NKRI

Mengupayakan Gerakan Islah Nasional

4 Mins read

Ketika membaca tulisan Denny JA yang berjudul “NKRI Bersyariah Atau Ruang Publik Yang Manusiawi?”, kita akan diajak untuk menakar pernyataan Habib Rizieq Shihab -yang ia beri keterangan sebagai pendukung Prabowo- mengenai seruan mewujudkan NKRI Bersyariah. Lebih lanjut, Denny membandingkan antara seruan NKRI Bersyariah dengan hasil riset yang ia sadur dari web islamicity-index.org. Yang mana hasil riset tersebut justru menempatkan Selandia Baru, Netherland, Swedia, Irlandia, Switzerland, Denmark, Kanada, serta Australia sebagai 8 besar negara dengan Islamicity Index tertinggi di tahun 2017. Adapun representasi negara muslim dengan score paling tinggi diraih Malaysia yang berada di peringkat 43, disusul oleh Uni Emirat Arab di peringkat 47, Albania di peringkat 48. Indonesia sendiri berada di peringkat 74.

Hal ini memunculkan beberapa pertanyaan. Relevankah penerapan NKRI Bersyariah dalam konteks kekinian jika merujuk dari hasil index tersebut? Mana yang lebih Islami? Selandia Baru atau Indonesia? Mana pula yang lebih penting? Label? Atau substansi? Label Islam atau praktek nilai Islami? Yang intinya Denny ingin menyampaikan bahwa Pancasilalah rumusan paling relevan untuk bangsa Indonesia, bukan NKRI Bersyariah.

Islamicity index sendiri agaknya terilhami oleh pernyataan Mohammad Abduh yang resah melihat gejala kejumudan yang membuat umat Islam statis tak mau menerima perubahan dan bertahan pada tradisi. I went to the West and saw Islam, but no Muslims. I got back to the East and saw Muslims, but no Islam. Aku pergi ke Barat dan melihat Islam, tapi tak ada Muslim. Aku kembali ke Timur dan melihat muslim, tapi tak ada Islam. Kira-kira seperti itulah kritik Abduh atas kondisi umat Islam yang menjadi inspirasi bagi Hossein Askari dan kawan-kawan di dalam Islamicity Foundation. Bagi Abduh, kemajuan Islam akan terhalang oleh orang-orang Islam itu sendiri apabila mereka enggan menerapkan nilai-nilai Islam.

 

Jadi saya pikir, latar belakang penelitian Islamicity Index cukuplah fundamental. Tidak hanya membandingkan mana yang lebih baik antara negara muslim dengan negara barat. Lebih dari itu, penelitian tersebut diharapkan dapat menstimulus Negara Muslim agar lebih meningkatkan efektivitas lembaga negara yang dimilikinya. Sehingga melalui riset tersebut diharapkan menjadi lecutan bagi negara muslim dalam mengembangkan dan memperbaharui institusi negara yang dimilikinya. Diharapkan juga melalui indeks Islamcity tersebut setiap muslim lebih terpacu dalam mendalami dan mengamalkan Alquran. Dari sini juga bisa digunakan sebagai indikator kinerja negara muslim yang berkelanjutan dengan melihat hasil peraturan perundang-undangan, pemerintahan, serta komunitas umat di dalamnya.

Jadi, kalaupun hari ini didapatkan hasil dimana negara barat mendapatkan nilai indeks lebih baik dibanding negara muslim, janganlah lantas kita simpulkan bahwa sistem dan ideologi negara barat pasti lebih baik untuk diterapkan di negara muslim. Jangan pula dijadikan dalih agar kita skeptis dengan wacana penerapan syariah yang diakui atau tidak memang tertulis dalam Al Quran. Justru melalui Islamicity index tersebut kita harus belajar bagaimana Malaysia bisa lebih unggul dibandingkan negara muslim lainnya. Atau mengkaji upaya apa yang sudah Indonesia lakukan hingga posisinya naik dari peringkat ke-88 di tahun 2015 menjadi ke-74 di tahun 2017.

Tawaran NKRI bersyariah sendiri sejatinya masih bisa dibicarakan tanpa perlu resistensi yang berlebihan. Toh dalam seruannya, mereka mengklaim bahwa tawaran NKRI bersyariah telah sesuai dengan sila satu Pancasila. Caranya dengan menyepakati kembali penafsiran Pancasila dalam konteks kekinian, bukan membenturkannya dengan Islamcity Index.

Bukankah Pancasila sendiri lahir sebagai jalan tengah yang disepakati antara kelompok nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler yang pernah berdebat alot dalam Sidang BPUPKI ketika membahas penentuan bentuk dan dasar negara Indonesia? Tokoh Nasionalis Islam yang diwakili oleh Ki Bagus Mangunkusumo mengusulkan agar dasar negara Indonesia adalah Islam. Perwakilan dari kelompok nasionalis menghendaki mendirikan negara kebangsaan. Sehingga untuk menengahi perdebatan yang alot tersebut, dibentuklah Panitia Sembilan yang diketuai oleh Ir. Sukarno dengan dianggotai juga oleh K.H.Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, H.Agus Salim dan Abi Kusno Tjokrosoejoso sebagai perwakilan Islam. Dan dihasilkanlah Piagam Jakarta yang didalamnya memuat poin-poin dasar negara yang hari ini kita namakan Pancasila. Semua kembali bersatu, Indonesia pun berhasil memproklamirkan diri.

Hari ini kita seolah kembali merasakan apa yang pernah terjadi di masa lalu. Terjadi polarisasi yang kali ini melibatkan dua kubu ideologi politik yang bertentangan. Ada kelompok yang mengklaim dirinya paling Pancasilais, pembela NKRI. Ada kelompok yang mengaku paling Islami, representasi mayoritas suara umat Islam. Keduanya bergesekan, pelabelan antarkubu pun tak terelakkan lagi. Ada yang dilabeli kelompok komunis gaya baru yang berujung pada sweeping buku. Ada yang dilabeli kelompok radikal serta teroris yang berujung pada pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid. Ada yang dituduh hendak mengubah dasar negara dengan Islam. Ada yang dituduh anti syariah serta antek aseng. Sampai munculah istilah cebong dan kampret. Apapun yang dilakukan cebong selalu salah di mata kampret. Apapun yang dikatakan kampret selalu salah di mata cebong. Parahnya, labeling tersebut dibiarkan berlarut-larut dan makin membabi buta. Bahkan belum tentu tuduhan-tuduhan liar itu dialamatkan kepada objek yang tepat. Ruang publik kita sudah sangat tidak manusiawi, bahkan sebelum wacana NKRI Bersyariah itu didengungkan.

Maka tidak ada solusi lagi selain mendamaikan dua kelompok ini. Gerakan islah harus diperjuangkan. Fa-ashlihu bainahumaa, itulah yang Allah perintahkan di surah Al-Hujurat. Memperuncing ketegangan di antara keduanya akan berakibat pada rusaknya Persatuan Indonesia. Merusak persatuan, sama saja dengan mengkhianati Pancasila itu sendiri. Ruang publik yang manusiawi bisa terwujud apabila kita berhasil memutus lingkaran kebencian ini. Islam dan Pancasila tidak cukup hanya dijadikan sebagai identitas bangsa saja. Lebih dari itu keduanya harus kembali disinergikan dan diinternalisasikan untuk menjawab isu-isu faktual yang dihadapi bangsa ini seperti peningkatan sumber daya manusia, sosial, hukum, pengelolaan sumber daya alam, ekonomi, teknologi, dan lain sebagainya.

Karenanya, penting bagi kedua kelompok ini untuk dipertemukan. Bukan untuk memperdebatkan suatu hal, tapi menyepakati urusan bangsa yang lebih penting sebagaimana para founding father kita dulu bersepakat menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Jika hal ini dapat dicapai, maka NKRI bersyariah dan ruang publik yang manusiawi bisa kita wujudkan bersama-sama tanpa perlu menggugurkan salah satunya. (*)

Noverdi Afrian

*Penulis adalah warga Tegal, Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Tengah periode 2013-2015Selengkapnya baca di sini I

2121 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
NKRI

Buya Hamka, Urgensi Pendidikan dan Spirit Nasionalisme Islam

2 Mins read
Belakangan ini publik sedang ramai menikmati sajian film biografis Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang populer disebut Buya Hamka. Beliau adalah sosok…
NKRI

Kontroversi Soeharto

3 Mins read
Di ujung masa jabatannya, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2019-2024 yang dipimpin Bambang Susatyo dari Partai Golkar membuat keputusan kontroversial: menghapus nama…
NKRI

Ceramah Kiai Saifuddin Zuhri Mengenai Gesekan NU dan PKI di Lingkungan Parlementer

2 Mins read
Sudah umum kita ketahui bersama bahwa dua kubu ini selalu bergesekan baik di akar rumput maupun di parlemen. Tragedi Madiun Affair pada…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *