Dalam perjalanan panjang sejarah umat Islam, perdebatan mengenai konsep khilafah tidak pernah surut. Namun, di tengah dinamika keilmuan yang terus berkembang, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) justru hadir dengan tafsir yang parsial, manipulatif, dan jauh dari konteks keindonesiaan.
Melalui pendekatan tematik-hermeneutik, Makmun Rasyid dalam karya monumentalnya berhasil menelanjangi kepalsuan dan kebobrokan gagasan khilafah HTI, membuktikan bahwa ideologi transnasional tersebut lebih sebagai manipulasi syariat daripada solusi substantif bagi umat Islam.
HTI seringkali menggunakan dalil-dalil normatif dari al-Qur’an untuk melegitimasi klaim mereka tentang perlunya pendirian negara Islam. Ayat-ayat seperti Qs. al-Ma’idah/5:48-49 dan Qs. al-Baqarah/2:30 dimaknai secara sepihak untuk mendukung institusi khilafah Islamiyah.
Namun, penafsiran ini, sebagaimana diungkapkan oleh Makmun, hanya berujung pada kesimpulan ambigu yang jauh dari substansi teks al-Qur’an itu sendiri. Kata “hakama” atau “fahkum”, misalnya, dipaksakan untuk berarti sistem khilafah, sementara konteks historis maupun linguistiknya sama sekali tidak mendukung interpretasi tersebut. HTI tidak hanya gagal memahami makna ayat secara utuh, tetapi juga menunjukkan tendensi politis yang berbahaya dengan menggiring pemahaman masyarakat kepada agenda mereka.
Lebih jauh lagi, HTI juga menunjukkan kegagalan fatal dalam memahami definisi, konsep, dan historisitas khilafah itu sendiri. Makmun dengan cermat menguraikan bahwa khilafah dalam al-Qur’an tidak pernah ditujukan sebagai konsep pemerintahan universal sebagaimana yang diklaim HTI. Konsep khalifah dalam Qs. al-Baqarah/2:30, misalnya, mengacu pada peran manusia sebagai wakil Allah di bumi, bukan sebagai entitas politik tunggal.
Begitu pula dalam Qs. al-Nisa’/4:59, tidak ada indikasi kuat bahwa ayat tersebut mengharuskan keberadaan sistem khilafah sebagai institusi formal. HTI, melalui tafsir parsial mereka, hanya mencoba menaikkan posisi tawar gagasan mereka dengan cara yang tidak ilmiah dan manipulatif.
Kegagalan HTI dalam memahami konteks juga menjadi sorotan penting. Dalam konteks keindonesiaan, transformasi makna ulil amri dalam Qs. al-Nisa’/4:59 sebagai pemimpin muslim yang wajib menjalankan syariat Islam justru bertentangan dengan realitas sosial Indonesia. Negara ini berdiri di atas landasan Pancasila, yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan keberagaman budaya dan agama. Mengaitkan ulil amri dengan sistem khilafah Islamiyah bukan hanya tidak relevan, tetapi juga berpotensi menghancurkan unifikasi bangsa. Kepemimpinan dalam Islam, sebagaimana dijelaskan oleh Makmun, lebih dititikberatkan pada kapabilitas dan kemampuan pemimpin untuk mengayomi rakyatnya, bukan sekadar pada identitas agamanya.
Selain itu, HTI terjebak dalam pendekatan legalistik-formalistik yang dangkal. Mereka mengabaikan maqashid al-syariah – tujuan-tujuan syariat yang menitikberatkan pada kemaslahatan umat. HTI lebih memilih mengejar formalisasi sistem khilafah tanpa mempertimbangkan implikasi nyata bagi masyarakat.
Dalam hal ini, pendekatan tematik-hermeneutik yang digunakan Makmun Rasyid menjadi angin segar. Dengan menggabungkan analisis tematik dan hermeneutika sosio-historis ala Fazlur Rahman, Makmun berhasil menunjukkan bahwa dalil-dalil HTI tidak hanya keliru secara teologis, tetapi juga lemah secara historis dan kontekstual.
Kritik Makmun tidak hanya berhenti pada level ilmiah. Ia juga menyadari bahwa politisasi tafsir al-Qur’an oleh HTI memiliki implikasi besar bagi stabilitas Indonesia. Ketika tafsir al-Qur’an dipaksakan untuk mendukung agenda politik tertentu, maka yang terjadi adalah pengabaian terhadap keragaman makna yang seharusnya menjadi kekayaan umat Islam.
Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Ulinnuha dalam epilog buku ini, al-Qur’an sebagai teks otonom sering kali dimanfaatkan untuk melayani kepentingan politis, dan HTI adalah contoh nyata dari fenomena ini.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana ideologi khilafah HTI bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Indonesia bukanlah negara yang menganut sistem legalistik-formalistik, melainkan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman dan keadilan. Pancasila, sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, tidak bertentangan dengan Islam. Sebaliknya, ia sejalan dengan maqashid al-syariah, yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi semua rakyat tanpa memandang latar belakang agama.
Buku ini tidak hanya menyajikan kritik tajam terhadap HTI, tetapi juga memberikan solusi konkret. Makmun menekankan pentingnya mengedukasi masyarakat bahwa Islam dan Pancasila tidak berada dalam posisi yang saling bertentangan. Ia juga menyerukan perlunya kerjasama intensif dari semua kalangan untuk memperkuat ideologi Pancasila dan mencegah penyebaran ideologi transnasional yang mengancam keutuhan bangsa.
Dengan pendekatan yang ilmiah dan argumentasi yang kuat, buku ini menjadi rujukan penting bagi siapa saja yang ingin memahami bahaya ideologi khilafah HTI sekaligus memperkuat komitmen pada NKRI.
Pada akhirnya, karya Makmun Rasyid adalah tamparan keras bagi HTI dan siapa saja yang mencoba memanipulasi syariat Islam demi kepentingan politik. Dengan membongkar kepalsuan dan kebobrokan gagasan khilafah HTI, Makmun tidak hanya membela kebenaran ilmiah, tetapi juga memperjuangkan masa depan Indonesia yang harmonis, adil, dan sejahtera dalam bingkai Pancasila.