Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait salam lintas agama yang tidak dibenarkan, terus menuai komentar pro dan kontra. Terutama dikaitkan dengan keberagaman dan penguatan toleransi di Tanah Indonesia.
Rektor IAIN Ponorogo, Prof Evi Muafiah menilai  pengucapan salam merupakan bagian dari relasi muamalah atau hubungan antara manusia dengan manusia yang lainnya. Menurutnya, pengucapan salam bukanlah bagian dari ubudiyah. Sebab dalam ucapan salam terdapat harapan kebaikan yang diucapkan antara satu kepada yang lainnya.
âKita harus bisa memberikan batasan apa itu ubudiyah apa itu muamalah. Ubudiyah itu mengatur relasi manusia dan Tuhan yang dalam menjalankan relasi tersebut seorang muslim harus bersikap eksklusif dengan meyakini bahwa kebenaran hanyalah milik Allah,â kata Evi dikutip dari tribunnews,com, Jumat (8/6/2024).
âSementara muamalah adalah relasi antar manusia dengan manusia lainnya, yang dalam menjalankan relasi tersebut seorang muslim harus bersikap inklusif,âimbuhnya.
Guru Besar di bidang pendidikan Islam tersebut menambahkan, mengucapkan salam adalah bagian dari relasi muamalah yang tidak berkaitan dengan peribadatan manusia dengan Tuhan.
âDalam pengucapan salam tersebut, kita mengakui bahwa setiap manusia yang ada di dunia ini berhak untuk mendapatkan keselamatan dan kedamaian.â
âInti dari nilai keselamatan dan kedamaian ada dalam setiap makna ucapan salam dalam semua agama,â kata dia.
Diketahui, MUI melarang umat Islam untuk mengucapkan salam lintas agama dan ucapan selamat hari raya bagi agama lain. Hal ini diputuskan melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII di Bangka Belitung.
***
Indonesia adalah negara dengan keragaman agama yang luar biasa. Dari Sabang sampai Merauke, kita hidup berdampingan dengan saudara-saudara yang menganut berbagai keyakinan. Salah satu praktik yang mencerminkan toleransi dan penghormatan antaragama adalah penggunaan salam lintas agama. Namun, akhir-akhir ini, praktik ini telah menjadi topik kontroversial di kalangan beberapa kelompok yang menganggapnya sebagai bentuk sinkretisme atau bahkan penyimpangan dari ajaran agama mereka. Dalam editorial ini, kita akan mengeksplorasi mengapa salam lintas agama bukanlah persoalan ubudiyah (ibadah ritual), tetapi lebih kepada muamalah (interaksi sosial), dan pentingnya mempertahankan praktik ini untuk menjaga kerukunan di Indonesia.
Mengapa Salam Lintas Agama Dipersoalkan?
Salam lintas agama, seperti âAssalamuâalaikumâ, âShalomâ, atau âOm Swastiastuâ, sering digunakan dalam acara-acara resmi dan interaksi sehari-hari sebagai bentuk penghormatan terhadap orang lain, terlepas dari agamanya. Namun, beberapa kelompok konservatif telah menyuarakan keberatan mereka, dengan alasan bahwa penggunaan salam dari agama lain bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap keyakinan mereka sendiri. Mereka khawatir bahwa penggunaan salam lintas agama dapat dianggap sebagai pengakuan atau adopsi elemen ibadah dari agama lain, yang mereka pandang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keyakinan mereka.
Salam sebagai Bentuk Muamalah, Bukan Ubudiyah
Penting untuk memahami bahwa salam lintas agama bukanlah bagian dari ubudiyah, melainkan muamalah. Ubudiyah merujuk pada tindakan-tindakan ibadah yang merupakan inti dari praktik keagamaan seseorang, seperti sholat, puasa, dan doa. Tindakan-tindakan ini memiliki aturan dan ketentuan yang spesifik dalam setiap agama dan biasanya tidak dapat dicampuradukkan.
Muamalah, di sisi lain, adalah interaksi sosial dan hubungan antar manusia yang melibatkan norma-norma etika dan perilaku sehari-hari. Salam lintas agama adalah bagian dari muamalah karena digunakan sebagai bentuk sapaan dan penghormatan dalam konteks sosial dan interaksi sehari-hari. Ini adalah cara untuk menunjukkan penghargaan dan kehormatan kepada orang lain, yang sangat penting dalam membangun dan memelihara kerukunan sosial.
Salam Lintas Agama dan Kerukunan
Penggunaan salam lintas agama adalah simbol dari semangat toleransi dan saling menghormati di tengah masyarakat yang beragam. Dengan menggunakan salam yang dikenal dalam agama orang lain, kita menunjukkan bahwa kita menghormati dan mengakui kehadiran mereka. Ini adalah langkah kecil tetapi signifikan dalam mempromosikan harmoni dan saling pengertian.
Indonesia dikenal sebagai negara yang penuh dengan semangat kebhinekaan, dan salam lintas agama adalah salah satu cara untuk mewujudkan semangat itu dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita saling menyapa dengan salam lintas agama, kita memperkuat ikatan sosial dan menunjukkan komitmen kita terhadap prinsip-prinsip Pancasila, yang menekankan persatuan dalam keberagaman.
Menyikapi Perbedaan dengan Bijak
Meskipun beberapa kelompok mungkin memiliki keberatan terhadap penggunaan salam lintas agama, penting bagi kita untuk menyikapi perbedaan pandangan ini dengan bijak dan terbuka. Dialog antaragama harus didorong untuk memperdalam pemahaman tentang praktik keagamaan dan menghargai perbedaan.
Pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat harus bekerja sama untuk mempromosikan toleransi dan saling menghormati. Pendidikan tentang pentingnya muamalah dan etika sosial harus diperkuat, sehingga masyarakat dapat memahami bahwa salam lintas agama adalah cara untuk menunjukkan penghargaan dan bukan bentuk dari pengabaian keyakinan agama seseorang.
Kesimpulan: Mempertahankan Keberagaman
Salam lintas agama adalah bagian penting dari upaya kita untuk mempertahankan dan mempromosikan keberagaman di Indonesia. Ini bukan masalah ubudiyah, tetapi muamalah yang membantu memperkuat ikatan sosial di tengah keberagaman. Dengan terus mengamalkan salam lintas agama, kita dapat menjaga semangat toleransi dan kebersamaan yang menjadi fondasi negara kita.
Mari kita jadikan salam lintas agama sebagai jembatan yang menghubungkan kita, bukan dinding yang memisahkan. Dengan menghargai dan menghormati satu sama lain, kita bisa menjaga Indonesia tetap damai dan harmonis, sesuai dengan semangat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
![](https://pilarkebangsaan.com/wp-content/uploads/2021/09/kl-300x37.png)