Mengunjungi Kupang, Nusa Tenggara Timur, saya amat berbahagia karena mendapatkan informasi penting dari bapak Theo Widodo, seorang tokoh masyarakat dan juga merupakan pimpinan Perhimpunan INTI Indonesia Tionghoa) NTT. Pak Theo menyampaikan kepada saya tentang kisah sosok pejuang bernama Ang Hauw Lang. Satu kehormatan juga diperkenalkan dengan keturunan (cicitnya) bernama Melly.
Ang Hauw Lang (AHL) adalah tokoh penting yang hadir mengisi ruang sejarah bangsa ini pada saat Bung Karno diasingkan ke Ende pada tahun 1934 sd 1938. Dalam film berjudul “Ketika Bung Di Ende” (produksi tahun 2013, didanai oleh Kemendikbud) yang diantara pemerannya adalah Baim Wong dan Paramita Rusady itu, sosok AHL ikut ditampilkan dalam beberapa adegan.
Peran AHL kala Bung Karno diasingkan adalah menjadi penyampai surat-surat dari Bung Karno kepada kawan-kawan seperjuangannya di pulau Jawa dan juga sebaliknya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan baik karena beliau adalah seorang pengusaha yang berniaga antar pulau saat itu.
Bukan hal yang mudah dapat melakukan kegiatan berbahaya tersebut, karena sebagai tahanan politik, Bung Karno diawasi secara ketat oleh pihak Belanda, siapa pun yang tampak berhubungan dengannya dipastikan menimbulkan kecurigaan dari pihak Belanda. Bagaimana tidak diawasi, Bung Karno adalah tokoh penting penggagas kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa Belanda.
Keberanian AHL untuk menjadi kurir bagi surat-surat penting tersebut mendapatkan apresiasi tinggi dari Bung Karno, bahkan beliau menganggap AHL sebagai bapak angkatnya. Ada satu kisah menarik yang peristiwanya teejadi setelah kemerdekaan, yakni sekitar awal tahun 1960an. Dalam suatu kesempatan, beliau mendatangi langsung istana kepresidenan di Jakarta dan memberitahukan kepada para penjaga jika beliau ingin bertemu presiden, “Saya ingin berjumpa Nak Karno!” begitu ujarnya. Mengetahui AHL yg datang, Bung Karno menyambut dan menerima beliau di istana. Selama di Jakarta, AHL diberikan penginapan di Hotel Indonesia.
Ada peristiwa lainnya yang menarik dan menyentuh hati, yakni penolakan beliau terhadap permintaan Bung Karno agar jika nanti meninggal dunia dapat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Alasan penolakan adalah beliau ingin nantinya dimakamkan berdampingan bersama istri tercinta (Veronica Surati), yang tentu saja hal tersebut tak dapat diwujudkan jika beliau dimakamkan di TMP. Keinginan mulia yang akhirnya terwujud.
Ketika Ang Hauw Lang meninggal dunia (15 Januari 1963) melalui utusannya, Bung Karno mengirimkan karangan bunga dan bendera merah putih besar menutupi peti dan tulisan yang menerangkan jika Ang Hauw Lang adalah Pejuang Kemerdekaan. Dan ada kesaksian lain yang perlu ditelusuri kebenarannya lebih jauh, bahwa prosesi pemakamannya juga dilakukan secara militer yakni dengan iringan tembakan salvo.
Peran beliau adalah bagian penting dari sejarah perjalanan kemerdekaan bangsa, seperti setiap potongan puzzle yang menjadi bagian penting untuk dapat membentuk suatu gambar yang utuh. Tugas kita sebagai generasi penerus utk mengenang dan meneladani jasa-jasanya.
Dari perjalanan kemarin, saya masih mendapatkan potongan-potongan cerita tak lengkap tentang beliau, amatlah menyedihkan jika nantinya nama beliau benar-benar terlupakan. Kisah-kisah seperti ini akan lenyap jika hanya mengandalkan cerita dari mulut ke mulut, dan inilah yang terjadi pada peran sejarah perjuangan orang-orang Tionghoa di indonesia, saatnya untuk mencatat dan mengabarkannya.
Kita Sebangsa Setanah Air dan Setara.