Simbah Kiai Haji Maimoen Zubair. Siapa yang tidak mengenal beliau? Pengasuh Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, ini kharismatik dan legendaris. Ia wafat pada Selasa, 6 Agustus 2019, di Mekkah dan dikebumikan di pemakaman Al-Ma’la. Kita kehilangan seorang Waliyullah.
Banyak orang mempunyai kisah dengan dan tentang Sang Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang memang memiliki pengaruh besar di dunia Islam di Indonesia, bahkan dunia, tersebut. Juga peran beliau dalam menjaga Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sayangnya, saya bukan seseorang yang punya kedekatan khusus dan pengalaman istimewa dengan Sang Paku Bumi Tanah Jawa ini. Saya hanya sekali sowan ke Sarang, itu pun demi mengantar seorang sahabat, Ajengan Ardi Gumilar, yang masih kerabat Pahlawan Nasional, Kiai Abdullah bin Nuh. Pada pisowanan pertama dan terakhir itu, saya sempat minta disuwuk Mbah Moen.
Seperti lazimnya setiap sowan kiai, saya merasa tidak cukup hanya mencium tangan beliau. Saya selalu membuka peci, kemudian menyodorkan kepala. Menyerahkan simbol kehormatan manusia. Berserah kepada Allah, terserah pada kiai akan bertindak apa pada kepala saya itu. Jika pun ditempeleng, saya akan terima—walau saya haqqul yaqin kiai takkan begitu. Dan, malam itu, syukur alhamdulillah, Mbah Moen berkenan berdoa dan meniup ubun-ubun saya.
Tak ada cerita lain saya selain itu. Jika pun ada, itu adalah ketika saya menemani Prof. Dr. KH Nadirsyah Hosen menemui Mbah Moen di sela-sela Muktamar 33 Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur, pada Agustus 2015. Dan, oleh karena itulah, saya tak hendak berbagi kisah karamah Mbah Moen, seperti hangat diriwiyatkan sejak beliau masih hidup dan semakin hangat setelah beliau wafat.
Apalagi, kita masih terhenyak dan takjub betapa doa Mbah Moen untuk diwafatkan pada hari Selasa di Mekkah, ketika beribadah haji, dikabulkan Allah. Video ceramah Mbah Moen tentang keistimewaan hari Selasa beredar di mana-mana dan disaksikan khalayak. Di dalamnya, beliau mengungkap tradisi libur ngaji di Sarang setiap Selasa dan bapak, simbah, dan leluhurnya pun seda pada hari Selasa. Masya Allah!
Mengutip Gus Luthfi Thomafi, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Lasem, Rembang, Simbah Kiai Abdul Hamid Pasuruan (Allah yarham) sudah menyebut Gus Moen (Mbah Moen muda) sebagai Maha Kiai karena ‘alim, ahli fiqh, dan sufi, dan sebagainya, sejak 70 tahun silam sepulang putra Kiai Zubair itu dari berguru di Mekkah. Hingga usianya yang 90 tahun pun, Mbah Moen masih menunjukkan ketegaran luar biasa menghadapi jasmani yang menua.
Dari sepenggal kisah Gus Mus (KH Ahmad Mustofa Bisri), yang juga Mustasyar PBNU, kita mengetahui bahwa Mbah Moen tidak bisa dicegah untuk istiqamah berangkat berhaji tahun ini, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya setiap tahun sejak beliau masih remaja. Pada musim haji tahun ini, tahun ketika Allah berkehendak mengabulkan doa Mbah Moen untuk diwafatkan di Mekkah, pada hari Selasa, ia ditemani pula berhaji oleh cucunya, Gus Shidqi.
Dari Gus Shidqi inilah, dalam sebuah obrolan ringan suatu malam di Yogyakarta, saya mengetahui bahwa Mbah Moen juga mengamalkan membaca Q.S. At-Taubah [9] : 128-129 setiap seusai mendirikan salat fardhu. Keutamaan mengamalkan dua ayat ini, sebagaimana saya terima dari Kiai Ja’far Shidiq, Mursyid Thariqah As-Syathariyah di Bogangin, Sumpiuh, Banyumas, adalah insya Allah pengamal dianugerahi kesehatan, panjang usia, rezeki barakah, ilmu yang bermanfaat, amal jariyah, dan istiqamah di jalan Allah.
Tentang fadhilah (keutamaan) umur panjang, Kiai Ja’far bahkan mengatakan, ”Sampai-sampai, malaikat seolah-olah lupa mencabut nyawa pengamal dua ayat akhir At-Taubah itu.” Tentu saja, sekilas, itu ujaran yang terlalu ekstrem. Bagaimana bisa Malaikat Izrail lupa menjalankan tugas? Namun, saya memilih untuk mengambil pelajaran dari tuturan guru saya tersebut, yaitu betapa siapa pun yang mengamalkan makna kedua ayat At- Taubah niscaya dianugerahi hidup yang berarti.
Akhlak mulia, pemikiran, perilaku dan tindakan, serta warisan ilmu Mbah Moen niscaya takkan pernah mati. Sosoknya bahkan akan tetap hidup di hati kita, takkan habis kita mengeyam pendidikan dan pengajaran dari beliau. Terlepas dari begitu banyak amalan batin yang Mbah Moen jaga sepanjang hayat, kita bisa petik beberapa di antaranya dari pemaknaan terhadap dua ayat yang diamalkannya itu.
Dalam Q.S. At-Taubah [9] : 128, Allah berfirman, ”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
Dalam lanjutan firman, yakni ayat 129, ditegaskan, ”Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung”.”
Sebagai seorang ‘alim, yang merupakan pewaris nabi, Mbah Moen juga mewarisi akhlak mulia Rasulullah Muhammad Saw., yang terus-menerus merasakan beban kehidupan umat Islam dan rakyat Indonesia. Ia juga seorang negarawan besar yang petuah dan sikapnya diteladani banyak orang, dari lapis paling bawah hingga paling atas. Mbah Moen benar-benar sangat menginginkan dirinya dan kita semua menjaga keimanan pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Pun sangat menginginkan keselamatan bangsa dan negara tercinta, Indonesia. Dan, kasih sayang Mbah Moen kepada makhluk Allah menembus sekat apa pun.
Tentu, kepada siapa pun, terutama pada para elite politik negeri ini dan para tokoh di berbagai bidang, Mbah Moen telah memberi pesan untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari siapa pun yang berusaha merongrong ideologi Pancasila dan mengganti bentuk negara kesatuan. Gus Miftah, KH Miftah Maulana Habiburrahman, pengasuh Pondok Pesantren Ora Aji, Yogyakarta, salah satu yang menerima dawuh tersebut.
Pada hari wafatnya Mbah Moen, di tengah suasana dukacita yang berkecamuk di hati kita, saya mengatakan Gus Miftah agar tak berlama-lama dalam kesedihan. Tugas kita masih panjang untuk meneruskan tongkat estafet Mbah Moen dan para pendahulu bangsa ini. Kita benar-benar tidak bisa hanya mengandalkan Gus Mus, Habib Luthfi bib Yahya, dan ulama lainnya yang telah mendarmabaktikan sepanjang hayatnya untuk tanah air. Kita sendiri yang harus bersatu dan berjuang.
Sesuai bidang masing-masing, kita harus terus bangkit dan bergerak. Saya menulis pesan pada Gus Miftah untuk terus berkomunikasi dengan para pejuang lainnya. Beberapa yang saya sebut dalam percakapan itu adalah Gus Muwaffiq, Gus Prof. Nadirsyah Hosen, Gus Baha’, dan tentu masih banyak lagi lainnya. Terutama dalam meneruskan perjuangan Nahdlatul Ulama, yang tahun depan akan mengadakan Muktamar 34, para kiai muda ini kini menjadi tambatan sambatan umat.
Generasi muda NU harus memastikan tetap berdiri di garda paling depan menjaga Indonesia. Bersatu padu dengan segenap elemen bangsa yang satu nusa, satu bangsa, satu bahasa pemersatu, dan satu tujuan menjaga Indonesia.
Dalam cengkerama lain, Gus Abdul Ghaffar Rozin, Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, mengingatkan pula untuk tidak berhenti merawat dan meruwat Nusantara sepeninggal Mbah Moen. Dan, cukuplah bagi kita betapa Allah saja sebagai Penolong dan pada-Nya kita bertawakal.
Dalam unggahan di media sosial, Gus Mus memang telah mengingatkan, ”Mautul ‘alim mautul ‘alam, matinya seorang ‘alim adalah matinya alam,” karena kematian seseorang yang berilmu disertai padamnya cahaya ilmu. Namun, itu juga sekaligus dapat dimaknai sebagai perintah untuk menyalakan tanda bahaya: janganlah kita berlama-lama membiarkan kegelapan menguasai hidup kita. Bangkit, jaga nyala yang masih hidup, dan mari nyalakan pelita berikutnya!