Pancasila

Pancasila, 1. Syahadat…

4 Mins read

“Kita sebagai muslim, belajar PMP formalitas saja. Moral Pancasila itu buatan manusia. Sedangkan moral Islam itu bersumber dari Al Quran, buatan Alloh.”

Begitu seorang guru PPL (Praktik Pengenalan Lapangan) dari IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Bandung berkata kepada siswa Kelas 2 SMP. Tidak tahu pastinya, bagaimana para siswa satu kelas yang semuanya Muslim merespon. Tapi bagiku, kalimat itu cukup mengganggu pikiran. Jika menyetujuinya, berarti aku berpura-pura menjalani proses pendidikan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila. Formalitas saja. Lain di pikir hati, lain juga di atas kertas tugas dan ujian.

Aku lahir dan besar hingga SMA di Kota Serang, Provinsi Banten, pemekaran Jawa Barat. Bersekolah celana merah pada 1990-1996 di salah satu kota pusat penyebaran agama Islam di Indonesia ini, membuatku tidak punya teman yang beragama Kristen, Hindu, Budha, atau lainnya. Baru saat SMP dan SMA aku punya teman beragama Protestan dalam satu regu Pramuka.

“Sep maaf. Ini nih boleh saya jadiin bantal nggak sih?” Tanya Bernabus Sandi dalam tenda menunjuk sejadahku.

Ia bercerita, agamanya Kristen Protestan. Ini berarti, Syarat Kecakapan Umum (SKU) Penggalang Ramu Bernabus Sandi, ada yang berbeda denganku yang beragama Islam. Uniknya, karena di SMP kami semua guru, pembina Pramuka, dan kakak senior Pramuka beragama Islam, Bernabus Sandi tidak mengalami ujian SKU sebagai pemeluk agama Protestan. Sebagai minoritas, Bernabus Sandi tampak terbiasa dengan perlakuan orang mayoritas. Mungkin juga begitu saat ia tahu ada guru PPL yang mengarahkan siswa muslim belajar PMP sebagai formalitas saja.

Sebelum momen guru PPL, buatku yang bersekolah dalam Pemerintahan Orde Baru, Pancasila akrab sebatas rutinitas. Lagu “Garuda Pancasila” ditayangkan tiap hari selepas maghrib oleh TVRI sebagai satu-satunya stasiun televisi di Indonesia. Karena hapal dan mudah, lagu ini pun biasa jadi pilihan saat guru memintaku bernyanyi Lagu Wajib Nasional. Sebagai anak yang jarang sakit dan relatif tak berhambatan datang ke sekolah, Pancasila pun diucapkan setiap Upacara Bendera Hari Senin.

“Pancasila,

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
  2. Kemanusiaan yang adil dan Beradab;
  3. Persatuan Indonesia;
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Pascamomen guru PPL, awalan Pancasila berubah menjadi, “Pancasila, 1. Syahadat.”

“Ketuhanan Yang Maha Esa itu kalimat lain dari tiada tuhan selain Alloh, Sep,” kata ayahku merespon setelahku bercerita tentang guru PPL.

Menurutnya, Sila Pertama Pancasila adalah Tauhid. Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia tapi bukan negara Islam. “Ketuhanan Yang Maha Esa” lebih bisa diterima dibanding “tiada tuhan selain Alloh”.

Saat silaturahim Idul Fitri ke orangtua ayahku, momen guru PPL itu dibahas kembali. Sebagai inisiator pembahasan, ayahku menilai kakek bisa lebih jelas berpendapat soal Sila Pertama Pancasila. Aki, begitu kami memanggilnya, merupakan tenaga ahli Partai Masyumi pada parlemen pertama Indonesia hasil Pemilu 1955. Tepatnya ahli stenografi dalam komunikasi dan korespondensi di internal partai dan parlemen.

Sebelumnya, aku tahu Aki sebagai muslim yang punya ritus berbeda dengan kebanyakan orang Banten. Aki seorang Muhammadiyah di tengah kepungan kaum Nahdatul Ulama. Tinggal di daerah Kaloran, sebagai kauman Kota Serang, Aki memulai dan mengakhiri Ramadan dengan hisab. Ia tarawih 8 rakaat dengan 3 rakaat witir. Ia sahur di jelang Subuh. Doa Iftitahnya “Allohuma baid baini…” bukan “Allohu akbar kabiro…”. Alfatihah dan surat pendamping dalam sholatnya tanpa basmallah. Telunjuk kanannya bergerak tanpa henti dari awal hingga akhir duduk tahiyat. Selepas salam penutup shalat, ia tidak meminta salaman dengan jamaah di sampingnya.

“Sila Pertama Pancasila adalah sila terpenting bagi umat Islam Indonesia, Sep,” kata Aki menjadi orang pertama dalam hidupku yang menjelaskan sejarah Pancasila di luar kurikulum sekolah.

Menurut Aki, umat Islam punya pengaruh besar dalam rumusan teks Pancasila. Pertama, sila Ketuhanan menjadi sila pertama. Kedua, adanya kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Perwakilan umat Islam awalnya ingin Pancasila itu sebagai Piagam Madinahnya Indonesia. Namanya Piagam Jakarta. Sila pertamanya berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.

