Bhinneka Tunggal Ika

Buya Syafii Maarif, Napasmu akan Lebih Panjang

2 Mins read

Jika ada kabar kepergian, maka tengoklah kesan orang-orang terhadapnya. Jika banyak yang memberikan kesaksian akan masa hidup yang baik, maka hampir bisa dipastikan bahwa orang tersebut baik.

Buya Syafi’i Maarif adalah salah satu contoh. Semasa beliau hidup, terlampau banyak orang baik yang mengabarkan bahwa Buya Maarif adalah sosok yang baik dan sederhana. Selepas beliau pergi, semakin banyak orang yang merasa kehilangan dan mengingat kesan.

Dalam salah satu esainya, Gus Dur pernah berkata bahwa Buya Maarif adalah pendekar dari Chicago. Julukan tersebut tidak hanya diberikan pada Buya, tapi juga bertengger dengan Cak Nur dan Pak Amien Rais. Kata Gus Dur, meski mereka lahir dari rahim intelektual yang sama (baca: Universitas Chicago), pemikiran dan kiprah mereka di Indonesia relatif berbeda.

Pendekar melambangkan kegigihan. Dan institusi dari Amerika itu mewakilkan spirit pemikiran. Dua hal tersebut ada dalam diri Buya: gigih dalam menyuarakan pemikiran.

Ia tidak ragu berpendapat meski ia paham betul bahwa pendapatnya mungkin akan menimbulkan perbedaan. Ia adalah manusia merdeka. Tidak terkungkung oleh kecemasan akan serbuan pandangan manusia. Apa yang menurutnya benar, dan itu didasarkan pada ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, maka akan ia sampaikan.

Orang-orang melepasnya dengan kesedihan dalam balutan kenangan indah tentang perjuangan.

Gus Mus pun memberikan pernyataan yang sungguh lengkap untuk menggambarkan bagaimana Buya. Dalam pandangan Gus Mus, Buya adalah: tokoh panutan bangsa, cendekiawan, jernih, jujur, berani, sederhana, dan merdeka.

Kala kiai yang berhati bersih dan teguh dalam perjuangan kemanusiaan dan kebudayaan seperti Gus Dur dan Gus Mus menyatakan, maka saya sepenuhnya percaya.

Gus Dur dan Gus Mus adalah sahabat dekat Buya Maarif. Mereka bercengkrama, berdiskusi, mungkin juga sesekali berdebat. Mereka bersahabat, maka pendapat dari seorang sahabat tentang sahabatnya bisa diyakini kesahihannya.

Selain menjadikan pendapat dua kiai tersebut sebagai sandaran, saya pun memiliki kenangan dan kesan. Usia saya dan Buya terlalu jauh, untuk menjadi teman dekat layaknya Gus Dur dan Gus Mus tentu tidak mungkin. Tidak hanya perihal usia, jarak intelektual dan sosial pun terlampau timpang. Saya bukan siapa-siapa.

Kendati bukan siapa-siapa dan belum cerdas, saya bersyukur pernah dekat dengan Buya Maarif. Dekat dalam arti kedekatan fisik: duduk berdekatan, berada dalam satu ruangan. Lebih dari itu, saya merasakan satu pekan yang indah untuk mencicipi pemikiran Buya lebih dekat.

Pengalaman “dekat” dengan Buya itu terjadi ketika saya SMA. Beruntung sekali saya bisa mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Maarif Institute. Dari situlah saya melihat Buya secara langsung. Dekat. Salim kepada beliau, dan berfoto bersama.

Kala itu saya masih SMA. Belum terlalu paham dunia pemikiran Islam di Indonesia. Meski sekarang pun belum paham-paham betul, setidaknya saya sedikit membaca dan mengagumi banyak pemikir Islam Indonesia. Salah satunya tentu Buya Maarif.

Pertemuan kala SMA itu membawa saya pada penjelajahan yang lebih luas soal intelektualisme Islam. Memang tidak dalam-dalam amat, tapi saya berusaha memahami permukaan atau setidak-tidaknya kulit dalam daging pemikiran Islam para tokoh.

Dari pertemuan itu, saya jadi keranjingan mengonsumsi nilai-nilai Islam yang ramah, toleran, dan terbuka. Dalam perspektif atau kesimpulan sementara yang saya miliki saat ini, Islam yang indah adalah, ya, Islam rahmatan lil alamin. Itu yang digaungkan oleh Gus Dur, Gus Mus, dan Buya Maarif.

Kalau saya boleh mengklaim dan berbangga diri, mungkin bisa jadi juga saya adalah anak ideologis Buya Maarif. Saya terpercik pendar-pendar kebijaksanaan yang beliau tebarkan, kemudian saya tangkap itu sebagai spirit untuk saya pelajari lebih jauh. Bukankah itu termasuk proses penyelaman ideologis?

Meski begitu, saya juga tidak ingin masuk ke dalam euforia atau romantisme pernah bertemu dan mencicipi pemikiran Buya tadi. Justru barang kali itu tidak terlalu penting. Jauh lebih penting adalah bagaimana saya terus belajar dan menyebarkan kembali pesan-pesan kebijaksanaan yang telah digariskan oleh Buya Maarif.

Tentu bukan hanya saya, melainkan semua orang yang merasa bahwa Buya Maarif telah memberikan pengaruh dan karya yang luar biasa bagi bangsa ini.

Napasmu akan lebih panjang, Buya. Dilanjutkan oleh orang-orang yang berniat baik dan berpikiran luas. Terima kasih telah memberi sedikit-banyak pengaruh dalam perjalanan intelektual sekaligus spiritual saya.

Selamat jalan, Buya. Alfatihah…

Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.

2121 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
Bhinneka Tunggal Ika

Menjadi Bagian Mayoritas yang Membela Minoritas

3 Mins read
Kasus-kasus yang menyebabkan guncangan hubungan mayoritas-minoritas umat beragama nampaknya akan selalu ada di negeri kita. Beberapa minggu lalu kasus terjemahan Injil ke dalam bahasa…
Bhinneka Tunggal Ika

Insight Pemikiran Habermas dalam Dinamika Politik Indonesia

3 Mins read
Filsuf Jerman paling signifikan pada paruh kedua abad ke-20, Jurgen Hebermas, lahir di Usseldorf, Jerman, pada tanggal 18 Juni 1929. Salah satu…
Bhinneka Tunggal Ika

Menelisik Liberalisme Globalisasi dalam Kacamata Kebhinekaan

5 Mins read
Globalisasi memiliki dampak penting dalam era perkembangan peradaban manusia, karena hampir dari setiap titik geografis dimuka bumi dan hidup jutaan orang mengalami…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *