Feodalisme di Indonesia biasa diartikan sebagai pembagian kekuasaan untuk menguasai wilayah. Melalui feodalisme penguasa akan semakin berkuasa atas wilayah dan rakyat biasa hanya akan tetap pada tempatnya.
Melalui sistem feodalisme, petani berperan penting dalam berjalannya kehidupan dan menjadi tulang punggung bagi suatu pemerintahan.
Feodalisme sendiri adalah istilah yang berkembang di Eropa pada abad pertengahan, namun seiring dengan perkembangan zaman istilah feodalisme sudah jarang diterapkan, karena feodalisme dianggap hanya efektif jika diterapkan dalam jangka pendek. Feodalisme pernah diterapkan di Indonesia, yakni pada masa kerajaan-kerajaan kuno seperti mataram kuno dan juga pada era kolonial.
Era Kerajaan Mataram
Pada saat kerajaan Mataram berdiri, kerajaan ini menggunakan ideologi manawa, yang mana arti dari bunyi kitab manawa adalah “semua tanah dan tenaga kerja yang ada diatas tanah adalah milik kerajaan bukan milik pribadi” atau dengan kata lain Raja adalah pemilik segalanya.
Sistem sosial yang dibangun juga menggunakan sistem Feodalisme, dengan tingkatan pertama diisi oleh Bagsawan (raja) dan tingkatan kedua diisi oleh Patuh (pemegang hak lunggu)
Untuk pemegang hak lunggu (patuh) terbagi menjadi 2 yaitu Nayaka yang merupakan perangkat administrasi Raja, dan Sentana yang merupakan kerabat Raja. Baik keluarga, selir, dan masih banyak lagi.
Lunggu sendiri merupakan gaji bagi para Patuh, lunggu ini bukan berupa nominal uang melainkan hak atas kekuasaan rakyat hingga tanah. Tanah lunggu tidak ditentukan berdasarkan seberapa luas tanah melainkan dengan berapa jumlah penduduknya (cacah).
Misalnya seorang Patuh menerima tanah seluas 200 cacah, ini berarti Patuh tersebut menerima tanah yang cukup luas sehingga dapat digarap oleh 200 keluarga petani.
Dalam mengelola luasan lunggu, Patuh tidak secara langsung turun dan mengawasi, namun Patuh menggunakan pejabat tingkat desa yang disebut Bekel.
Posisi Bekel yang merupakan pejabat tingkat desa sangat diminati oleh masyarakat, banyak masyarakat yang berebut ingin menjadi bekel jika mempertimbangkan keuntungan-keuntungan yang akan didapat baik dari segi sosial maupun ekonomi.
pembagian hasil dari tanah lunggu terbagi kedalam 3 bagian, dua pertiga untuk pemilik tanah; dua pertiga untuk penngelola lahan; dam sepertiga sisanya diberikan kepada Bekel.
Era Kolonial
Belanda hadir kemudian memanfaatkan sistem feodalisme yang ada pada pribumi dengan berkolaborasi dengan elit pribumi (Rodi).
Contoh dari kolaborasi antara elit pribumi dan Belanda adalah Pembangunan Jalan Anyer-Panarukan dan Sistem Tanam Paksa.
Sayangnya dalam kolaborasi tersebut terdapat penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah pribumi, misalnya saja pada sistem Tanam Paksa. Sistem tanam paksa adalah sistem dari Belanda yang mewajibkan pribumi untuk melakukan penanaman tanaman ekspor. Berikut aturan-aturan yang diberikan oleh Belanda dan penyimpangan yang terjadi.
Contohnya pada sistem tanam paksa, Belanda memerintahkan untuk menggunakan seperlima dari luas tanah yang dimiliki oleh petani, namun oleh pihak elit pribumi diubah menjadi 80% dari luas tanah yang dimiliki petani, angka tersebut tentu jauh berbeda dan sangat membebankan para petani.
Selain itu Belanda mewajibkan tanah yang digunakan untuk menanam adalah lahan bebas pajak, namun pada kenyataannya elit pribumi justru memberikan pajak.
Belanda juga memerintahkan jika terjadi gagal panen maka hal tersebut bukan tanggung jawab petani melainkan tanggung jawab pemeriintah, namun elit pribumi kembali merubah aturan tersebut dengan menjadikan gagal panen sebagi tanggung jawab dari petani bukan pemerintah.
Itu tadi informasi seputar feodalisme pada masa kerajaan mataram kuno dan masa kolonial. Semoga informasi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan pembaca dimanapun berada.