Pilarkebangsaan.com. Saya mengenal istilah amnesia sejarah dua puluh tahunan lalu, seusai membaca karya-karya Fatima Mernissi. Istilah ini merujuk kepada dihilangkannya atau dilupakannya peran perempuan baik sebagai pemimpin, pengusaha, ilmuwan atau ahli agama dalam panggung sejarah. Melalui buku Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan (The Forgotten Queens of Islam) Fatima menyajikan pemimpin-pemimpin perempuan yang dilupakan sejarah, termasuk empat sultanah di Aceh yaitu Sultanah Tadj Al Alam Safiyyat Al-Din Syah (1641-1675), Sultanah Nur Al-Alam Nakiyyat Al-Din Syah (1675-1678), Inayat Syah Zakiyyat Al-Din Syah (1678-1688) dan Kamalat Syah (1688-1699).
Mereka tetap berhasil memerintah meskipun lawan-lawan politiknya mendatangkan fatwa dari Makkah yang menyatakan bahwa hukum melarang kaum perempuan untuk memerintah. Kamalat Syah diturunkan setelah adanya fatwa, menjadi sultanah perempuan terakhir karena sejak itu kepemimpinan di Aceh dipegang oleh laki-laki.
Hal tersebut menerbitkan pengetahuan dan kesadaran baru bagi saya bahwa sejarah perempuan sengaja dihilangkan atau dilupakan. Tidak hanya dalam peran sebagai pemimpin, namun juga sebagai ilmuwan, aktivis pergerakan maupun ulama. Jikapun ada, maka peran perempuan akan dilekatkan dengan peran suaminya atau peran-peran domestiknya, bukan menjadi subyek dengan kontribusi dan pemikirannya sendiri.
Sejak saat itu saya lebih kritis terhadap tokoh yang dituliskan sejarah, dan mencari nama-nama perempuan. Upaya melawan amnesia inilah yang dilakukan melalui pendokumentasian Jejak Perjuangan Keulamaan Perempuan di Indonesia, yang diterbitkan secara khusus dalam rangka Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tiga tahun lalu.
Lembaga inisiator KUPI menyelenggarakan lomba menulis tentang profil dan kiprah ulama perempuan di nusantara. Dari kegiatan ini terkumpul 90 tulisan dari Aceh sampai Madura yang kemudian dipilih 10 tulisan, dan affirmative diberikan untuk menemukan ulama perempuan di wilayah Indonesia Tengah dan Indonesia Timur. Maka kemudian terhimpunlah 20 tulisan tentang ulama perempuan.
AD Eridani menggambarkan kesulitan proses pendokumentasian ini, mulai dari menghimpun tulisan yang sempat diperpanjang, menjahit berbagai gaya penulisan dan memastikan adanya keterwakilan wilayah (hal ix-xi). Dengan berbagai keterbatasan dan metode, maka kemudian kita diperkenalkan dan diingatkan kembali 18 ulama perempuan yaitu Tengku Fakinah (Aceh), Nyi Seppo (Sumenep), Nyai Hj.Mahshunah (Jombang), Khotimatul Khusna (Yogyakarta),Nyai Solihah Wahid Hasyim (Jakarta), Siti Walidah (Yogyakarta), Hj.Masyitah (Riau), Rahmah El-Yunusiyyah (Padang),Teungku Hanisah (Aceh), Hj. Dahlia Syuaib (Palu), Yulianti (Bandung), Hj.Halimatus Sakdiyah (Malang), Rohana Kudus (Padang), Nyai Khoiriyah Hasyim (Jombang), Nyai Hj.Masriyah Amva (Cirebon), Nyai Hj.Durroh Nafisah (Yogyakarta), Nyai Hj.Umi Arikhah (Semarang), dan Haji Maemunah (Maluku).
Amnesia Peran Keulamaan Perempuan
Dalam prolognya KH.Helmy Ali Yafie pengasuh pesantren Al Taqwa, Pinrang, Sulawesi Selatan sekaligus pengawas Perkumpulan Rahima memberikan ulasan mengapa peran ulama perempuan dalam sejarah Islam, khususnya di Indonesia dilupakan. Bang Helmi -begitu panggilan akrabnya- mengidentifikasikannya ada tiga sebab yaitu: minimnya dokumentasi ulama perempuan karena para penulis, sarjana atau mahasiswa lebih menuliskan tokoh agama berjenis kelamin laki-laki, tradisi menulis yang masih kurang dan ulama perempuan yang tidak banyak meninggalkan jejak dalam bentuk tulisan (hal xiv).
Kemudian dalam analisa berikutnya amnesia ini tidak dapat dilepaskan dari politik kepemimpinan dalam Islam yang melakukan peminggiran peran perempuan di ruang-ruang sosial, budaya dan politik yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif. Atas nama kasih sayang, perlindungan dan penghormatan terhadap perempuan atau dalam bahasa saat ini menggunakan pendekatan proteksionis, secara pelahan tapi pasti terjadi peminggiran perempuan
Padahal, di masa-masa awal Islam, perempuan bersama-sama laki-laki hadir di ruang publik, dari menjadi pendidik sampai perawi hadits. Mazhar ul-Haq Khan mengaitkan peminggiran peran perempuan yang berkontribusi terharap kemunduran peradaban Islam adalah sistem harem dan purdah. Yaitu bentuk ektrem dominasi kaum lelaki yang membuat lelaki dominan atas perempuan, lewat pengucilan perempuan dari kegiatan sosial dan keinginan maju, memingit dan memisahkan mereka dari semua lelaki.