Tujuh kata setelah “Ketuhanan” lalu dihilangkan. Diganti dengan tiga kata, “Yang Maha Esa”. Bagi perwakilan umat Islam, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah kalimat lain dari syahadat. Penekanan syahadat dalam Sila Pertama juga yang jadi salah satu sebab umat Islam mau menerima rumusan Pancasila yang masih bertahan sampai saat ini. Tepatnya syahadat tauhid. Syahadat illahiah. La illaha Illalloh, tiada tuhan selain Alloh.

“Kalo Usep jadi takut pura-pura saat belajar PMP sebagai formalitas, itu memang nggak bisa dihindari,” kata Aki.

Kalimat itu diucapkan Aki berdasar keyakinan dan pengalamannya. Setelah Soekarno membubarkan Masyumi dan lebih dekat ke Partai Komunis Indonesia (PKI), Islam sebagai agama yang hampir dipeluk seluruh warga negara Indonesia ini malah makin dimarjinalkan pada Era Soeharto. Partai Islam lainnya mengalami fusi partai menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang tidak pernah memenangkan pemilu. Islam sebagai asas partai dilarang lalu diubah menjadi Pancasila sebagai asas tunggal. Islam sebagai perjuangan politik pun diharamkan negara lalu ditempatkan sebatas ritual kepada Tuhan.

“Dari Soekarno, Soeharto, dan orang-orang yang mengatasnamakan Pancasila, kita tahu bahwa tidak ada sosok suri teladan dalam Pancasila,” ujar Aki mengingatkan.

Aki membenarkan apa yang diucapkan guru PPL IKIP Bandung itu. Moral Islam adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Ini adalah syahadat yang utuh. Dua kalimat syahadat tepatnya. Pertama adalah syahadat tauhid: Asyhadu anlaa ilaaha Illallah (aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Alloh). Kedua adalah syahadat rasul: Wa ayshadu anna Muhammada Rasulullah (dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Alloh).

Dari dua kalimat syahadat itu, jelas bahwa Islam dari Alloh tidak hanya menyediakan Al Quran sebagai teks syariat tapi juga menyertakan Nabi Muhammad sebagai model. Islam bukan hanya memberikan konsep ajaran tapi juga contoh sosok pembuktian.

Mengingat penjelasan Aki sekarang ini aku disadarkan, semua penjelasan tentang Islam tidak dimiliki Pancasila. Orang bisa mengatasnamakan Pancasila dengan rangkaian kata yang indah dan penjelasan yang memikat, tapi tidak bisa membuktikan utuhnya pelaksanaan Pancasila. Ini tanda Pancasila dalam mata pelajaran, dari PMP, PPKn, hingga PKn, lebih sebagai alat dari elite pemenang pemilu untuk mempertahankan kekuasaannya.

Islam bisa menunjukan sosok paling Islamis dalam wujud Nabi Muhammad SAW tapi tidak dengan Pancasila. Siapa sosok paling Pancasilais di nusantara ini? Apakah Soekarno, karena ia yang melahirkan Pancasila? Atau Soeharto, karena ia yang membuat Pancasila menjadi sakti? Apakah Joko Widodo, karena ia yang membuat badan ideologi Pancasila? Atau malah Japto Soerjosoemarno, karena ia membuat Pancasila terus muda?

Hal tersebut jadi salah satu sebab Pancasila terus mengalami gugatan, khususnya bagi kelompok Islam. Jadi, wajar jika ada narasi politik Islam yang berpendapat bahwa sila terpenting Pancasila adalah sila pertama sebagai manifesto syahadat ketauhidan. Pada dasarnya, memang ada sejarah panjang umat Islam sebagai kelompok yang terlibat dan berkontribusi dalam kemerdekaan dan perumusan Pancasila. Selain itu, memang sejarah menjelaskan penyingkiran kelompok Islam sehingga belum berkesempatan menang berpolitik dan memimpin pemerintahan.

Menjadi tidak wajar jika kelompok Islam mengucap,

“Pancasila,

  1. Syahadat;
  2. Sholat;
  3. Zakat;
  4. Puasa;
  5. Haji ke Baitulloh.”

Jika itu yang diucap, maka bukan lagi Pancasila, melainkan Rukun Islam. Ini bukan lagi obsesi mengingat sejarah Sila Pertama tapi malah mengubah nilai universal Pancasila menjadi wujud partikular ritus Agama Islam. Ini tidak lagi mengembalikan Piagam Jakarta dalam Sila Pertama melainkan mengubah lima sila negara menjadi lima rukun agama.

2121 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
Pancasila

Kota Tanpa Jiwa: Urbanisasi dan Kehilangan Identitas Budaya

3 Mins read
Di tengah arus urbanisasi yang pesat, banyak kota besar di seluruh dunia mulai kehilangan identitas budaya mereka. Urbanisasi, sebagai fenomena perpindahan penduduk…
Pancasila

Maraknya Kriminalitas Di Indonesia, Krisis Nasionalisme?

2 Mins read
Di Indonesia saat ini sedang marak-maraknya tentang kejahatan, terutama tindakan kriminalitas yang semakin banyak dan merajalela. Tindakan kriminalitas sering yang terjadi cukup…
Pancasila

Menelisik Masa Depan Indonesia dalam Pancasila

1 Mins read
Tahun 2024, dengan segala prediksi dan harapan yang membawa kita melintasi perbatasan senja tahun 2023, menjadikan masa depan Indonesia sebagai panggung utama…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *