Di antara salah satu tokoh sejarah dakwah Islam di Tatar Sunda yang memiliki pengaruh besar pada abad ke-19 M adalah Syaikh Hasan Maulani dari Kuningan (1196-1291 H/1782-1874 M). Syaikh Hasan Maulani membangun basis dakwahnya di Kampung Lengkong, Kuningan, Jawa Barat. Karena itu jugalah, beliau dikenal dengan sebuan “Kiyai Ageng Lengkong”.
Syaikh Hasan Maulani dikenal sebagai seorang ulama besar yang memiliki kepakaran dalam pelbagai bidang ilmu keislaman, utamanya yurisprudensi Islam (fikih), tata bahasa Arab, dan juga tasawuf. Beliau juga tercatat sebagai seorang mursyid Tarekat Syathariah, salah satu tarekat tertua di Jawa Barat.
Pesantren yang didirikannya di Lengkong pada paruh pertama abad ke-19 menjadi salah satu pusat pendidikan, pemikiran dan perkembangan tradisi keilmuan Islam di Jawa Barat pada masa itu. Adanya sejumlah naskah tua tulis tangan (manuskrip) yang berasal dari masa Syaikh Hasan Maulani dan ditulis di Pesantren Lengkong, menjadi bukti kebesaran sosok sang tokoh dan juga posisi penting pesantren tersebut. Beberapa koleksi manuskrip yang ditulis di Pesantren Lengkong pada kurun masa abad ke-19 telah didigitalisasi oleh project Dreamsea.
Sebagai seorang ulama besar dan juga mursyid tarekat yang memiliki pengikut berjumlah ribuan orang, keberadaan sosok Syaikh Hasan Maulani rupanya menjadi sebuah “ancaman” tersendiri bagi pihak kolonial Belanda. Pasalnya, sepanjang paruh pertama abad ke-19, Belanda terlibat serangkaian gerakan perlawanan dan perang terbuka dengan pihak masyarakat pribumi.
Di antara rangkaian perang tersebut adalah Perang Kedondong di Cirebon (1802-1818) dan juga Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830). Dalam dua perang tersebut, para ulama dan santri-santri mereka tampil sebagai garda depan dan tulang punggung pasukan pribumi.
Kebesaran pengaruh Syaikh Hasan Maulani dikhawatirkan Belanda akan dapat membangkitkan kembali semangat perlawanan rakyat pribumi untuk berperang melawan Kolonial Belanda. Selain itu, tampaknya kemasyhuran nama beliau juga menjadi sumber iri hati beberapa ulama Jawa Barat yang memiliki kedekatan dengan lingkaran kekuasaan kolonial. Di antaranya adalah Kiyai Penghulu Besar Cianjur.
Maka pada 29 Maret 1842, Syaikh Hasan Maulani pun ditangkap Belanda dan ditahan di benteng Cirebon. Setelah itu, Belanda memindahkan Syaikh Hasan Maulani dari satu penjara ke penjara lainnya untuk menghilangkan pengaruh dan mematikan kharismanya.
Dari Cirebon, beliau dipindah ke penjara Batavia selama sembilan bulan lamanya. Setahun kemudian (13 Maret 1843), Syaikh Hasan Maulani dibuang dan diasingkan oleh Belanda ke tempat yang jauh, yaitu ke Ternate. Dari Ternate, sosok ini lalu kembali dipindah ke penjara Kaima, lalu berakhir di pengasingannya di Tondano (Minahasa, Sulawesi Utara). Di Tondano, beliau dikumpulkan bersama para ulama yang menjadi tokoh sentral dalam Perang Diponegoro, seperti Kiyai Mojo, Kiyai Ghozali Mlangi, Kiyai Ahmad Demak, dan lain-lain.
Di tempat pengasingannya di Tondano itu jugalah, sosok Kiyai Ageng Lengkong ini wafat bertepatan dengan hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW, yaitu 12 Rabiul Awwal tahun 1291 H (30 April 1874 M). Jasad beliau dimakamkan di komplek pemakaman Gunung Patar Kempal (Kampung Jawa), Tondano.
