Sisingamangaraja XII, yang memiliki nama lengkap Patuan Bosar Sinambela ginoar Ompu Pulo Batu, lahir pada tanggal 18 Februari 1845 di wilayah Toba, Sumatra Utara. Ia adalah seorang raja dari dinasti Sisingamangaraja, yang telah memerintah selama beberapa generasi di kawasan Batak. Sebagai seorang pemimpin, ia dikenal tidak hanya sebagai raja tetapi juga sebagai imam bagi masyarakatnya, yang menjadikannya simbol kekuatan spiritual dan politik sekaligus.
Pada tahun 1876, Patuan Bosar Sinambela diangkat menjadi Sisingamangaraja XII, menggantikan ayahnya, Sisingamangaraja XI, yang bernama Raja Sohahuaon Sinambela. Sebagai seorang Singamangaraja, ia mengemban tanggung jawab besar untuk memimpin rakyatnya dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam menghadapi ancaman kolonialisme.
Pada masa itu, Belanda sedang memperluas kekuasaannya di wilayah Sumatra, setelah menandatangani Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824 yang membuka jalan bagi kolonial Belanda untuk menguasai seluruh Sumatra.
Kepemimpinan Sisingamangaraja XII bertepatan dengan era kebijakan “open door policy” Belanda, di mana kekuatan kolonial mencoba memaksakan monopoli perdagangan di wilayah tersebut. Namun, Raja Toba ini menolak tunduk pada perjanjian pendek (korte verklaring) yang ditawarkan oleh Belanda, sebuah tindakan yang memicu konflik berkepanjangan.
Pada tahun 1878, Belanda melancarkan serangan militer ke wilayah Toba setelah sebelumnya berhasil menginvasi Aceh. Penolakan Sisingamangaraja XII terhadap kolonialisasi ini semakin diperkuat oleh aliansinya dengan Kesultanan Aceh, yang memiliki tujuan serupa dalam melawan penjajahan.
Perlawanan terhadap Belanda dimulai dengan perang terbuka yang dikenal sebagai Perang Tapanuli. Pada tanggal 16 Februari 1878, Sisingamangaraja XII secara resmi menyatakan perang terhadap Belanda. Pasukan kolonial yang telah membangun benteng di Bahal Batu diserang, namun pertempuran sengit ini memaksa Raja Bangkara untuk meninggalkan pusat pemerintahannya di Bangkara pada Mei 1878. Meski demikian, semangat perjuangannya tidak pernah surut.
Ia terus memimpin perlawanan secara gerilya bersama para pengikutnya. Bahkan, pada tahun 1883 dan 1884, Sisingamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi kekuatan dan menyerang kedudukan Belanda di wilayah Uluan dan Balige.
Sebagai seorang pemimpin, Sisingamangaraja XII tidak hanya memimpin perang fisik tetapi juga mengandalkan simbolisme spiritual untuk mempersatukan rakyatnya. Piso Gaja Dompak, sebuah senjata pusaka yang diwariskan dari generasi ke generasi, menjadi lambang kekuatan dan keberanian yang ia bawa ke medan pertempuran. Namun, perlawanan yang panjang ini akhirnya berakhir tragis pada tanggal 17 Juni 1907, ketika pasukan Belanda, yang dipimpin oleh Hans Christoffel, berhasil menyergap Sisingamangaraja XII di kawasan Sungai Aek Sibulbulon, desa Si Onom Hudon.
Dalam pertempuran tersebut, Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya, Patuan Nagari Sinambela dan Patuan Anggi Sinambela, serta putrinya, Lopian br. Sinambela. Sebelum menghembuskan napas terakhir, ia tetap berpegang teguh pada identitasnya, mengucapkan, “Ahu Sisingamangaraja” (“Aku Sisingamangaraja”).
Setelah gugurnya Sisingamangaraja XII, pasukan Belanda mengarak jasadnya dan memakamkannya di Silindung. Namun, pada tahun 1953, makamnya dipindahkan ke Soposurung, Balige, sebagai bentuk penghormatan dari pemerintah Indonesia. Pengorbanannya yang besar dalam melawan penjajahan menjadikannya simbol perjuangan rakyat Indonesia. Pada tanggal 9 November 1961, pemerintah Republik Indonesia secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sisingamangaraja XII melalui Surat Keputusan Presiden No. 590/1961.
Dinasti Sisingamangaraja sendiri berakar dari keturunan Si Raja Oloan, yang merupakan nenek moyang bagi enam marga utama di Batak. Sisingamangaraja I, pendiri dinasti, adalah Raja Manghuntal Sinambela, yang menikahi boru Pasaribu. Dari garis keturunan ini, muncul sebelas generasi raja hingga akhirnya sampai pada Sisingamangaraja XII.
Dinasti ini dikenal sebagai dinasti yang memiliki hubungan erat dengan Raja Pagaruyung di Minangkabau, sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa nenek moyang Sisingamangaraja berasal dari pejabat yang ditunjuk oleh Raja Pagaruyung.
Warisan Sisingamangaraja XII tidak hanya berupa gelar kehormatan, tetapi juga inspirasi bagi generasi berikutnya. Sebilah pedang yang diduga miliknya kini disimpan di Nationaal Museum van Wereldculturen di Belanda sebagai bukti sejarah perjuangannya. Selain itu, nama Sisingamangaraja XII diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota di Indonesia. Tugu-tugu peringatan juga didirikan di beberapa daerah di Sumatra Utara, termasuk di Medan dan Parlilitan, untuk mengenang jasa-jasanya.
Perjuangan Sisingamangaraja XII mengingatkan kita akan pentingnya keberanian, keteguhan, dan pengorbanan dalam menghadapi ketidakadilan. Ia adalah simbol perlawanan melawan penjajahan yang terus hidup dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia.