Beberapa waktu lalu, masih segar dalam ingatan tentang aksi penolakan RKUHP yang dilakukan oleh aktifis Gema (gerakan mahasiswa) Pembebasan UIN Jakarta. Bagi mereka, penolakan tersebut karena aturan tersebut merupakan produk hukum sekuler dan menjadi alat menindas rakyat.
Secara substansi pergerakan, apa yang dilakuan oleh Gema pembebasan UIN Jakarta ini sama seperti yang dilakukan oleh HTI. Pada kenyataannya, Gema Pembebasan UIN Jakarta merupakan sayap organisasi HTI yang bergerak di lingkungan kampus. Fakta ini dikemukakan oleh juru bicara HTI, Ismail Yusanto dengan menjelaskan secara detail bahwa Gema Pembebasan ini dibentuk pada 28 Februari 2004 di Auditoriun Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia (UI).
Keberadaan Gema Pembebasan yang secara nyata masih eksis sampai hari ini, membuktikan bahwa nafas perjuangan dan pergerakan HTI di lingkungan kampus masih sangat besar. HTI di lingkungan kampus tidak mati, justru sebaliknya. keberadaan Gema Pembebasan pada laporan CNN 2017 silam, jika dilihat hari ini, bisa dibayangkan, betapa banyak kader dan anggota yang terlibat di dalamnya dan memiliki semangat yang sama, yakni memperjuangkan khilafah.
Fakta ini menunjukkan bahwa, meskipun HTI secara organisasi sudah dibekukan, dalam lingkungan kampus, justru masih sangat bebas dalam melakukan aktifitas dan secara terang-terangkan memproklamirkan khilafah. Bagaimana pergerakan yang dilakukan oleh Gema Pembebasan? Mengapa seseorang bisa menjadi radikal?
Visi khilafah yang ingin dicapai
Dilansir dari media sosial, di akun Youtube, jika menulis gema pembebasan UIN Jakarta, video yang muncul cukup banyak. Isinya tentang para mahasiswa yang secara terang-terangan menjelaskan khilafah dalam nafas gerakannya. Selain itu, melalui akun media sosial Instagram @gema_uinjakarta, terlihat beberapa postingan yang menunjukkan secara jelas keterangan berupa kegiatan, visi dan misi serta pergerakan yang dilakukan tidak lain seperti HTI. Melihat Gema Pembebasan UIN Jakarta seperti melihat HTI pada ruang yang lain. Perbedaannya hanya terletak pada ruang pergerakan yang dilakukan adalah kampus dan menyasar kepada mahasiswa.
Salah satu penelitian yang bisa dijadikan referensi dalam melihat kegiatan Gema pembebasan, ditulis oleh Reza Mardhani pada tahun 2018 yang berjudul, “ Wacana Khilafah pada Kanal Youtube Gema Pembebasan,” menurut Reza dalam penelitiannya, wacana yang disebarkan oleh para aktifis Gema Pembebasan, tidak lain adalah penguatan narasi yang disebarkan di beberapa platform untuk menguatkan pemahaman tentang kekuatan relasi antara khilafah dengan Islam sebagai basis gerakan yang dilakukannya.
Dari sinilah, masyarakat, khususnya mahasiswa yang ada di sebuah perguruan tinggi, tertarik untuk mengenal Gema Pembebasan dan secara organisasional, Gema Pembebasan memiliki regenerasi untuk melakukan perjuangan selanjutnya. Tidak hanya itu, dari level situasional, wacana yang direspon gema pembebasan dengan menawarkan Islam sebagai solusi.
Pada level sosial, Indonesia sebagai negara mayoritas Islam, menjadikan Gema Pembebasan sangat mudah untuk mendapatkan empati masyarakat secara luas. Karena ketika membawa agama sebagai solusi dari setiap permasalahan akan mudah diterima oleh masyarakat muslim.
Hasil penelitian tersebut, nyatanya sejalan dengan narasi yang disampaikan oleh HTI yang sampai pada hari ini polanya tetap sama, yakni menjadikan Islam sebagai solusi dalam setiap isu yang hangat dibicarakan oleh masyarakat Indonesia. Dari sinilah, kita memahami akar pergerakan yang sangat kuat dari para aktifis HTI untuk menyebarkan ideologinya yakni menyebarkan ajaran khilafah.
Faktor penyebab radikalisme
Kondisi tersebut membuat kita berefleksi dan menanyakan alasan, mengapa seseorang menjadi radikal? Pengertian radikal dalam tulisan ini tentu terbatas pada pemikiran yang mengakar dan mencoba untuk melakukan perubahan secara dasar, seperti menolak kehadiran Pancasila dan berupaya untuk mengganti sistem negara dengan khilafah.
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi seorang menjadi radikal, diantaranya: pertama, faktor domestik seperti kondisi dalam negeri yang terus menerus berjuang dalam kemiskinan, ketidakadilan ataupun merasa kecewa dengan pemerintah. Kedua, faktor ekstrenal dimana pengetahuan tentang keagamaan dalam ranah global yang disebabkan oleh sentiment keagamaan, isu internasional. Ketiga, faktor kultural yang disebabkan oleh paham keagamaan tradisional dan sempit. Faktor ini yang juga melatar belakangi para mahasiswa dan civitas akademik terpapar radikalisme dan ikut andil dalam mendukung gerakan khilafah. Wallahu a’lam