Ketika berada di pengasingannya di Tondano, Syaikh Hasan Maulani tidak lantas putus hubungan dengan keluarga dan murid-muridnya yang berada di Jawa Barat. Beliau rajin menulis surat yang berisi warta kabar kesehatannya, kondisi kehidupan di pengasingan, termasuk terus menyampaikan pesan-pesan moral, ajaran-ajaran luhur agama Islam, dan juga menyalurkan semangat untuk tetap bertahan dan bangkit. Surat-surat tersebut ditulis dalam bahasa Jawa aksara Arab (Jawa Pegon) dan dikirim secara berkala kepada keluarga dan koleganya. Salah satu cicit Syaikh Hasan Maulani, yaitu M. Nida Fadlan, (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan peneliti PPIM Jakarta), telah meneliti surat-surat sang Syaikh dalam tesisnya yang berjudul “Surat-surat Eyang Hasan Maolani, Lengkong: Suntingan Teks dan Analisis Isi” (FIB Universitas Indonesia, 2015).
***
Sepucuk surat yang dikirim oleh Syaikh Hasan Maulani dari tanah pengasingannya di Tondano (Sulawesi Utara) itu rupanya ada yang disalin oleh salah satu muridnya yang berada di kota Bandung (Jawa Barat). Salinan surat tersebut tersimpan dalam manuskrip bernomor kode Or. 7038 koleksi Perpustakaan Leiden, Belanda (kelompok C. Snouck Hurgronje), halaman 67r-69r.
Dalam kolofon, salinan surat tersebut dilakukan di Bandung, bertitimangsa Senin Wage, 29 Syawal tahun Wawu 1265 Hijri (bertepatan dengan 17 September 1849 Masehi). Di sana, disebutkan juga usia Syaikh Hasan Maulani yang telah mencapai 67 tahun lebih 8 bulan.
Tertulis sebagaimana dalam kolofon salinan surat tersebut:
سنرة اع بندوع ثنين وكي كافع 29 شوال واو تهون هجرة 1265 يسوني كعجع كياهي 67 لعكوع 7 ولن
(Sinerat ing Bandung Senen Wage, kaping 29 Syawal Wawu tahun Hijrah 1265, yuswane Kangjeng Kiyahi 67 langkung 7 wulan [Tertulis di Bandung pada hari Senin Wage, tanggal 29 Syawal tahun Wawu, 1265 Hijrah. Usia sang Kiyai Ageng adalah 67 lebih 7 bulan])
Sang penyalin memberikan sedikit pengantar dalam bahasa Jawa Pegon sebelum bagian awal pembuka surat dengan mengatakan bahwa “berikut ini adalah salinan dari surat yang ditulis oleh Kanjeng Kiyai Lengkong dari tanah pengasingannya yang diperuntukkan kepada seluruh putra dan muridnya”. Tertulis di sana:
فونيكا سرتي كعجع كياهي اع ليعكوع نليكا دين بواع ماريع سبراع وولع ماريع فترء مريد كابيه
(Punika serate Kangjeng Kiyahi ing Lengkong nalika den buwang maring sabrang wewulang maring putra murid kabeh [Berikut ini adalah surat dari Kanjeng Kiyai dari Lengkong Ketika berada dalam pembuangannya di tanah seberang, berisi ajaran dan pesan untuk seluruh putra dan muridnya])
Dalam surat tersebut, Syaikh Hasan Maulani mengabarkan kepada anak-anak dan murid-muridnya bahwa beliau berada dalam keadaan yang baik dan sehat di tanah pengasingannya. Beliau juga berpesan kepada anak-anak dan murid-muridnya yang merasa khawatir akan keadaannya agar memperbanyak membaca istigfar, membaca shalawat, melaksanakan shalat, dan memanjatkan doa.
سدلور كابيه لن انك مريد كابيه ساءسنع بواه نوسا جاوا تكون اع لاكو2 كوايكو اورننا افا2 سلامة. لن منعي انك مريد كابيه بوك ان كع ولس ماريع اعسون ايكو فد دين روسا2 دوعا ماريع الله تعالى كع سرت فد دين روسا2 اولهي ماج استغفار لن صلوة لن صلاة موكا2 اعسون كفريعان سلامة ماريع الله تعالى
(Sedulur kabeh lan anak murid kabeh saisining bawah Nusa Jawa takon ing laku-lakuku iku ora nana apa-apa, slamet. Lan meninge anak murid kabeh bok ana kang welas maring ingsun iku pada den rosa-rosa donga maring Allah Ta’ala kang serta pada den rosa-rosa olehe maca istighfar lan sholawat lan sholat, muga-muga ingsung kaparingan slamet maring Allah Ta’ala [Seluruh saudara dan anak murid semuanya yang berada di Pulau Jawa, yang bertanya akan keberadaanku, aku baik-baik saja, tidak kurang apapun, dan selamat. Juga kepada anak muridku semua, jika ada di antara kalian yang merasa mencemaskan keadaanku, maka hendaknya untuk memperbanyak berdoa kepada Allah Ta’ala, diserta dengan memperbanyak membaca istighfar, juga shalawat dan melakukan shalat. Semoga aku senantiasa diberi keselamatan oleh Allah Ta’ala).
Selanjutnya, Syaikh Hasan Maulani berpesan agar hendaknya para murid dan anak-anaknya semua senantiasa menjalankan ajaran agama Islam sebagaimana yang telah diajarkannya. Beliau juga mengatakan, bahwa generasi murid yang tidak sempat berjumpa dengan dirinya, tetapi menjalankan wasiat dan amalan wirid-wirid tarekat yang tersambung periwayatannya kepada dirinya, maka akan diaku sebagai muridnya.
***
Pada bagian lain halaman manuskrip (hal. 51r), terdapat juga keterangan yang menjelaskan jika sang empunya manuskrip (yang juga sang penyalin surat) mimpi berjumpa dengan Syaikh Hasan Maulani.
فيموت كين كول اعمفي كعجع كياهي شيخ مولاني فسره امل دنيا اخرة اع دنتن مالم احد وكي ونجي جم فوكول ساتوعكل دوموكي اع فوكول سكاوان اع تعكل كافيع 13 ولن شوال واو تهون هجرة تامبي صلى الله عليه وسلم 1265
(Pimutaken kula angimpi Kangjeng Kiyahi Syaikh Maulani pasrah amal dunya akherat ing dinten malam Ahad Wage wanci jam pukul satunggal demugi ing pukul sekawan ing tanggal kaping 13 Syawal Wawu tahun Hijrah Nabi SAW 1265 [Untuk diingat, aku bermimpi Kanjeng Kiyai Syaikh Maulani pasrah amal dunia akhirat pada malam Ahmad Wage masa pukul satu hingga empat pada tanggal 13 Syawal Wawu tahun Hijrah Nabi SAW 1265/31 Agustus 1849 Masehi]).
* * *
Selain memuat jejak sejarah Syaikh Hasan Maulani Kuningan (Kiyai Ageng Lengkong), manuskrip bernomor kode Or. 7038 koleksi Perpustakaan Universitas Leiden yang ditulis (disalin) di Bandung pada paruh pertama abad ke-19 M tersebut juga memuat teks-teks lain berupa ajaran fikih, tasawuf, kumpulan doa, hizib, serta wirid tarekat Syathariah dan tarekat Rifa’iah.
Keberadaan manuskrip ini tentu saja sangat menarik. Selain mengisyaratkan adanya aktivitas dan budaya tulis menulis naskah di Bandung pada paruh pertama abad ke-19 M, manuskrip ini juga menunjukkan jika tradisi keilmuan Islam berkembang dengan sangat dinamis di kota itu, selain pengaruh dari sosok Syaikh Hasan Maulani Kuningan, meski setelah masa pembuangannya yang jauh di Minahasa.Wallahu a’lam.
Buitenzorg, Ramadhan 1442 Hijri/April 2022 Masehi
Nama lengkapnya Dr. Ahmad Ginanjar Sya’ban, MA. Filolog Muda NU ini adalah pakar naskah Islam Nusantara. Sehari-hari menjadi dosen di UNU Jakarta,