Pancasila

Penguatan Peran Badan Permusyawaratan Desa untuk Indonesia Maju

4 Mins read

Korupsi dana desa merupakan salah satu isu krusial yang merugikan masyarakat di tingkat akar rumput di Indonesia. Sejak adanya kebijakan alokasi dana desa yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan desa, justru dana tersebut seringkali disalahgunakan oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam pengelolaannya.

Peningkatan jumlah kasus korupsi yang melibatkan kepala desa dan perangkat desa dalam penyalahgunaan anggaran menunjukkan adanya masalah serius dalam tata kelola keuangan desa. Fenomena ini menggambarkan bahwa meskipun alokasi dana desa semakin besar, pengawasan dan pengelolaan dana desa masih belum optimal, terutama pada lembaga yang memiliki peran pengawasan di tingkat desa, yaitu Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebenarnya memiliki fungsi yang sangat penting dalam mengawasi kebijakan kepala desa dan perangkat desa, termasuk dalam hal pengelolaan dana desa. BPD seharusnya menjadi lembaga yang bisa menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana desa.

Namun, kenyataannya, kewenangan BPD masih sangat terbatas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, peran BPD lebih banyak berfokus pada musyawarah dan saran, bukan pada fungsi pengawasan yang lebih efektif. Dalam banyak kasus, BPD cenderung berada pada posisi yang tidak dapat bertindak tegas meskipun menemukan adanya penyalahgunaan anggaran.

Tren Kenaikan Kasus Korupsi Dana Desa

Sejak pemberlakuan undang-undang Desa, sebanyak 609,9 triliun sudah disalurkan sebagai dana desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Pertama kalinya dialokasikan pada 2015, dana sebanyak 20,76 triliun diserahkan kepada 74 ribu desa di seluruh Indonesia.

Alokasi dana desa selalu naik setiap tahun, sampai mencapai 68 triliun pada 2022 yang diserahkan kepada 74.961 desa di 434 kabupaten/kota se-Indonesia, dan mengalami kenaikan menjadi sekitar 71 triliun pada 2024 untuk 75.259 desa. Ironisnya, penambahan jumlah anggaran dana desa beriringan dengan tren peningkatan korupsi di desa.

Pada 2015 terjadi 17 kasus korupsi dana desa, meningkat menjadi 48 pada 2017. Setahun kemudian, angka kasus korupsi menjadi 83 perkara yang melibatkan 98 tersangka. Pada masa pandemi Covid-19, trend kasus korupsi semakin meningkat. Pada 2019 terjadi 96 kasus korupsi, pada 2020 terjadi 129 kasus, 2021 sebanyak 154 kasus, 2022 sebanyak 155 kasus, dan 2023 terjadi 187 kasus dengan 294 tersangka. Jumlah perkara korupsi dana desa yang dilansir dalam laporan Indonesia Corruption Wacth itu cenderung dipengaruhi praktik penyimpangan yang bersifat koruptif.

Fenomena meningkatnya kasus korupsi dana desa menunjukkan adanya masalah serius dalam implementasi tata kelola pemerintahan desa. Data ICW memiliki kesesuaian dengan data yang dihimpun oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa korupsi dana desa mengalami kenaikan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini menandakan bahwa meskipun alokasi dana desa telah meningkat secara drastis, sistem pengawasan dan pengelolaan dana desa tidak sebanding dengan besarnya dana yang dikelola.

Pentingnya Penguatan Peran BPD dalam Pencegahan Korupsi

BPD sebagai lembaga yang mewakili masyarakat desa, seharusnya memiliki peran yang lebih besar dalam pengawasan keuangan desa. Mengingat besarnya dana desa yang dialokasikan setiap tahunnya, maka sangat penting untuk memastikan dana tersebut digunakan untuk kepentingan masyarakat secara transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, penguatan peran BPD dalam mengawasi pengelolaan dana desa perlu menjadi salah satu fokus utama dalam upaya pemberantasan korupsi di tingkat desa.

Penguatan tersebut dapat dilakukan melalui pemberian kewenangan yang lebih besar kepada BPD dalam pengawasan anggaran, termasuk kewenangan untuk melakukan audit keuangan desa dan memberikan rekomendasi yang lebih kuat terhadap tindak lanjut penyalahgunaan dana desa.

