Negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam namun menganut sistem demokrasi seperti Indonesia sering kali menjadi sasaran bagi kelompok pengusung khilafah islamiah untuk melakukan provokasi dan gerakan dengan tujuan untuk menggantinya dengan sistem Islam.
Telah lama sekali kita berdebat dan memperdebatkan soal bentuk negara. Dalam ajaran agama Islam sekalipun tidak ada keterangan yang ceplos memberikan keterangan terkait dengan bentuk negara seperti apa yang diperintahkan Tuhan melalui Al-Qur’an maupun hadis.
Rentetan sejarah pemerintahan Islam sekalipun misalnya, tidak akan kita temukan bentuk negara yang yang paten dan baku baik di era Nabi Muhammad, khulafaurasyidin, tabiin dan seterusnya, mulai dinasti Muawiyah hingga Utsmani. Semuanya berbeda-beda mulai sistem, pengangkatan pemimpin, dan tata kelola suatu pemerintahan.
Namun, satu hal yang pakem dalam Islam adalah tentang bagaimana membangun dan menciptakan kesadaran bersama agar tercipta stabilitas politik, ekonomi dan sosial sehingga dapat menghantarkan pada situasi yang aman, tenang dan damai bagi kehidupan umat manusia.
Kewajiban Seorang Pemimpin
Pemimpin dan rakyat kita tahu menjadi komponen yang wajib adanya dalam suatu negara yang berdaulat tanpa melihat bentuk negara (entah kerajaan, demokrasi atau lain sebagiannya). Dengan begitu maka iklim harmonisasi dan peran interaktif antarkeduanya merupakan hal mutlak.
Peran interaktif atau kesalingan inilah menjadi poin penting dalam bernegara, sebagaimana Al-Qur’an menjelaskan dalam surah al-Nisa ayat 58;
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِه ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
Artinya: Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu lakukan dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Imam al-Thabari dalam tafsirnya menerangkan bahwa ayat ini spesifik ditujukan kepada para pemimpin yang memiliki kekuasaan. Walaupun beliau juga tidak menafikan makna umum yakni siapa saja yang diberi amanat dalam bentuk apa pun.
Dengan begitu, dapat kita pahami bahwa setiap pemimpin wajib menjalankan amanat yang berasal dari rakyat serta tetap berpegang teguh pada prinsip keadilan dalam setiap keputusan yang diambil.
Wahbah al-Zuhaili juga menyebutkan, untuk mencapai negara yang berperadaban dan maju, dibutuhkan pemimpin yang mampu memegang teguh prinsip keadilan. Bahkan seluruh agama samawi juga sepakat bahwa seorang hakim, pemerintah, dan pemegang kebijakan untuk mendasarkan keputusannya pada prinsip-prinsip keadilan.
Melalui ayat di atas setidaknya ada dua hal yang wajib dilakukan oleh pemimpin dalam bernegara.
Pertama, harus mampu mengemban amanat dengan memberikan hak-hak yang semestinya diperoleh oleh rakyat. Misalnya berkaitan dengan menjaga keamanan dan keselamatan dalam beraktivitas sehari-hari. Juga memastikan kesejahteraan masyarakat, serta menjadi mediator dalam menemukan solusi atas segala permasalahan yang terjadi.
Kedua, berlaku adil dalam setiap pengambilan keputusan baik dalam konteks perselisihan dan persengketaan antar individu maupun dalam pengambilan kebijakan publik.
Terpenuhinnya dua poin di atas jauh lebih penting untuk kita perhatikan dan lakukan introspeksi dalam hubungan berbangsa dan bernegara. Itu lebih esensial daripada memperdebatkan dan mengubah sistem negara yang telah ada. Toh semisal ditanya soal hakikat dan konsep sistem negara Islam seperti apa, paling juga bingung dan tidak bisa menjawab.
Kewajiban Bagi Rakyat
Rakyat juga memiliki kewajiban yang sama dalam menjaga keutuhan dan kemajuan suatu bangsa, sebagaimana firman Tuhan dalam surah an-Nisa ayat 59 sebagai berikut;
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan pemimpin di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ketaatan yang wajib dilakukan oleh rakyat terhadap pemimpin tentu tidak boleh keluar dari ketentuan Tuhan dan Rasulullah yakni tidak bertentangan dengan syariat.
Dalam kitab Mafatih al-Ghayb juga dijelaskan bahwa kewajiban seorang pemimpin adalah mencari jalan keluar atas segala persoalan dengan tidak melanggar aturan Allah diiringi dengan ditunaikannya amanah. Apabila hal tersebut telah dilakukan, maka rakyat wajib taat dan patuh kepada pemimpin.
Begitulah Islam memberikan panduan dalam berbangsa dan bernegara. Bentuk negara tidak menjadi pembahasan, justru yang menjadi landasan pokok adalah peran aktif dan interaktif serta harmoni antara pemimpin dan rakyat sangat dibutuhkan agar pemerintahan yang ada bisa dijalankan dengan baik.
Maka kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan akan tercipta sehingga hak kemanusiaan dapat diperoleh oleh setiap warga negara secara penuh.
Penjagaan dan perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan inilah yang sebenarnya menjadi sebab diturunkannya kitab dan utusan Allah ke muka bumi ini.
Oleh karenanya, segala tindakan yang ingin mengubah sistem pemerintahan melalui cara-cara radikal dan ekstrem yang kemudian menimbulkan kekacauan publik, justru rawan terjerembab pada pelanggaran syariat dan hukum Tuhan yang telah ditetapkan, sehingga tindakan seperti itu tidak bisa dibenarkan.