Kasus Awkarin yang sempat menjadi viral beberapa tahun silam karena menangis tersedu-sedu dan videonya diunggah di Youtube menjadikannya terkenal dalam waktu singkat.
Sekarang, kasus-kasus media sosial seperti ini nampaknya semakin menjamur di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi danInformatika, saat ini terdapat 63 juta orang di Indonesia yang menggunakan internet dan 90 persen penggunanya mengakses jejaring sosial.
Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa masyarakat Indonesia memiliki minat yang sangat tinggi dalam mengakses jejaring sosial, diantaranya seperti facebook, instagram, twitter, Vlog dan lainnya.
Dengan banyaknya pengguna internet di Indonesia dan juga yang mengakses jejaring sosial, maka secara otomatis banyak pula konten yang beragam juga muncul dan ditemukan di jejaring sosial.
Dari hasil survei yang dilakukan oleh lembaga PBB unutk anak-anak, UNICEF, Kemenkominfo dan Universitas Harvard ditemukan sebanyak 98 persen dari anak dan remaja mengaku tahu tentang internet dan 79,5 persen diantaranya adalah pengguna internet.
Disamping menunjukkan kemajuan teknologi informasi, hal ini juga sangat mengkhawatirkan, terutama bagi anak dan remaja yang masih bisa dikatakan “labil”. Mereka masih rentan dengan tren yang ada di sosial media dan memiliki kecenderungan mengikuti setiap tren yang ada tanpa mengetahui apakah hal tersebut buruk atau tidak. Sehingga, ditakutkan para remaja bisa menjadi “kebablasan” dalam bermedia sosial.
Banyaknya anak dan remaja yang masih di bawah umur tetapi dapat dengan bebas mengakses internet dan jejaring sosial sangat berbahaya. Banyak konten media yang mengandung hal-hal negatif seperti isu SARA, hoax dan lainnya.
Ada juga beberapa kasus yang melibatkan anak dan remaja diakibatkan oleh sosial media, salah satunya adalah remaja berinisial DB di Inggris yang mencoba bunuh diri karena tidak puas dengan kualitas swafoto miliknya yang sudah diunggah di sosial media. Dia menghabiskan waktu selama 10 jam setiap hari untuk mengambil 200 swafoto di iPhone miliknya.
Selanjutnya ada juga pelajar SMP berinisal MHB (17) yang diciduk satuan intel polresta Yogyakarta gara-gara postingan menghina kepolisian pada tahun 2017 silam, dan masih banyak lagi kasus lainnya yang diakibatkan oleh penggunaan jejaring sosial yang diluar batas atau “kebablasan”.
Baru-baru ini muncul kembali tren yang banyak digandrungi oleh anak dan remaja bahkan dewasa ialah Vlog (Video Logging) di mana para pengguna jejaring sosial dimungkinkan untuk membuat video dan dibagikannya disosial media.
Namun juga tak jarang banyak dari pengguna jejaring sosial yang membuat VLOG sebagai ajang untuk berlomba-lomba dan membuat konten video yang menarik agar dapat ditonton sebanyak mungkin oleh pengguna jejaring sosial lainnya.
Kreatifitas tersebut dapat dikatakan positif, dimana anak zaman now dapat mengembangkan kreatifitas yang mereka miliki. Sayangnya, dalam mendapatkan viewers, tidak sedikit dari anak dan remaja yang mengumbar hal-hal pribadi sebagai konsumsi publik, dan hal itu semata-mata hanya untuk popularitas.
Para anak dan remaja yang membagikan hal-hal privasi mereka dalam bentuk VLOG dan menjadikannya sebagai konsumsi publik tidak menyadari dampak negatif yang akan dan dapat ditimbulkan di kemudian hari.
Dampak negatif yang paling nyata ialah hilangnya ruang privasi dari setiap anak dan remaja. Mereka telah mengekspos informasi pribadi mereka sendiri tanpa menyadari hal yang telah mereka bagikan di sosial media. Hal ini akan semakin mempersempit ruang privasi yang mereka miliki.
Dampak negatif lainnya yang akan timbul adalah semakin terbukanya pengguna jejaring sosial lain untuk ikut mencampuri urusan pribadi yang mereka miliki. Misalnya, dengan cara memberikan komentar dan tak jarang komentar tersebut bisa berupa pro ataupun kontra. Dan pada akhirnya, psikologi anak dan remaja tersebut menjadi terganggu.
Timbulnya dampak-dampak negatif tersebut memerlukan adanya perhatian khusus dari berbagai pihak. Perhatian ini penting diberikan mengingat bahwa anak muda adalah dasar dari sebuah negara. Jika dari awal anak dan remaja sudah kebablasan dalam berjejaring sosial, maka kemungkinan besar dampak di masa depan pun akan buruk.
Oleh sebab itu, seharusnya semua pihak menyadari bahwa ruang privasi setiap insan manusia itu adalah hal yang harus dijaga sebaik mungkin. Termasuk juga anak dan remaja yang sudah terlanjur aktif di jejaring sosial media. Mereka seharusnya secara perlahan diberikan pengertian tentang pentingnya menjaga privasi diri. Selain itu, mereka juga harus diberitahu agar lebih selektif jika ingin membagikan sesuatu di sosial media.
Langkah-langkah tersebut dapat dicapai bukan hanya dengan tidak hanya bergantung kepada orang tua. Memang, orang tua perlu memberikan batasan kepada anaknya dalam mengakses internet dan jejaring sosial. Namun, perlu juga bantuan dari pemerintah dan media agar lebih sadar terhadap permasalahan ini.
Hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memberikan sosialisasi kepada anak dan remaja tentang bahaya bersosial media secara bebas. Selain itu, pihak dari sekolah dapat mengajarkan norma-norma kepada setiap anak tentang menghargai ruang privasi.
Diharapkan, generasi muda Indonesia bukan hanya menjadi generasi yang krisis ruang privasi, tetapi juga menjadi generasi zaman now yang melek jejaring sosial serta tahu kapan waktu untuk menggunakan jejaring sosial secara bijak. Sehingga, generasi jaman now Indonesia mampu lebih selektif dalam membagikan sesuatu hal dan tidak menjadi the next Awkarin.