Sekian hari lalu, keluarga WR Supratman memberi keterangan di hadapan para wartawan. Ikhtiar menjelaskan kebenaran dan meralat salah telah terjadi lama. Perkara penting mengenai tempat dan tanggal kelahiran. Pihak keluarga memberi keterangan: WR Supratman lahir di Jatinegara, 9 Maret 1903. Publik telanjur mengetahui tanggal kelahiran di Purworejo, 19 Maret 1903. Keluarga pun memastikan tanggal kematian: 17 Agustus 1938. Ingatan sejarah Indonesia tak lengkap tanpa lagu.
Pada masa lalu, lagu turut menentukan suka-duka Indonesia. Di muka rumah Soekarno-Fatmawati, orang-orang mengikuti pengibaran bendera merah-putih dan terdengarlah lagu Indonesia Raya gubahan WR Supratman (1903-1938). Fatmawati dalam buku berjudul Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1983) mengenang: “Aku bersama-sama dengan SK Trimurti menuju ke tiang bendera. Upacara bendera dipimpin oleh Pak Latief dengan diiringi lagu Indonesia Raya tanpa musik. Semua tertib dan khusuk.” Lagu mula-mula tenar berlatar 1928.
Lagu terus bermakna dalam arus sejarah Indonesia. Orang-orang bersenandung sampai sekarang meski jarang mengenali dan mengenang sang komponis. Di sekolah, ikhtiar mengenalkan (biografi) tokoh bukan kewajiban. Gambar atau foto dipajang di dinding atau buku pelajaran dianggap mencukupi. Murid-murid kadang gagal mengetahui kepanjangan WR. Mereka pun tak mengingat lagu-lagu lain gubahan sang komponis. Kita sekadar mengetahui berita-berita mengenai kirab bendera dan teks proklamasi.
Berita-berita bertema lagu atau WR Soepratman tak ikut membesar menjelang peringatan sejarah. Kita masih mungkin mengenali dan menghormati tokoh melalui dua buku garapan Soebagijo IN. Pada 1952, terbit buku berbahasa Jawa dengan judul Wage Rudolf Supratman. Buku disusun saat Soebagijo IN menekuni pers dan sastra.
Buku tipis terbitan Panjebar Semangat, penerbit membawa seruan keaksaraan dari Soetomo. Ia mengisahkan pemicu WR Supratman menggubah lagu kebangsaan: “Bab anggone nganggit lagu mau, ing sekawit Supratman rumangsa ketarik atine rikala matja salah sidjine artikel tjekak sing diemot ana ing kalawarti Timboel kang metu ing Sala.”
Di situ, ia menjawab tantangan tentang “lagu bisa nggugah semangate rakjat.” WR Supratman berhasil menggubah Indonesia Raya dengan beragam pengaruh dari sumber-sumber musik digeluti sejak remaja. Kehadiran lagu dibarengi ketekunan WR Supratman dalam kerja jurnalistik. Kita mengingat sosok di jalan musik dan pers masuk dalam pergerakan politik kebangsaan. Ia belum rampung dalam persembahan lagu.
Di kesusastraan Indonesia, ia tercatat sebagai penggubah novel. Soebagijo IN dalam buku berjudul Tragedi Kehidupan Seorang Komponis: Biografi Wage Rudolf Supratman (1985) mengisahkan WR Supratman keranjingan menulis berita. Gaji diperoleh dari Sin Po disimpan untuk maksud penerbitan roman.
Kita mengutip bujukan Saeroen agar WR Soepratman menulis cerita: “Buku roman yang hebat! Buku yang dapat membuat sidang pembacanya tergiur. Roman yang sensasional, yang mempesona, yang dapat membuat sidang pembacanya geregetan.” Hari demi hari, WR Supratman menggubah cerita: “… mengisahkan seorang gadis desa yang menjadi korban keadaan.
Dia menjadi korban tatanan masyarakat yang ada, yaitu masyarakat kolonial. Masyarakat tempatnya ‘manusia mengeksploatir sesama manusia’. Manusia kapitalis-imperialis pemeras tenaga rakyat kebanyakan. Kaum borjuis dengan mengandalkan harta kekayaannya bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakat sekelilingnya yang sebagian besar adalah kaum tak berpunya.” Roman diberi judul Perawan Desa.
Pada masa 1920-an, kita mengenang WR Supratman dengan lagu dan buku. WR Supratman berhasil tampil sebagai pencerita. Buku itu terbit bermasalah. Penjelasan diberikan Soebagijo IN mengenai pelarangan pemerintah kolonial: “Alasan yang dikemukakan pihak penguasa ialah buku Perawan Desa dianggap membahayakan ketenteraman umum dan mengandung unsur-unsur yang dapat menimbulkan kebencian kepada salah satu golongan.” Di catatan Soebagijo IN, WR Supratman mengeluarkan duit 150 gulden untuk menerbitkan buku. Nasib tak untung.
Pada masa lalu, ia masih memiliki kebahagian dan kehormatan dengan lagu-lagu diterima dan diedarkan dalam arus pergerakan politik Indonesia. Ia diakui sebagai komponis mengerti derita kaum terjajah dan perlawanan. Nasib berbeda dalam sastra. Kemonceran dalam menggubah lagu pun mengakibatkan pengetahuan publik mengenai kemahiran mengarang cerita mudah terlupa. Puluhan tahun berlalu, novel itu “menghilang”.
Pada abad XXI, novel dicetak lagi oleh Sinar Hidup (Semarang) dan Buku Katta (Solo). Kita beruntung mendapat pengisahan dan penjelasan dari buku-buku garapan Soebagijo IN. Sejak puluhan tahun lalu, Soebagijo IN mumpuni dalam membuat buku-buku biografi. Dua buku mengenai WR Supratman membuktikan kepekaan sejarah, selera jurnalistik, dan kemahiran mengolah rangsang sastra dalam buku biografi. Kita memang mengenang WR Supratman sebagi penggubah lagu Indonesia Raya terdengar di seantero Indonesia setiap peringatan Hari Kemerdekaan.
Penghormatan mengikutkan peran Soebagijo IN dalam menghadirkan biografi mengesankan saat para pembaca mengetahui babak-babak kehidupan komponis, jurnalis, dan pengarang. Agustus, bulan meriah demi peringatan Hari Kemerdekaan. Kita ingin mengenang 1938 dulu. Tahun itu duka. WR Soepratman wafat, mewariskan lagu bermakna besar dalam kemerdekaan. Penulisan waktu mendapat koreksi dari Soebagijo IN: “Menurut catatan keluarganya, Supratman meninggal dunia pada Rebo Wage, 17 Agustus 1938, jam 01:00, yang menurut lazimnya sudah masuk hari/tanggal 18 Agustus 1938″ Kita tetap mengingat sejarah dengan beragam acara selama Agustus.
Di IKN dan pelbagai tempat, peringatan tampak megah dan ramai. Kita mungkin berhak membuat peringatan kematian (1938), tak sekadar kemerdekaan (1945). Pada setiap 17 atau 18 Agustus, kita boleh “berziarah” dengan lagu dan buku merujuk WR Supratman. Begitu.