Orang Jawa identik dengan bermacam upacara selamatan. Baik upacara selamatan dalam pernikahan. Kelahiran bayi, bahkan sampai upacara selamatan bagi seorang yang telah meninggal dunia. Di minggu terakhir, sebelum bulan puasa bagi orang Jawa mementingkan ke kuburan orang tua atau leluhurnya. Orang yang menyebut dengan ânyadranâ yang merupakan cara untuk menggagungkan, menghormati, dan memperingati roh leluhur.
Dalam tradisi orang Jawa, sebelum memasuki bulan Ramadhan. Orang dari perantauan kembali ke kampung masing-masing, hanya untuk melakukan ritual ânyadranâ ini. Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi kebudayaan yang terjadi hampir setiap kampung di Jawa.
Catatan Pengkaji Jawa
Banyak tulisan yang mendeskripsikan selametan yang di dalam ada ritual nyadran. Diantaranya Antropolog Clifford Geetz yang menyebut Slametan merupakan bentuk ritual orang Jawa sebagai pusat dari seluruh sistem keagamaan orang Jawa. Penyebabnya ini tidaklah berlebih, sebab pada realitasnya hingga saat ini selametan masih eksis di masyarakat Jawa. Meski arus puritanisasi Islam sering mengklaim bahwa ritual ini bidâah, namun tidak banyak orang Jawa percaya pada hal itu.
Peneliti kebudayaan Jawa seperti Koetnjaraningrat, Mark Woodward, Andrew Beatty, dan Masdar Hilmy menaruh perhatian mengkaji tentang selamatan, yang pada akhirnya memunculkan klaim yang beragam terhadap ritual. Diskursus yang dipersilihkan oleh pengkaji anara Geertz dan Woodward salah satunya klaim: apakah akar slametan dari tradisi Islam ataukah tradisi animistik Jawa.
Geertz mengatakan bahwa tradisi slematen berasal dari tradisi yang kedua. Berbeda dengan Geertz, Woodward memandang bahwa spirik dari slametan adalah Islam bukan animistik Jawa, adapun teknis ritual mengambil tradisi lokal. Pandangan yang lain, dari Masdar Hilmy yang berusaha menawarkan pendapatan perpektif holistik, dengan memandang slametan dari kacamata tekstual serta konstekstual. Hilmy berkesimpulan bahwa slametan bersifat sinkretik antara Islam dan tradisi lokal Jawa.
Para pengkaji tentang Jawa, membuktikan bahwa selamatan yang di dalamnya adanya Nyadran memberikan bukti bahwa tradisi ini sangat menguat di akar rumput. Tidak mudah ditinggalkan bahkan telah menjadi siklus tahunan bagi orang Jawa. Tulisan ini ingin mendeskripsikan bagaimana orang Jawa dalam mempraktikan ritual Nyadran menjelang puasa Ramadhan.
Tradisi Nyadran telah ada pada masa Hindu-Budha sebelum agama Islam masuk di Indonesia. Zaman kerajaan Majapahit tahun 1284 ada pelaksanaan seperti tradisi nyadran yaitu Craddha. Ada persamaan tradisi pada kegiatan manusia dengan leluhur yang sudah meninggal seperti sesaji dan ritual sesembahan untuk penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggal.
âNyadranâ Sebuah Siklus Hidup
Tradisi Nyadran merupakan ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyong dengan memajatkan doa selamatan. Pelaksanaan tradisi nyadran pada Hindu-Budha menggunakan puji-pujian sebagai pelengkapan ritualnya sedangkan ketika penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para wali songo dialkuturasikan dengan doa-doa yang bersumber dari Al-Quran.
Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya. Pengaruh agama Islam, ada pergesaran makna Nyadran sebagai kirim doa untuk keluarga yang telah tiada. Pelaksanaan Nydaran sebagai sarana intropeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama satu tahun.
Secara etimologis, Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembesihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya beruba kenduri selamatan di makam leluhur.
Kegiatan menyelanggara kenduri diawali dengan pembacaan ayat Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa, kemudian ditutup dengan makan bersama. Dipimpin oleh seorang tokoh agama atau masyarakat desa sering menyebut dengan Mudin. Kemudian kegiatan gotong royong melakukan besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan. Dan Terakhir, melakukan ziarah dengan berdoa kepada roh yang telah meninggal di area makam.
Nyadran dilaksanakan selama hari ke-10 bulan Rajab, atau saat datangnya bulan Syaâban . Dalam ziarah kubur, biasanya membawa bunga terutama bunga telasih. Bunga ini sebagai lambang adanya hubungan yang akrab antara peziarah dengan arwah yang diziarahi. Masyarakat yang mengikuti nyadran berdoa untuk kakek-nenek, bapak-ibu serta saudara-sudara yang telah meninggal. Seusai berdoa mengelar kenduri dengan makan bersama sepanjang jalan mengelar tikar dan daun pisan.
Tiap keluarga yang mengikuti kenduri harus membawa makanan sendiri. Makanan yang dibawa wajib berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, prekedel, tempe, tahu bacem dan sebagainya.
Motivasi Beragama
Fenomena nyadran bagi orang Jawa bahwa mereka mempuyai motivasi beragam. Untuk menjelaskan fakta tentang motivasi, maka Joachim Wacth tentang pengalaman keagamaan, dimana pengalaman keagamaan merupakan tanggapan terhadap realitas multlak.
Pengalaman keagaman atau keyakinan pada setiap individu terhadap ritual Nyadran, Wacth membangi ungkapan pengalaman keagamaan menjadi tiga bagian, yaitu ungkapan keagamaan dalam bentuk pemikiran, perbuatan, dan persekutuan.
Pertama,ritual nyadran merupakan pengalaman keagamaan yang diungkapan secara intelektual, bersifat spontan atau belum baku. Awalnya, motivasi melakukan ritual nyadran karena turun-temurun, yang terdapat dalam sebuah mite atau foklor setempat. Kedua, pengalaman yang diungkapkan dalam bentuk dokrtrin. Apa yang dijelaskan oleh foklor atau mite dijelaskan secara sistematis.
Dalam konteks, ritual nyadran bagi orang Jawa beragam motivasi keagamaan. Diantaranya, selain ungkapkan saling mendoakan antara orang yang telah tiada dengan yang masih hidup. Ada fungsi, integrasi masyarakat disana. Siklus tahunan ini menjadi ruang sosial untuk memperkuat hubungan antar masyarakat. (*)