Terekam dalam catatan Kemen PPPA berturut-turut sejak 2019-2022, kejahatan dan kekerasan anak, yakni sebanyak 11.057, 11.278, 14.517, dan 16.106 kasus. Bentuknya tawuran, pencurian, jambret, hingga pembunuhan. Mayoritas merupakan kekerasan seksual.
Faktor Pendorong
Kejahatan dan kekerasan anak, semata-mata ini kesalahan pendidikan yang kurang mengindahkan akidah dan moral anak didik. Ini terjadi di mana-mana, bahkan dalam pondok pesantren sekaligus. Kedua, faktor dijauhkannya anak dari pendidikan seksual. Pendidikan seksual sering dianggap tabu dan dianggap tidak penting. Padahal ini bisa memberikan penjelasan penting bagaimana anak mengukur dan mengamankan diri dari seksualitas tersebut.
Ketiga, adalah faktor ekonomi yang bobrok. Secara fakta, keluarga yang rusak ekonominya mendapatkan gejala ekosistem yang rusak pula dalam keluarganya. Faktor ini membuat anggota keluarga mereka melakukan apa saja (kekerasan/tawuran), dan memetingkan kesejahteraan sementara, meski dilakukan dengan tahapan yang menyimpang.
Keempat, lingkungan pergaulan yang buruk. Lingkungan seringkali menjadi arena yang membuat anak didik terkungkung dalam kehidupan yang toxic dan berbahaya, baik perkataan, pemahaman, dan perilaku keseharian. Di sini keimanan menjadi salah satu kompas dan kampas dasar untuk melihat dan mengerem apa saja yang terberikan dalam kegiatan di lingkungan pergaulan tersebut.
Kelima, adalah pendidikan sekolah yang tidak ideal. Seringkali pendidik selain tidak memberikan pengetahuan yang baik, ia malah sering memberikan tugas-tugas yang jauh dari kehidupan sang anak didik. Akhirnya, pendidikan terasa membosankan dan pada akhirnya pendidikan dianggap tidak perlu dan tidak dibutuhkan.
Pendidikan Tidak Ideal
Yang lebih berbahaya, apabila pendidikan malah diajari dengan konsep-konsep keagamaan yang ekstrem. Di banyak tempat ini yang membuat anak didik kehilangan akal sehat dan masuk pada lingkungan lembaga dakwah yang ekstrem pula. Akhirnya, anak-anak ini berkumpul bersama anak yang cacat moral.
Jadi pemicu dan masalahnya anak didik melakukan kejahatan dan kekerasan akibat dari pendidikan yang ekstrem. Pendidikan ini sengaja dijauhkan dari agama moderat dan dari kehidupan yang berlandaskan etika keindonesiaan.
Lebih jauh, pendidikan ini biasanya didirikan untuk menjauhkan anak didik dari norma ketimuran dan sebagai agen pembenci keindonesiaan, seperti UUD 1945, Pancasila, dan sistem demokrasi Indonesia. Penerapan pendidikan ekstrem seperti ini menjadikan anak didik berjiwa keras dan patah hati atas Indonesia.
Solusinya adalah bukan khilafah apalagi paham ekstrem yang dipasokkan oleh HTI, FPI, ISIS, dan Al-Qeada. Solusi yang tepat soal ini adalah moderasi beragama yang sedang diinisiasi oleh Kementerian Agama Indonesia.
Pendidikan moderasi beragama berlandaskan pada pembangunan ketakwaan individu, menciptakan lingkungan yang kental dengan tradisi amar makruf nahi mungkar, serta penegakkan syariat Islam moderat, yang berfungsi untuk menjadikan anak didik, negara dan bangsa damai dan sentosa. Dengan ini anak didik tidak lagi menjadi generasi yang bringas dan menakutkan, serta memalukan.