Telaah

Kesetaraan dalam Hukum Tak Selalu Membutuhkan Kesamaan

2 Mins read

Dalam diskursus kontemporer mengenai kesetaraan gender, terdapat paradigma yang sering kali menyamakan konsep kesetaraan dengan kesamaan absolut dalam segala aspek. Namun, pendekatan ini dapat mengabaikan kompleksitas realitas sosial dan kebutuhan yang berbeda antara gender. Artikel ini mengajukan argumen bahwa kesetaraan substantif dalam hukum dan kebijakan publik tidak selalu memerlukan perlakuan yang identik, melainkan membutuhkan pendekatan yang lebih nuansa dan kontekstual.

Kesetaraan gender dalam konteks hukum dan kebijakan publik seharusnya bertujuan untuk mencapai keadilan dan kesempatan yang setara, bukan semata-mata keseragaman perlakuan.

Pendekatan ini mengakui bahwa laki-laki dan perempuan mungkin memiliki kebutuhan dan pengalaman yang berbeda, yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan dan implementasi hukum. Misalnya, dalam konteks hak reproduksi dan kesehatan, perempuan memiliki kebutuhan spesifik yang berbeda dari laki-laki, yang memerlukan perlindungan hukum dan kebijakan yang khusus.

Dalam ranah politik dan partisipasi publik, konsep kesetaraan yang substantif mungkin memerlukan tindakan afirmatif atau kebijakan kuota untuk mengatasi ketidaksetaraan historis dan struktural. Meskipun tindakan ini dapat dianggap sebagai ā€œperlakuan berbedaā€, tujuannya adalah untuk mencapai hasil yang lebih setara dalam jangka panjang. Pendekatan ini mengakui bahwa kesetaraan formal saja tidak cukup untuk mengatasi ketidaksetaraan yang telah mengakar dalam struktur sosial dan institusional.

Dalam konteks kewajiban hukum, penting untuk mempertimbangkan bagaimana norma dan ekspektasi gender yang berbeda dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk memenuhi kewajiban tersebut. Misalnya, dalam hukum keluarga, konsep ā€œpemberi nafkah utamaā€ mungkin perlu ditinjau ulang untuk mencerminkan realitas kontemporer di mana banyak rumah tangga memiliki penghasilan ganda. Kesetaraan dalam hal ini mungkin berarti pengakuan yang setara terhadap kontribusi ekonomi dan non-ekonomi dalam rumah tangga, bukan pembagian peran yang kaku berdasarkan gender.

Paradigma kesetaraan yang lebih nuansa ini juga relevan dalam diskursus tentang hak-hak kelompok marginal lainnya, seperti komunitas LGBTQ+ atau individu dengan disabilitas. Pendekatan ā€œone-size-fits-allā€ dalam hukum dan kebijakan publik sering kali gagal untuk memenuhi kebutuhan spesifik kelompok-kelompok ini, yang mungkin memerlukan perlindungan atau akomodasi khusus untuk mencapai kesetaraan substantif.

Kesimpulannya, kesetaraan dalam hukum dan kebijakan publik seharusnya dipahami sebagai upaya untuk mencapai keadilan dan kesempatan yang setara, bukan semata-mata keseragaman perlakuan. Pendekatan ini memerlukan analisis yang cermat terhadap konteks sosial, budaya, dan ekonomi, serta pemahaman yang mendalam tentang bagaimana ketidaksetaraan gender dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya beroperasi dalam masyarakat.

Dengan demikian, diskursus publik mengenai kesetaraan gender perlu bergeser dari fokus sempit pada kesamaan formal menuju pemahaman yang lebih komprehensif tentang kesetaraan substantif. Hal ini melibatkan pengakuan terhadap perbedaan dan keragaman pengalaman manusia, sambil tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip keadilan dan non-diskriminasi.

Pendekatan paradigmatik ini mengundang para pembuat kebijakan, akademisi, dan aktivis untuk mengevaluasi kembali asumsi-asumsi yang mendasari konsep kesetaraan dalam hukum dan kebijakan publik. Ini mungkin melibatkan pengembangan metode analisis gender yang lebih canggih dalam proses legislasi dan perumusan kebijakan, serta peningkatan partisipasi dan representasi beragam suara dalam diskursus publik.

Tantangan ke depan adalah bagaimana menyeimbangkan kebutuhan akan kerangka hukum yang konsisten dan universal dengan pengakuan terhadap keragaman dan kompleksitas pengalaman manusia. Ini mungkin memerlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif dalam hukum dan kebijakan, yang dapat merespons perubahan sosial dan kebutuhan yang berkembang tanpa mengorbankan prinsip-prinsip fundamental keadilan dan kesetaraan.

Akhirnya, penting untuk diingat bahwa diskursus tentang kesetaraanĀ genderĀ bukanlah tentang menciptakan keuntungan bagi satu kelompok atas yang lain, melainkan tentang membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif bagi semua. Dengan memahami bahwa kesetaraan tidak selalu berarti kesamaan, kita dapat bergerak menuju paradigma yang lebih nuansa dan efektif dalam mempromosikan keadilan gender dan sosial secara lebih luas.

 

 

Ahmad Wansa Al-Faiz

Lahir Tanjung Karang 07 April 1984 sempat nyantri di Pesantren La-tansa (tidak selesai) pernah berkuliah di Ciputat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
1526 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Telaah

Pecat Shin Tae-Yong Saat Dia Membuka Jalan ke Piala Dunia, Kok Bisa?

3 Mins read
Shin Tae-yong adalah pelatih asal Korea Selatan yang dikenal karena kepemimpinannya dalam tim nasional sepak bola Indonesia. Ia mulai menjabat sebagai pelatih…
Telaah

Menelanjangi Kepalsuan dan Kebobrokan Khilafah HTI, Sang Manipulator Syariat

3 Mins read
Dalam perjalanan panjang sejarah umat Islam, perdebatan mengenai konsep khilafah tidak pernah surut. Namun, di tengah dinamika keilmuan yang terus berkembang, Hizbut…
Telaah

ASEAN dan Tantangan Geopolitik Global di 2025

2 Mins read
Tahun 2025 menandai babak baru bagi ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) dalam konstelasi geopolitik global. Dengan posisi strategis di persimpangan Samudera…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.