BPD juga perlu dilibatkan dalam pemeriksaan berkala terhadap penggunaan dana desa, serta diberi akses untuk meminta klarifikasi atas laporan keuangan desa yang tidak jelas atau mencurigakan. Selain itu, BPD juga perlu diberikan instrumen hukum yang memadai agar mereka dapat menindak tegas kepala desa yang terlibat dalam praktik korupsi. Salah satu langkah awal yang perlu dilakukan adalah perbaikan regulasi terkait kewenangan BPD.

Saat ini, meskipun BPD memiliki fungsi pengawasan, namun peran mereka masih terbatas pada aspek administratif. Dalam hal ini, perlu ada peningkatan kewenangan BPD untuk melakukan audit internal dan memberikan rekomendasi yang lebih jelas dalam hal tindak lanjut terhadap kepala desa yang terlibat dalam penyalahgunaan anggaran.

Undang-Undang Desa yang ada saat ini perlu diperbarui agar memberikan BPD hak yang lebih besar untuk melakukan intervensi, baik dalam hal pemberhentian kepala desa maupun dalam hal pengelolaan anggaran desa. Dengan adanya kewenangan yang lebih kuat, BPD dapat bertindak lebih tegas dalam memantau dan mengevaluasi penggunaan dana desa.

Peraturan yang jelas mengenai kewenangan BPD akan menghindarkan adanya ambiguitas dalam proses pengawasan. Misalnya, jika ada dugaan penyalahgunaan dana desa oleh kepala desa, BPD perlu memiliki hak untuk memberikan rekomendasi pemberhentian kepada pemerintah kabupaten atau kecamatan, bahkan jika diperlukan dengan dasar hukum yang lebih kuat untuk melakukan investigasi lebih lanjut.

Selain itu, perlu adanya peraturan yang mendukung proses transparansi anggaran desa, dengan mewajibkan desa untuk mempublikasikan laporan keuangan secara terbuka kepada publik dan masyarakat. Hal ini akan memperkuat pengawasan tidak hanya oleh BPD, tetapi juga oleh masyarakat desa yang berhak mengetahui bagaimana dana desa dikelola.

Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan

Selain penguatan peran BPD, partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan penggunaan dana desa sangatlah penting. Pemberdayaan masyarakat juga bisa dilakukan dengan cara memberikan akses lebih luas kepada mereka untuk mengakses laporan keuangan dan rencana anggaran desa.

Dengan demikian, masyarakat akan memiliki kontrol yang lebih besar terhadap penggunaan dana desa dan dapat lebih aktif dalam mencegah korupsi yang terjadi. Pembentukan kelompok pengawasan desa yang terdiri dari warga desa, perangkat desa, dan LSM juga bisa menjadi solusi untuk memperkuat pengawasan eksternal terhadap penggunaan dana desa.

Pencegahan korupsi di tingkat desa membutuhkan pendekatan yang lebih holistik. Pelembagaan antikorupsi di desa dapat dilakukan dengan membentuk forum pengawasan desa yang melibatkan masyarakat, perangkat desa, BPD, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Forum ini dapat berfungsi untuk memperkuat pengawasan sosial terhadap pengelolaan dana desa, serta menjadi wadah untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana desa.

Dengan mengintegrasikanĀ sistem digital, pendidikan antikorupsi, dan kerja sama antar lembaga, kita dapat membangun ekosistem pencegahan korupsi yang lebih efektif, sehingga dana desa benar-benar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa secara adil dan merata.

 

Muh Khamdan

Pengajar dan peneliti studi perdamaian fokus pada kajian konflik, resolusi damai, dan pembangunan berkelanjutan, dengan pendekatan interdisipliner untuk menciptakan solusi damai yang inklusif.
1526 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Pancasila

Mengaktualisasi Pancasila di Era Medsos

2 Mins read
Di era media sosial yang penuh dinamika ini, bangsa Indonesia menghadapi tantangan baru dalam menjaga nilai-nilai luhur Pancasila. Media sosial, yang awalnya…
Pancasila

Runtuhnya Rezim Presidential Threshold, Penguatan Pancasila?

3 Mins read
Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan gugatan untuk seluruhnya dalam perkara yang teregister Nomor 62/PUU-XXII/2024. Dalam gugatannya pemohon menguji konstitusionalitas pasal 222 Undang-Undang Nomor…
Pancasila

Eks-JI Akan Bersinergi Bangun Bangsa Sambut Indonesia Emas 2045, Mungkinkah?

4 Mins read
Ribuan eks anggota Jamaah Islamiyah (JI) dari Solo Raya, Kedu Raya dan Semarang mendeklarasikan pembubaran JI serta kembali ke Negara Kesatuan Republik…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.