Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (Romo Mangun) dalam buku berjudul “Federalisme untuk Indonesia”, pernah memberikan target Republik Indonesia Serikat (RIS) berdiri paling lambat tahun 2045. Romo Mangun adalah salah satu sosok yang optimis dalam memandang masa depan Indonesia federal.
Sepanjang sejarah bangsa Indonesia berdiri, wacana tentang bentuk negara federal sebetulnya sudah sering mengemuka. Mulai dari Muhammad Hatta pada masa perjuangan kemerdekaan hingga Amien Rais pada masa reformasi. Akhir-akhir ini pun rakyat Papua menuntut penerapan bentuk negara federal (bahkan di titik ekstrem sampai pada keinginan untuk memisahkan diri dari negara Indonesia).
Federalisme seringkali mengemuka akibat ketidakpuasan daerah karena tidak adanya pemerataan kesejahteraan dan distribusi ekonomi yang timpang antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, serta antar pemerintahan daerah.
Menuju 25 tahun reformasi, kiranya perlu untuk merefleksikan kembali relevansi dan visibilitas penerapan federalisme di Indonesia dengan melihat realitas hukum dan politik negara pada saat ini.
Konseptualisasi Federalisme dan Kesatuan
Indonesia pernah menjalankan konsep federalisme pada tahun 1949-1950 (relatif berjalan 8 bulan). Namun, dalam perkembangannya hingga kini konsep negara kesatuan dominan digunakan sebagai kerangka bernegara.
Secara sederhana, federalisme dan kesatuan (unitary) sebetulnya merupakan konsep yang berawal dari dua dimensi yang berbeda. Federalisme berangkat dari konsep distribusi kekuasaan antar pemerintahan negara independen yang kemudian menyerahkan sebagian kekuasaannya pada pemerintahan negara federal (bottom-up). Sedangkan kesatuan berangkat dari dimensi distribusi kekuasaan oleh pemerintahan pusat yang menyerahkan sebagian kekuasaannya pada pemerintahan daerah (top-down).
Idealnya dalam federalisme, hubungan antara negara bagian dan negara federal adalah koordinatif (sejajar). Sedangkan dalam negara kesatuan, hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah adalah subordinatif (hierarkis).
Contoh paling baik dan populer untuk negara federal adalah Amerika Serikat. Sebelum menjadi sekarang, dahulu koloni-koloni Inggris sepakat untuk menggabungkan diri dan membentuk perserikatan/federasi yang sekarang disebut United States of America (USA). Untuk contoh negara kesatuan adalah Indonesia sendiri, dimana sebagai satu kesatuan bangsa yang merdeka dan atas kekuasaannya memberikan sebagian kewenangannya kepada daerah-daerah (desentralisasi).
Konsep tersebut merupakan konsep awal dan kini cenderung usang. Dewasa kini, bentuk negara federal atau kesatuan tidak lebih dari sebuah kemasan (package) semata. Pasalnya, banyak negara federal yang secara substansi tidak ada bedanya dengan substansi negara kesatuan, dan begitu pula sebaliknya.
Problem dalam sebuah negara bukan lagi bentuknya, tapi bagaimana sebuah kekuasaan dalam suatu negara tersebut didistribusikan dengan baik. Malaysia misalnya sebagai negara yang berbentuk federal, namun secara praktik cenderung unitary state karena kekuasaan pusat terlalu kuat dibandingkan negara bagiannya.
Contoh kasusnya pada tahun 1995, negara bagian Kelantan yang saat itu dikuasai oleh Partai Islam Se-Malaysia (PAS) menyepakati undang-undang syariat bagi wilayah tersebut. Namun, undang-undang tersebut dinyatakan batal karena menyalahi undang-undang perserikatan di Malaysia (Pusat).
Lebih ekstremnya lagi, pada saat itu Dr. Mahathir dianggap sangat berkuasa karena selain sebagai Perdana Menteri, beliau juga merangkat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan.
Atau misalnya dalam praktik negara kesatuan yang cenderung (bernafaskan) federalistik di Indonesia, pada periode pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daeah. Tingginya euphoria reformasi dan tuntuttan untuk mengadakan otonomi daerah seluas-luasnya, berakibat pada meledaknya jumlah penerbitan Peraturan Daerah (Perda) di Indonesia. Pemerintahan Daerah secara serampangan menerbitkan banyak Perda yang mengatur mengenai berbagai hal dan berakibat pada terjadinya Hyper Regulations, tumpang tindih peraturan, dan problem regulasi lainnya yang hingga kini masih kita rasakan dampaknya.
Artinya, sebetulnya bentuk negara kesatuan maupun negara federal adalah konsep yang relatif. Bisa saja suatu negara mengklaim berbentuk kesatuan namun secara praktik memiliki muatan federalistik. Jika meminjam istilah yang digunakan Miriam Budiarjo, perbedaan antara negara federal dan negara kesatuan yang desentralistik hanya bersifat (nisbi).
Realitas Hukum dan Politik
Secara hukum ketatanegaraan, Pasal 1 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Selanjutnya dalam Bab XVI mengenai Perubahan Undang-Undang Dasar, Pasal 37 Ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa, “Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.”
Tidak dimungkinkan sama sekali perubahan bentuk negara jika mengacu pada konstitusi kita saat ini. Artinya jika ingin mengubah bentuk negara, maka negara Indonesia yang berdasarkan konstitusi UUD NRI Tahun 1945 harus dibubarkan. Barulah kemudian dapat membentuk kembali sebuah negara yang berbentuk federalisme dengan konstitusi baru.
Secara politik pun sulit untuk mencari celah kemungkinan diwujudkannya federalisme. Rezim kekuasaan saat ini memiliki kecenderungan sentralistik. Hal ini dapat dibuktikan dengan dominasi partai politik yang menguasai lembaga legislatif dan eksekutif di pusat. Belum lagi jika kita menengok pada dominasi partai politik di daerah.
Kecenderungan sentralisasi kekuasaan pun secara lebih konkrit dapat kita lihat pada saat diundangkannya Undang-Undang omor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang bermuatan politik sentralistik. Walaupun pada akhirnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 109/PUU-XVIII/2020, namun materi muatan UU Cipta Kerja kembali diberlakukan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja).
Kecenderungan sentralisasi kekuasaan dapat kita lihat pada pasal-pasal yang ada pada Perppu Cipta Kerja. Pasal 181 Perppu Cipta Kerja misalnya, mengatur mengenai mekanisme harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (termasuk Perda). Singkatnya mekanisme ini berpotensi memberikan kewenangan eksekutif (Presiden) untuk melakukan pengujian, termasuk membatalkan suatu Perda.
Padahal kewenangan melakukan pengujian terhadap Perda, sudah secara implisit disebut dalam Pasal 24A UUD NRI Tahun 1945 menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA). Hal tersebut dipertegas dengan adanya Putusan MK Nomor 137/PUU-XII/2015 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XVI/2016, yang menyatakan bahwa kewenangan pengujian Perda oleh eksekutif adalah inkonstitusional.
Konsep federalisme sebetulnya sudah tidak relevan lagi diterapkan di Indonesia, setidaknya sampai tulisan ini dibuat. Selain daripada perbedaan konsep antara negara federal dan kesatuan desentralistik yang nyaris hilang, kenyataan hukum dan politik pun tidak memungkinkan atau visibel untuk mewujudkan RIS.