Pilarkebangsaan.com. Saya selalu tertarik mengikuti sejarah panjang perempuan-perempuan hebat. Yang punya peran sentral dalam menata kehidupan publik. Apalagi terlibat langsung mengatur jalannya imperium dunia. Berbagai penyelidikan historis yang dilakukan secara pribadi membuktikan, perempuan juga memiliki peran signifikan terhadap jalannya peradaban suatu bangsa.
Mari sejenak kita kenali Cleopatra di Mesir, Ratu Kunti di India, Joan of Act di Perancis, Sayidah Khadijah di Islam, dan Gayatri Rajapatni di Indonesia. Mereka adalah sederet nama yang menorehkan kisah kepahlawanan, yang hingga kini, masih dikenang dalam ingatan banyak orang.
Pada beberapa tahun yang lalu, saya pernah membaca biografi Cleopatra, ratu jelita kebanggaan masyarakat Sunga Nil, Mesir. Dikenal dengan kecantikannya yang eksotis dan memesona, dia pikat hati banyak pria, tak terkeculi dua petinggi Romawi: Julius Caesar dan Mark Antony. Konon, perempuan ini pula yang menjadi salah satu penyebab kehancuran Romawi Kuno.
Tapi, daya tarik Cleopatra bukan sebatas pada pesona rupa dan kemolekan tubuh yang dimilikinya. Dia juga cukup cakap menjalankan roda pemerintahan hingga mengantarkan Mesir pada kemakmuran yang hakiki. Hidup rakyatnya bahagia. Namanya diukir dalam banyak karya seni, seperti musik, seni rupa, tarian, film, koin, lukisan, buku, dan novel. Bahkan, Whilliam Shakespeare mengabadikan Cleopatra dalam gelaran teater berjudul Antony and Cleopatra.
Di bagian dunia yang lain, India. Saya sangat tertegun dengan ketabahan Ratu Kunti, ibunda para putra Pandawa. Dalam epos Mahabharata, Kunti digambarkan sebagai sosok ibu yang tangguh, tak mudah mengeluh, meski ditinggal mati suami. Dalam sejarah panjang bangsa Arya di India, Kunti bersama kelima anaknya telah merubah haluan zaman kegelapan (Kurawa) ke alam penuh cahaya (Pandawa).
Saya pernah membaca buku Ajaran Dewi Kunti yang dipinjamkan oleh bapak kos saya dulu, I Nyoman Kawi, sewaktu saya masih tinggal di Ciputat. Buku itu memuat ajaran, petuah, dan doa-doa harian Kunti, yang hingga kini, ternyata masih dipedomani kaum ibu di India. Bagi mereka (kaum ibu) Kunti adalah ibu ideal yang hadir di segala zaman. Nafas kehidupan bagi generasi muda.
Sedangkan di duni Barat, khususnya Prancis, nama Joan of Arc menjadi salah satu ikon sejarah tentang ketokohan seorang figur perempuan. Joan of Arc adalah gadis belia yang tinggal di pelosok sebuah desa. Usianya masih 17 tahun saat bergabung menjadi tentara. Berkat visi spiritual yang dialaminya, dia berhasil kemudian mepimpin pasukan tempur Prancis merebut wilayah-wilayah penting dari cengkeraman Inggris. Pada tahun 1453, Prancis berhasil menundukkan semua wilayah yang dikuasai negeri Ratu Elizabeth, kecuali Calais.
Sedangkan di Timur Tengah, dalam sejarah awal penyebaran Islam,nama Khadijah binti Khuwailid, sitri Kanjeng Nabi Muhammad, tentu sangat dikenal jutaan orang di berbagai belahan dunia hingga saat ini. Dia ibarat matahari yang terus memberi cahaya agar semangat dakwah Nabi tetap menyala. Kontribusinya begitu penting terutama di fase awal kemunculan Islam.
Dia adalah orang pertama yang mengimani kebenaran Islam, bahkan sebelum Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Dalam banyak literatur, sosok perempuan yang kita diskusikan ini mendapat tempat cukup istimewa. sanjungan dan penghomatan datang silih berganti, diberikan para sarjana Timur maupun Barat. Para penulis biografi Nabi Muhammad, semisal Ibn Ishaq, Ibn Hisyam, Muhammad Husein Haekal, Martin Lings, Karen Armstrong bahkan juga memberikan penghormatan setinggi-tingginya.
Entah berapa nama perempuan hebat yang perlu saya sebutkan. Sejak sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, kita mengenal Cut Nyak Dien, Raden Dewi Sartika, Raden Ajeng Kartini, Ruhana Kudus, dll. Bahkan bila kita tengok lebih jauh di zaman raja-raja berkuasa, sosok seperti Ratu Sima, Tribuwana Tunggadewi, dan Gayatri Rajapatni, juga tidak boleh luput untuk disebut.
Nama yang terakhir disebut mungkin masih terasa asing di telinga. Setiap kali kita membaca sejarah keperkasaan Majapahit, nama yang muncul semuanya dari kaum pria: Raden Wijaya, Hayam Wuruk, Patih Gajah Mada, Patih Nambi, Lembu Sora, Ronggo Lawe, Banya Kapuk, Gajah Pagon, Gajah Biru, dll. Kalaupun harus menyebut nama perempuan, maka yang muncul adalah Tribuwana Tunggadewi.
Gayatri Sri Rajapatni atau Dyah Prajnaparamita adalah istri keempat Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana), Raja Majapahit pertama. Dia merupakan ibu dari Ratu Majapahit ketiga, Sri Gitarja (Tribuwana Tunggadewi), juga nenek dari Hayam Wuruk (Rajasanegara), raja yang membawa Majapahit pada puncak kejayaan. Di kemudian hari, dari dia lah (Gayatri), raja-raja dan ratu ternama di Tanah Jawa muncul.
Seorang peneliti dari Kanada, Earl Drake, dalam investigasinya yang serius selama 20 tahun, menghasilkan temuan yang cukup mengejutkan. Bila selama ini, kejayaan Majapahit selalu dihubungkan dengan Raden Wijaya, Tribuwana Tunggadewi, Hayam Wuruk, dan Patih Gajah Mada, Drake justru punya kesimpulan lain. Menurutnya, Gayatri adalah tokoh sentral di balik kejayaan imperium Majapahit. Sebelum Gajah Mada bersumpah menyatukan Nusantara, Gayatri yang saat itu menjadi Ibu Ratu sudah berniat untuk melakukannya.
Cita-cita besar Gayatri menyatukan Nusantara, kata Drake, dalam rangka memenuhi keinginan sang ayah, Kertanegara (Raja Singosari), yang belum sempat terlaksana namun dia keburu meninggal di tangan pasukan Glang-Glang saat penyerbuan Kediri yang dipimpin Jayakatwang. Gayatri juga punya peran penting dalam mengatasi serbuan tentara Mongol (Kubilai Khan) yang datang menuntut balas atas penghinaan Kertanegara pada utusan mereka.
Tulisan singkat ini, saya persembahkan untuk perempuan-perempuan hebat di dunia, para ibu dan kaum hawa semua. [AA]
Muhammad Asrori Mulky. Baca selengkapnya di sini I