Kemasyhuran jejak Kesultanan Banten bukanlah dongeng. Nama besarnya diperhitungkan sebagai salah satu kerajaan Islam di Nusantara. Pada masa keemasannya (abad 16-17), Banten disebut-sebut setara dengan Amsterdam Belanda. Banten tercatat sebagai pusat perdagangan dunia di kawasan Asia Tenggara, bahkan dunia.
Kebesaran Banten Lama tidak lepas dari kepiawaian manajemen Sultan Banten dibawah kepemimpinan Sultan Maulana Hasanuddin yang dilanjutkan Maulana Yusuf hingga masa Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan ini dikenal sebagai pemimpin yang visioner, progresif dan kosmopolis.
Kemasyhuran Banten tidak lepas keterbukaan Sultan dalam menggandeng penasihat-penasihat terbaik dari belahan negara lain. Yang mencolok penasehat dalam bidang ekonomi dan politik. Pada bidang ini, keberadaan orang-orang Tiongkok ikut memberi andil menjadikan Kesultanan Banten meraih kejayaan emasnya.
Tumbuhnya Banten sebagai bandar dagang, dibantu dua penasehat Tiongkok yang masuk Islam bernama Kyai Ngabehi Kaytsu. Kemudian digantikan Kiai Ngabehi Cakra Wardana. Keduanya berperan penting dalam membuka jalur perdagangan baru ke Laut China Selatan. Termasuk hubungan dengan Panglima Perang Dinasti Ming, Guoxing. Saat kapal panglima ini mendarat di Banten, para pekerja dan penduduk takjub melihat kemegahannya.
Pada dekade inilah, masa yang disebut masa keemasan Banten sebagai kota perdagangan yang disinggahi pedagang dan pelaut dari seluruh dunia. Bahkan termasuk kerajaan maritim dari Nusantara sendiri. Penduduknya yang masa itu mencapai 150 ribu jiwa, menjadikan Banten kota internasional yang setara Amsterdam, Roma, dan Seoul pada masa yang sama.
Selain dua penasehat dari Tiongkok, Sultan Ageng juga dibantu oleh orang Inggris, Denmark, dan Portugis dalam menjalankan pemerintahannya. Sementara Cakra Wardana mengurus pembangunan kota, merancang, dan mendirikan bangunan batu dan jembatan. Para penasihat dari Eropa membantu Sultan Ageng mengembangkan armada kapal dan melatih pasukan militer.
Mensinergikan Darat dan Laut
Pada eranya, kesultanan Banten berhasil mensinergikan potensi laut dan pertanian yang menghantarkan Banten sebagai pusat perdagangan dunia pada abad ke 16 sampai 17. Selama 150 tahun Banten berjaya, Banten menjadi simpul perdagangan yang berada di dua titik pertemuan jalur dagang. Dari barat melalui selat Malaka datang pedagang dari India. Sementara, dari timur datang China atau Tiongkok dan Jepang. Kesultanan Banten juga sangat diperhitungkan kerajaan-kerajaan Eropa, Asia lain dan Arab di Timur Tengah.
Bukti pusat perdagangan Banten terlihat dari misi dagang dari Perancis, Inggris, Belanda, dan Denmark yang membuka kantor dagang. Proses itu tidak lepas dari peran manajemen sosial, politik, dan ekonomi kepemimpinan Sultan Banten. Sultan mampu memahami dan menjaga stabilitas kawasan dan membuka perdagangan pasar bebas.
Keberhasilan Banten tidak lepas dari cara pandang Sultan yang terbuka terhadap dunia. Selain itu, kemampuannya dalam menyeimbangkan potensi laut dan daratan. Juga potensi yang alamiah dari tanahnya yang subur dengan kreativitas dalam mengelolanya.
Simbol terhadap pemaknaan itu terlukis secara tersurat dalam perkataan “Bangun Kuta Baluwarti, Bata Kalawan Kawis.” Pepatah dari Sultan Maulana Yusuf, yang juga mengingatkan kita, bahwa kesadaran kemajuan dapat bertumpu pada apa yang alami (kawis, batu karang) dan hasil kreativitas (batu bata).
Sementara di daerah pedalamannya para petani, mengembangkan produksi pertanian, lada, tebu, termasuk pertukangan, para pedagangnya melakukan proses transaksi dengan potensi laut sebagai penyambungnya. Hasilnya, membuat Banten tidak hanya menjadi lalu lalang dari tempat lainnya, tetapi juga saluran produksi dari pekarangannya sendiri.
Masa ini, laut dimaknai bukan sebagai pemisah antara daratan, tetapi sebagai penyambung hidup dari satu kawasan dengan kawasan lainnya. Budayawan Hilmar Farid menyebut, Banten seperti Ternate, Makassar, dan banyak kota pelabuhan lain di Nusantara, adalah kota internasional. Kota yang mampu menjadikan potensi daratan dan lautnya sebagai modal menggerakan kemajuan.
Menurutnya, kalau hanya seperti cerita film The Last Samurai karya Edward Zwick atau Anna and the King karya Andy Tennant, kita punya stok kisah yang berlimpah. Masalahnya, orang lain mampu mengangkatnya dalam bentuk kebudayaan populer, sementara kita, bukan terutama masalah modal, tenaga, dan teknologi, tetapi terutama masalah wawasan dan kebudayaan.
Ornamen Tiongkok Pada Bangunan
Budaya Tiongkok tersaji pada bangunan-bangunan bersejarah di Banten Lama. Masjid Agung Banten Lama adalah salah satu di antara bangunan bersejarah yang mencerminkan budaya Tiongkok.
Masjid bersejarah yang menjadi top of mind masyarakat tentang Banten ini, dibangun sejak masa Kesultanan pertama, yakni Sultan Maulana Hasanudin pada dekade 1560-an. Kemudian, dilanjutkan Sultan Maulana Yusuf.
Masjid merupakan hasil kepiawaian tangan seorang arsitek Tiongkok bernama Tjek Ban Tjut. Masjid didesain beratap lima lapisan limas yang menyerupai pagoda Tiongkok. Masjid yang konon salah satu yang tertua di Indonesia ini, dilengkapi paviliun di sisi selatan bangunan inti Masjid.
Kini, selain digunakan sebagai tempat ibadah, Masjid juga digunakan sebagai tempat peziarahan. Sebab, di Masjid Agung ini juga terdapat kompleks makam sultan-sultan Banten dan keluarganya. Antara lain, Sultan Maulana Hasanuddin dan isterinya, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar, dan Sultan Maulana Muhamad, dan Sultan Zainul Abidin.
Salah satu yang ikonik dari masjid adalah menaranya, yang kini juga dijadikan lambang Pemprov Banten. Menara itu sendiri dibangun oleh Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arsitek Belanda, yang digelari pangeran Wiraguna. Ia juga membangun bangunan khusus di sisi selatan, yang dulunya berfungsi sebagai tempat berdiskusi dan musyawarah.
Menara setinggi 24 meter itu, terletak di sisi timur. Biasanya Menara menjadi tempat atraksi favorit wisatawan yang berkunjung karena keunikan bangunannya. Untuk mencapai ujung menara, ada 83 buah anak tangga yang harus ditapaki dengan melewati lorong yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Jarak menara Masjid dengan laut yang berkisar 1,5 kilometer, memungkinkan para wisatawan yang berkunjung untuk menikmati eksotisnya pemandangan sekitar Masjid dan perairan lepas pantai dari ujung menara.
Jejak peninggalan kebudayaan Tiongkok di Banten juga terlukis pada bangunan Masjid Pacinan Tinggi. Masjid di pemukiman Cina atau tepatnya di Desa Banten, Kasemen, Kota Serang, yang dibangun pertama kali oleh Sultan Syarif Hidayatullah dan dilanjutkan oleh Sultan Maulana Hasanuddin tersebut, kini hanya tinggal puing-puing reruntuhannya. Dulu, tempat itu dikenal sebagai chinatown atau Kawasan orang-orang China.
Selain Masjid yang merupakan tempat ritual keagamaan dan pusat pendidikan Islam masa itu. Jejak kebudayaan Tiongkok lainnya, tersaji pada bangunan Vihara Avalokitesvara. Wihara ini konon dibangun sebagai bentuk penghargaan Kesultanan Banten terhadap orang-orang Tionghoa yang menetap di Banten dan jasa petinggi mereka terhadap kemajuan Kesultanan Banten.
Awal Kedatangan Orang Tiongkok
Rekam jejak sejarah kehadiran bangsa Tionghoa sudah berlangsung sejak permulaan abad, masa Kerajaan Banten Girang. Dalam dokumen pelayaran berjudul Shungfeng Xiangsong, pada medio 1500, yang ditulis Arkeolog Perancis Claude Guillot pada Buku Sejarah dan Peradaban Banten, sudah disebutkan kata Wan-tan dan Shunt’a untuk menyebut Banten atau Sunda. Masa itu, Kerajaan Banten Girang dikenal sebagai negara pesisir, yang menyandarkan perekonomiannya pada perdagangan lada.
Kerajaan ini disebut sudah menjalin hubungan dengan Tiongkok. Salah satu buktinya, banyak ditemukan keramik-keramik China dari berbagai Dinasti China pada abad 12-13 pada situs Eks Kerajaan Banten Girang. Bukti itu, kini disimpan di Museum Purbakala Banten Lama, Kasemen, Kota Serang.
Sejarawan Banten Mufti Ali Ali menyebut, kemungkinan orang-orang Tiongkok sudah hadir pada permulaan abad. Namun, dokumen resmi menyebut kehadiran mereka sekira abad 10. Terlebih, pada sekira abad 13-14, perekonomian Banten Girang dengan lada sebagai komoditas utamanya, mengalami perkembangan berkat digalakkan perdagangan dengan Tiongkok. Mufti Ali juga menyebut, sejak zaman Banten Girang, orang-orang Tiongkok sudah menjadi middleman (kelas menengah) yang mengumpulkan lada dari para petani.
Selain di Banten Girang, beberapa situs etnik Tionghoa banyak dijumpai hingga pelosok Banten. Menurutnya Mufti, kedatangan orang-orang Tionghoa didorong dengan motif perdagangan. Sebagai bangsa yang praktis dan ingin tetap survive di negeri perantauan, sebagian dari mereka juga mengembangkan pertanian. Dari proses itu, diduga mereka mulai menyebar hingga ke pelosok-pelosok Banten. Diantaranya, di daerah Pegunungan Cimuncang, Mandalawangi, Kaki Gunung Karang, Jiput, dan Carita. Di daerah itu banyak dijumpai warga yang secara fisik mirip dengan orang-orang Tiongkok.
Pada decade 1670-an, gelombang orang Tionghoa datang ke Banten juga semakin banyak. Terlebih ketika Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan Kaytsu dan Cakradana membangun tiga jalan, yang masing-masing dibangun dua puluh rumah berbahan bata dan toko-toko di kedua sisi jalan. Pembangunan sebanyak 120 rumah ini sengaja dilakukan untuk menyambut pendatang baru yang tidak saja dari dari Tiongkok, tetapi juga dari Batavia (sekarang Jakarta).
Selang tak lama, ketika perang melanda Fujian dan Cina Selatan, serta kekacauan di Pesisir Utara Jawa akibat pemberontakan Trunojoyo pada 1676, Banten menjadi tujuan persinggahan. Tidak hanya China dari Amoy Jawa Timur, juga dari Jawa Tengah. Diketahui ada lebih dari 1.000 orang Tionghoa yang mengungsi dan mendapat pekerjaan di Banten.
Fakta ini, menunjukkan bahwa Sultan bisa memberikan jaminan keamanan untuk hidup dan berdagang dan hidup di Banten secara aman dan nyaman. Tokoh masyarakat Banten Embay Mulya Syarief mengatakan, Banten adalah simbol toleransi peradaban. Dan, orang Banten adalah bukan hanya mereka yang lahir dan tinggal di Banten, melainkan juga mereka yang tidak lahir di Banten tetapi menjadi warga Banten dan memberi kebermanfaatan serta kemajuan bagi Banten