Sistem ini menolak kebebasan bertindak perempuan dan partisipasi perempuan dalam kegiatan sosial sehingga aktivitas perempuan hanya pada rumah, kehidupan rumah dan kewajiban dalam rumah. Lebih lanjut, ideologi ini menyebabkan: (i) inferioritas kaum perempuan; (ii) Ketidakcakapan kaum perempuan untuk bekerja, dan (iii) tiadanya kemampuan perempuan untuk berprestasi (Khan,1994). Kehidupan perempuan diantara empat dinding rumah berkontribusi terhadap menurunnya jumlah ilmuwan dan ulama perempuan.
Sedangkan dalam buku ini peminggiran kaum perempuan juga didasarkan pada argumen prinsip Saad al-Dzari’ah atau menutup pintu kerusakan. Keikutsertaan atau keterlibatan kaum perempuan dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan baik sebagai pelajar maupun guru dipandang dapat menimbulkan ‘fitnah’ dan inhiraf (penyimpangan moral) (hal xviii).
Kata kunci inilah yang juga digunakan sampai sekarang dan ampuh untuk membatasi aktivitas perempuan di ruang-ruang sosial, budaya, ekonomi dan politik. Upaya untuk mengembalikan peran keulamaan perempuan barulah dilakukan di awal abad 20.
Di Indonesia sendiri, sebagaimana diuraikan di awal dalam konteks kepemimpinan perempuan, pada dasarnya sistem kerajaan/kesultanan tidak membatasi haruslah laki-laki. Hal ini bisa ditelusuri dari kesultanan di Aceh maupun Maluku yang pernah dipimpin oleh perempuan (sultanah). Sampai kemudian fatwa larangan negara dipimpin oleh perempuan didatangkan dari Mekkah yang pada saat itu sudah terjadi peminggiran terhadap peran-peran perempuan. Demikian halnya sistem masyarakat kita menempatkan perempuan melekat atau terikat dengan posisi atau status suaminya, termasuk dalam konteks keulamaan.
Eka Srimulyani, dalam kajiannya tentang Nyai dan Umi Dalam Tradisi Pesantren di Jawa dan Dayah di Aceh: Achieved dan Derivative Power, dengan mengutip Nieuwenhuis menemukan bahwa ketika seorang perempuan menikah dengan kiai, maka otomatis dia menjadi seoang nyai terlepas dari latar belakang pendidikan atau latar belakang keluarga yang dimilikinya. Dalam banyak hal, seorang nyai mendapatkan ‘power’ dan legitimasi untuk melakukan sesuatu karena hubungan kekeluargaannya dengan kiai.
Posisi sosial yang dimiliki memiliki elemen dari konsep priyayization dan ibuism di pesantren. Dalam banyak kasus, seorang nyai memiliki ‘unofficial power’ untuk bertindak atas nama pimpinan pesantren, khusunya dalam hal yang berkaitan dengan santri perempuan. Terlepas apakah namanya ditulis secara resmi atau tidak dalam kepengurusan pesantren, seorang nyai adalah ‘pimpinan perempuan’ dalam pesantren.
Posisi ini menjadi punya arti yang cukup penting bagi seorang nyai yang memang punya kapasitas yang mendukung. (Eka Srimulyani,2009). Dengan memahami konsep ibuisme ini, maka peran keulamaan perempuan dapat dipahami jika tidak tercatat dalam sejarah, karena seluruhnya peran-perannya ditujukan untuk menunjang keberhasilan suami atau keluarga.
Upaya untuk melacak amnesia peran keulamaan perempuan dapat kita temukan dalam dua tulisan yang melengkapi prolog Bang Helmi. Yuyus Citra Purwida dalam tulisannya yang berjudul Pendekatan Gender Menurunkan Problematika Gender (hal 79-93) melacak historiografi ulama perempuan, mengidentifikasikan delapan terminologis ulama yang netral gender dan menyimpulkan budaya ‘male-centris’ lah yang mendistorsi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam tulisannya Yuyus juga mengingatkan pendefinisian ulama perempuan bersifat kontradiktif karena pada dasarnya istilah ulama adalah netral jender. Dengan menambahkan ‘perempuan’ justru menjadikannya bias gender. Sedangkan Joseph Biondi Mattovano dalam tulisannya berjudul Quo Vadis Ulama Perempuan (di) Indonesia (hal 47-57) melihat dari perspektif sosial-politik, bahwa keberadaan ulama perempuan di Indonesia mewakili posisi marginal, subaltern dan minoritas.
Ulama perempuan haruslah memiliki visi primal. Visi primal inilah yang secara tidak langsung menjawab posisi atau kedudukan laki-laki yang identik sebagai pemimpin dan penguasa. Lantas, ulama perempuan seperti apa yang dimaksud dalam buku ini? apakah yang berjenis kelamin perempuan, menjadi isteri kyai dan mengasuh pesantren? ataukah ulama dalam pengertian laki-laki atau perempuan namun memiliki visi primal?
Siti Aminah Tardi.