalam birokrasi modern.

Konsep negara dan birokrasi modern di Indonesia dibawa oleh Marsekal Herman Willem Daendels, yang melihat dirinya sebagai Napoleon kecil yang harus menciptakan negara bermodel Napoleon di koloni Hindia-Belanda. Secara tegas dia menciptakan pembagian fungsi, daerah, dan hirarki kekuasaan, baik di kalangan penguasa Belanda (Eropa) maupun bumiputra. Kendati demikian pada masa pemerintahan Daendels banyak peraturan yang hanya di atas kertas, karena pertimbangan politik antara penguasa bumiputra dan Belanda belum banyak berubah.

Bagaimana dengan aparatur raja atau alat negara tradisional sebelum konsep birokrasi rasional muncul, artinya sebelum Revolusi Prancis dan Revolusi Industri? Bagaimana pula keadaan alat ini pada zaman raja-raja Jawa, sultan Aceh, Makassar, dan lain-lain ataupun VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)?

Seorang raja, betapa pun absolut kekuasaannya, tidak dapat memerintah sendiri dan sangat bergantung pada apa yang sekarang ini kita sebut alat negara atau birokrasi. Kendati demikian, karena sifat dan strukturnya sama sekali berlainan, istilah birokrasi tidak dapat dipakai untuk, katakan saja, abdi dalem raja di Jawa. Alat raja ini lebih merupakan elite politik, yang di Jawa disebut sebagai kaum priyayi (yayi = adik raja dalam arti abstrak).

Kaum priyayi adalah sekelompok kecil orang yang diberi jabatan atau mendapat mandat dari raja untuk membantu memerintah rakyat. Kelompok kecil ini diangkat karena jasa mereka pada raja dalam perebutan kekuasaan, hubungan darah, favoritisme belaka, atau keturunan. Namun seorang keturunan priyayi bila tidak memiliki jabatan bukanlah priyayi. Sebaliknya, anak petani atau lurah yang mendapat jabatan kecil, dan lebih penting lagi plungguh, artinya tanah dan cacah petani yang mengerjakannya, tergolong priyayi.

Seperti dikatakan oleh orang-orang Inggris yang mengamati masyarakat Jawa pada permulaan abad ke-19, beberapa keluarga priyayi yang dua atau tiga generasi sebelumnya sangat kuat, pasca tidak memegang jabatan jatuh miskin hingga ke taraf petani biasa. Plungguh, nafkah dari raja untuk pejabat, tidak bisa diwariskan. Bila seorang pejabat meninggal atau dipecat maka plungguh-nya kembali ke tangan raja; dan plungguh inilah yang membedakan antara priyayi dan nonpriyayi. Seorang priyayi tanpa harus bekerja dapat menikmati hasil bumi yang dikerjakan oleh petani, wong cilik.

Priyayi, pendek kata, adalah alat raja dan bukan anggota birokrasi dalam pengertian sekarang. Karena kerajaan tradisional masih sederhana, maka tugas mereka kebanyakan hanyalah mengumpulkan pajak, tenaga kerja, dan lain-lain demi kepentingan kerajaan. Fungsi priyayi dalam masyarakat tidak ada sehingga priyayi lebih tepat disebut elite penguasa tinimbang birokrasi. Banyak priyayi, khususnya pejabat di daerah, diambil dari keluarga penguasa lokal dan kadangkala bersifat turun-temurun.

Walaupun begitu, keluarga priyayi setempat ini sering dicurigai oleh raja sebagai sumber pemberontakan, sehingga mereka biasanya diharuskan mengirimkan anak-anak mereka ke istana sebagai “sandera”. Elite politik semacam priyayi di Jawa, di kesultanan maritim seperti Aceh, Makassar, dan lain-lain disebut orang kaya (orang jaya/penggede di Jawa). Kedudukan orang kaya sebagai penguasa, bukan birokrat, lebih jelas sebab mereka otonom terhadap sultan maupun terhadap sesama. Sultan di kerajaan maritim tidak memiliki kekuasaan mutlak, sebab orang kaya yang dapat memilih dan memecat sultan.

Kekuasaan politik dan ekonomi VOC, khususnya di Jawa, muncul melalui kontrak dengan penguasa lokal di pesisiran maupun dengan Kerajaan Mataram di pusat. Bila VOC menghadapi situasi di mana ia tidak dapat berkuasa melalui kontrak maka dia akan menggunakan kekuasaan, seperti yang dilakukan di Kepulauan Banda. Di kepulauan ini, VOC membangun pemukiman bagi orang-orang merdeka “bekas pegawai VOC”. Pada umumnya, VOC menggunakan struktur politik dan kekuasaan lokal, yang juga mendapat keuntungan ekonomis dari kehadiran VOC. Aparatur VOC sendiri pada awalnya cukup efektif, namun sebagaimana semua aparatur di Eropa zaman itu, belum modern dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai birokrasi.

Pegawai VOC digaji sangat kecil sehingga banyak dari mereka yang melakukan korupsi. Mereka tidak lagi berdagang demi majikannya, yakni VOC, tetapi demi kepentingan diri sendiri dengan memanfaatkan modal dan kontak-kontak VOC. Makin lama VOC makin miskin, sedangkan para pejabatnya makin kaya. Kapal-kapal VOC yang kembali ke Negeri Belanda tidak memuat barang dagangan VOC melainkan barang pribadi para pejabatnya. Pimpinan VOC di Negeri Belanda sendiri insyaf akan hal ihwal ini, tetapi tidak dapat dan tidak mau memberangusnya karena terdapat kepentingan yang berkelindan.

Kerugian yang diderita coba dikurangi dengan menjual pelbagai jabatan paling empuk di VOC. Jual-beli jabatan ini, yang dalam bahasa Inggris disebut venality of office (memperoleh jabatan karena korupsi), membuat seorang pejabat harus korupsi untuk mengganti uang yang digunakan untuk membeli jabatan. Raja-raja Jawa sendiri juga menjual jabatan pada zaman yang sama. Jual-beli jabatan ini agaknya merupakan sesuatu yang agak umum waktu itu dalam aparatur tradisional.

Korupsi VOC itu berkaitan erat dengan makin korupnya elite politik di Negeri Belanda sendiri pada abad ke-18. Kebobrokan ini yang biasa disebut sebagai ancienme regime (rezim lama), menimbulkan akibat seperti di Prancis, yakni makin hilangnya dukungan pada rezim tersebut dan menyebarnya ide-ide Revolusi Prancis.

Arkian, dengan dukungan rakyat Belanda sendiri, tentara revolusioner Prancis ‘membebaskan’ rakyat dari rezim lama (1798). Salah satu pendukung utama revolusi itu adalah Marsekal Herman Willem Daendels, yang dikirim ke Hindia pasca semua koloni VOC dialihkan kepada Pemerintah Belanda.

Daendels melahirkan konsep negara modern yang pertama di Indonesia, dengan birokrasi yang rasional, seperti yang saya uraikan di atas. Para bupati dinyatakan di atas kertas sebagai pegawai Belanda serta menjabat volkshoofden, pemimpin rakyat, adat, dan agama. Prinsip yang terakhir ini agak bertentangan dengan konsep birokrasi modern seperti yang akan kita lihat nanti. Aparatur Pemerintah Hindia-Belanda sendiri, yang kelak terkenal sebagai Binnenlandsch Bestuur (BB), sering disebut sebagai contoh klasik dari birokrasi modern. Birokrasi ini cukup efisien dan bersih.

Yang mengherankan, BB ini berasal dari aparatur VOC yang korup tetapi dapat ditransformasi menjadi sesuatu yang modern dan nonkorup. Beberapa hal yang mendukungnya, seperti perbaikan gaji, pendidikan, pembagian tugas yang jelas, tanggung jawab, dan juga l’esprit de corps (semangat sejabatan/senasib/sependidikan). Tentu semua ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses yang sudah dimulai sejak 1861, ketika cultuurprocenten, hadiah karena produksi hasil ekspor Tanam Paksa meningkat, dihapus bagi BB tapi tetap dipertahankan bagi aparatur bumiputra sampai tahun 1870.

Pemerintah Hindia-Belanda terkenal memakai dual system pemerintahan, yakni BB dan kaum priyayi, penguasa lokal dengan struktur pemerintahan yang disusun oleh Belanda. Sering sistem pemerintahan kolonial ini disebut indirect rule, pemerintahan melalui perantaraan penguasa bumiputra, yang disebut pangreh praja. Pangreh praja ini bukan merupakan korps pegawai yang seragam, tetapi terdiri dari penguasa lokal yang sejak abad ke-19 (1830) disusun oleh Hindia-Belanda.

Dipertahankannya para penguasa bumiputra oleh Hindia Belanda, bukan hanya sekadar pertimbangan historis, yakni aliansi priyayi dengan VOC, namun juga karena manfaat yang bisa diambil dari kaum priyayi. Di masa pemerintahan Hindia-Belanda, kaum priyayi sangat dibutuhkan demi menggenjot hasil agraria ekspor seperti gula, kopi, teh, dan lain-lain. Gubernur Jenderal Van den Bosch (1830-1832), orang yang menciptakan sistem Tanam Paksa dan “membangun” Hindia-Belanda pasca Perang Diponegoro (1825-1830), melihat rakyat rupanya lebih taat kepada penguasa lokal daripada penguasa Belanda.

Selain itu, ada juga pertimbangan penghematan. Bisa dibayangkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan bila setiap tenaga harus diimpor dari Negeri Belanda, padahal wilayah Hindia-Belanda sangatlah luas. Untuk itulah kedudukan elite priyayi diperkokoh secara politis dan dinyatakan turun-temurun. Pendek kata, biarpun tidak selalu dipegang teguh, prinsip turun-temurun ini adalah ciptaan kolonial dan dimaksudkan untuk memperkuat aliansi. Hindia-Belanda sebagai suatu lembaga pemerintahan jauh lebih kuat daripada raja atau sultan, sehingga ia dapat memperkuat elite daerah untuk memenuhi tujuannya sendiri.

Gaji seorang bupati sampai 1860-an, misalnya, sekitar f500 sebulan dan dinaikkan lagi menjadi f1.500 atau lebih sedikit, kira-kira sama dengan gaji seorang residen. Gaji f500 memang sangat kecil untuk menutupi kebutuhan seorang bupati, sehingga boleh disebut hanya sekadar bantuan keuangan belaka; penghasilan yang lain harus dicari dari upeti, cultuurprocenten, dan lain-lain.

Gaya hidup bupati pada abad ke-19 memang seperti seorang sultan kecil, dengan pengawal berkuda berseragam sulaman emas, perangkat gamelan, penari, kediaman yang besar, dan lain-lain. Ini belum termasuk jamuan makan yang harus diselenggarakan untuk para pembesar Belanda, kapitan Cina, Arab, selamatan ini-itu seperti Garebeg Ramadhan, dan sebagainya. Keluarga besar bupati, pengikut, para istri, dan lain-lain, juga harus diberi hidup yang layak.

Kalakian, tatkala sistem Tanam Paksa berakhir kedudukan priyayi lebih dapat dikontrol, sebab fungsinya sebagai pengatur produksi agraria telah paripurna. Bupati mulai digaji tinggi dan gaji pangreh praja lainnya dinaikkan, sementara eksploitasi dan korupsi diawasi lebih ketat. Yang disebut terakhir merupakan usaha yang dilakukan terus-menerus sampai zaman kolonial berakhir. Melihat sejarah birokrasi di atas, maka pegawai negeri sipil (PNS) Indonesia kiwari, biarpun dari sudut kebangsaan berasal dari pangreh praja atau Inlandsch Bestuur, tetapi sebagai lembaga berasal dari BB.

 

Muhammad Iqbal

Sejarawan IAIN Palangka Raya. Menulis tiga buku: Tahun-Tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021), dan Bermula dari Cerita Abah: Pemikiran Islam, Politik Islam, dan Islam Tradisi (Yogyakarta: Tanda Baca, Mei 2022).

*Artikel ini telah tayang di Arina.Id. Jika ingin baca aslinya, klik tautan ini: https://arina.id/perspektif/ar-UZtXA/voc-dan-asal-usul-birokrasi-indonesia–hitam-putihnya-yang-diwariskan

1493 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Featured

Shin Tae Yong: Sudah Pergi Tapi Akan Selalu di Hati Rakyat NKRI

3 Mins read
Pemecatan Shin Tae-Yong sebagai pelatih Skuad Garuda Indonesia, menggema di jagat virtual. Pro dan kontra di media sosial tidak terbendung lagi. Tentu…
Featured

Menelisik Tantangan Kesehatan Mental Generasi Muda di Indonesia

2 Mins read
“Kesehatan Mental” rasa-rasanya bukan lagi topik yang asing di kalangan masyarakat, terutama generasi muda masa kini. Sebagian besar anak muda mungkin telah…
Featured

Ulama Arab Kagum Pada Indonesia, Kok Bisa? Ini Alasannya

5 Mins read
“Pendidikan Islam di Indonesia mampu menjadikan anak  berakhlak mulia, tercermin dari sikap tawadlu dan rasa hormatnya kepada orang tua dan guru-guru mereka”,…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.